Wazanmedia.com — Di sebuah negeri yang tak mencatat nama orang-orang malang, hiduplah tiga lelaki yang, jika kau melihat mereka dari jauh, akan kau pikir mereka adalah tiga kutukan yang berjalan di atas tanah.
Yang pertama, kulitnya bopeng seperti tembikar retak, mengelupas seperti tanah kering di musim kemarau. Kedua, kepalanya mengilap seperti batu kali yang dihantam arus bertahun-tahun. Yang ketiga, matanya hanya lubang hitam yang tidak menyimpan apa pun kecuali kegelapan.
Tak ada yang sudi mendekati mereka, kecuali nasib buruk.
Sampai suatu malam, entah karena belas kasihan atau justru rencana yang lebih kejam, Tuhan mengutus malaikat untuk mengubah nasib mereka. Malaikat datang dalam rupa musafir tunggal—matanya tidak bisa ditentukan apakah iba atau justru menakar sesuatu yang lebih dalam.
Dialog dengan Kusta
Ia membahas si kusta lebih dulu. “Apa yang paling kamu inginkan di dunia ini?” tanyanya. Si kusta menatapnya, lalu tertawa getir. “Kulit yang bersih. Aku ingin orang-orang berhenti saat melihatku.” “Kulit yang mulus, warna yang sedap dipandang, agar orang tak lagi menghindariku seolah-olah aku wabah.”
Malaikat mengusap tubuhnya, dan seketika kulitnya menjadi halus, sehalus porselen yang baru keluar dari pembakaran. Tak ada lagi luka, tak ada lagi nanah. Dunia yang tadinya membantu kini menatapnya dengan cara yang berbeda.
“Lalu, harta apa yang kamu inginkan?”
Jika kusta berpikir sejenak. “Unta.Aku ingin seekor unta.” Maka diberilah ia seekor unta betina yang gemuk dan sehat.
Lalu musafir itu mendatangi si botak. “Apa yang paling kamu inginkan?” Si botak menyentuh kepalanya yang licin. “Rambut.Rambut yang lebat dan indah, agar aku tak lagi dicemooh.”
Tangan musafir menyentuh kepalanya, dan tiba-tiba rambut mengalir seperti rumputan setelah hujan pertama.
“Lalu, harta apa yang kamu inginkan?” “Sapi,” katanya. Seekor sapi betina yang subur pun menjadi miliknya. Terakhir, si buta ditanyai pertanyaan yang sama. Tanpa ragu, ia menjawab, “Saya ingin melihat dunia.”
Sekali pakai, gelap pun luruh dari matanya. Cahaya pertama yang ia lihat adalah wajah musafir itu, lalu dunia yang ternyata lebih luas dari yang pernah ia bayangkan. “Harta apa yang kamu inginkan?” “Kambing,” katanya sambil tersenyum. Seekor kambing betina pun diberikan kepadanya. Hidup yang Berputar Cepat
Hewan-hewan yang mereka miliki berkembang biak dengan cepat. Unta si kusta membentuk kawanan yang memenuhi satwa liar. Sapi si botak membanjiri padang rumput. Kambing si buta memenuhi bukit-bukit di sekeliling rumahnya.
Mereka bertiga, yang dulunya dikasihani atau bahkan tidak dianggap ada, kini menjadi saudagar kaya yang dihormati.
Dan seperti biasa, kekayaan membawa sesuatu yang lebih berbahaya daripada kemiskinan: lupa. Lalu, suatu hari, musafir itu kembali. Kali ini ia tidak datang sebagai seorang asing, tapi sebagai cerminan masa lalu mereka.
Tiga Pertemuan yang Menguji
Ia pertama kali mendatangi si kusta, tapi kali ini dalam rupa seorang lelaki yang tubuhnya penuh bercak, kulitnya lepuh seperti kayu lapuk dimakan rayap. Bau luka busuk menyertai langkahnya saat ia mengetuk pintu rumah saudagar itu yang kini megah.
Tubuhnya penuh bercak, kulitnya lepuh seperti kayu lapuk dimakan rayap.
“Aku seorang pengelana yang malang,” katanya. “Tak ada yang sudi mendekatiku. Maukah kau memberiku seekor unta, agar aku bisa melanjutkan perjalanan?”
Si kusta, yang dulu begitu ingin dunia berhenti memandangnya, kini menatap lelaki itu dengan jijik.
“Aku punya banyak tanggungan,” katanya. “Aku tak bisa memberi penghargaan apa-apa.” Musafir itu menatap lama. “Sepertinya aku mengenalmu.bukankah dulu kau sepertiku?” Saudagar itu tertawa hambar. “Tidak. Aku selalu seperti ini. Kekayaanku warisan dari leluhurku.”
Musafir itu tersenyum tipis. “Kalau kau berbohong, semoga Tuhan mengembalikanmu seperti dulu.” Lalu dia pergi. Ia kemudian bertanya si botak dalam rupa lelaki yang mengilap, botak seperti telur yang mengupas licin. “Aku pengelana miskin,” katanya. “Maukah kau memberiku seekor sapi?” Si botak menggeleng. “Aku bekerja keras untuk ini semua. Aku tidak bisa memberi begitu saja.” “bukankah dulu kau sepertiku?” “Omong kosong. Aku selalu seperti ini!”
Musafir itu tersenyum. “Kalau kau berbohong, semoga Tuhan mengembalikanmu seperti dulu.” Lalu dia pergi. Terakhir, ia menjelajahi si buta dalam rupa lelaki yang matanya kosong seperti sumur yang mengering, tak bisa melihat dunia. “Aku seorang musafir,” katanya. “Dapatkah kau memberiku seekor kambing?”
Si buta menatap lelaki itu. Sejenak dia ragu, tapi kemudian dia tersenyum. “Ambillah sesukamu,” katanya. “Aku dulu buta dan miskin, tapi Tuhan memberiku penglihatan dan harta. Aku tak pantas menerima seseorang yang membutuhkan.”
Musafir itu, yang sejak tadi hanya tersenyum tipis, kali ini benar-benar tersenyum. “Simpan hartamu,” katanya, “karena Tuhan telah meridhaimu.” Lalu dia pergi.
Tiga Takdir yang Kembali
Tak lama setelah itu, si kusta mulai merasa ada yang aneh dengan tubuhnya. Kulitnya, yang dulu sehalus porselen, perlahan kembali retak, pecah, lalu mengelupas seperti cat dinding yang mengering. Bau busuk yang dulu hilang kini kembali, lebih menyengat dari sebelumnya. Ia mendengar desas-desus bahwa para pelayannya mulai menutup hidung saat berada di dekatnya.
Si botak pun mengalami nasib serupa. Rambutnya, yang dulu tumbuh tebal, satu per satu rontok seperti daun kering ditiup angin. Dalam hitungan hari, kepalanya kembali licin seperti batu kali—tapi kali ini ada luka-luka kecil yang terasa perih setiap disentuh.
Dan lebih buruk lagi dari semuanya, kawanan unta, sapi, dan seluruh harta mereka mulai hilang. Entah karena penyakit, pencurian, atau kebangkrutan, mereka kembali menjadi orang yang tak punya apa-apa, kecuali nasib buruk yang dulu pernah melekat pada mereka.
Apa gunanya?
Ia tetap kaya, tetap bisa melihat, tetap hidup dalam berkah yang tak diambil darinya.
Karena ada yang meminta kepada Tuhan untuk mengangkat derajatnya, lalu lupa bagaimana rasanya menurunkan. Ada yang menangis meminta dunia, lalu setelah mendapatkannya, berpura-pura tak pernah menangis.
Tapi ada pula yang ingat, bahwa apa pun yang diberikan bisa diambil kembali—kecuali hati yang bersyukur.