Imam Zakariya Yahya bin Zayyad bin Abdillah bin Manshur al-Aslami seorang pakar ilmu nahwu yang tersohor (W 207/215 H). Al-Anbari (W 328 H) beserta as-Sam’ani (W 526 H) menjulukinya al-Farra’ karena pandai mengatur, memperbaiki, dan memperindah perkataan (Kalam).
Abu Bakar al-Anbari pernah berkata:
«لو لم يكن لأهل بغداد والكوفة من علماء العربية إلا الكسائي والفراء لكان لهم بهما الافتخار على جميع الناس»
“Andaikan tidak ada ulama/pakar bahasa bagi penduduk kota Baghdad dan Kufah kecuali al-Kasaiy dan al-Farra’ niscaya mereka merasa cukup berbangga dengan dua tokoh ini.”
Pembesar Para Pakar Nahwu di kalangan Mazhab Kufah ini pernah mengajar di satu forum dan melontarkan statemen:
من برع في علم واحد سهل عليه كل علم
“Orang yang mahir satu disiplin ilmu maka dimudahkan semua ilmu baginya.”
Muhammad bin Hasan al-Qadhi Pakar fikih dari Mazhab Hanafi ikut forum ilmiah itu. Dan ternyata dia adalah Anak dari Bibi al-Farra’. Muhammad seakan ingin mencoba kebenaran ucapan saudara sepupunya hingga dia bertanya: anda sungguh piawai dalam ilmu anda (Nahwu), aku ingin tahu jawaban suatu persoalan yang di luar bidangmu. Apa pendapat jenengan terkait orang yang lupa dalam solatnya kemudian mau sujud sahwi namun lupa juga melakukan sujud sahwi?
Beliau menjawab: tidak ada tanggungan apapun (tidak perlu sujud lagi).
Bagiamana bisa? Tanya lagi si sepupu.
Imam Zakariya berargumen dengan kaidah Nahwu:
لأن التصغير عندنا لايصغر فكذلك السهو في سجود السهو لايسجد له لأنه بمنزلة تصغير التصغير، فالسجود للسهو هو جبر للصلاة والجبر لايجبر كماأن التصغير لايصغر
“Sebab tashghir menurut kami tidak perlu ditashghir lagi. Demikian juga lupa melakukan sujud sahwi tidak perlu sujud lagi. Hal ini (sujud lagi) seperti melakukan tashghir kembali pada lafad yang sudah ditashghir. Sujud sahwi adalah bertujuan menembel (jabrun) solat sedangkan jabrun tidak perlu dijabrun juga sebagaimana tashghir tidak perlu ditashghir lagi”.
Si pakar fikih akhirnya memuji beliau:
ماحسبت أن النساء يلدن مثلك
“Tidakkah aku merasa cukup para wanita melahirkan generasi-generasi seperti anda”. (Al-Muwafaqot, j: 1, h: 118).
Dari cerita ini kita bisa mengambil berbagai pelajaran:
- Fokuslah dulu pada satu ilmu insyallah Allah akan membuka ilmu-ilmu lain untuk kita.
- Ilmu fikih tidak bisa dipisahkan dari ilmu nahwu, keduanya memiliki hubungan yang saling menguntungkan minimal koneksi untuk saling menjawab persoalan umat dimana fikih butuh ilmu nahwu untuk memahami Alquran sebagai dasar pedoman hidup manusia.
- Pakar fikih meski sudah menjadi hakim tetap ngaji pada ahli nahwu, di sini kita tahu bahwa seorang harus terus belajar.
- Ditambah sendiri!