Wazanmedia.com – Kesuksesan dakwah sesorang ditentukan dengan bagaimana metode dakwah yang ia gunakan. Kebanyakan orang masih ada yang bingung tentang tata cara dakwah yang baik. Sehingga tidak sedikit dari mereka yang sembrono dalam menyampaikan dakwahnya. Betapapun pintarnya seseorang dan memiliki keilmuan yang memadai. Namun cara dakwahnya serampangan maka akan menyebabkan kesan tidak baik bagi orang yang didakwahi.
Dalam Al-Qur’an Allah SWT berfirman:
اُدْعُ اِلٰى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِيْ هِيَ اَحْسَنُۗ اِنَّ رَبَّكَ هُوَ اَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيْلِهٖ وَهُوَ اَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِيْنَ
Artinya: “serulah kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan jalan yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” {An-Nahl: 125}.
Ayat di atas memberi pemahaman bahwa dalam berdakwah, mengajak seseorang menuju kebaikan, seorang da’i bisa menggunakan metode yang tertera dalam ayat tersebut. Yaitu metode al-hikmah, al-mau’izhah al-hasanah, dan mujadalah bi al-ahsan. Dalam menggunakan metode dakwah ini para da’i harus mengetahui sasaran dakwahnya, apakah objeknya berupa seorang intelektual, memiliki pengetahuan yang mapan atau orang awam yang memiliki sedikit pengetahuan.
Metode Al-hikmah
Ada bebera pengertian dalam mengartikan kata al-hikmah. Seperti di dalam beberapa kamus, kata al-hikmah diartikan kebijaksanaan, al-ilmu (ilmu atau pengetahuan), al-haq (kebenaran), jaudatu ar-ra’yi (bagusnya pendapat atau pikiran), al-falsafah (filsafat), al-adl (keadilan), al-qoulu al-hakim (peribahasa atau pepatah), dan lain sebagainya.
Menurut Quraish Shihab kata al-hikmah adalah sesuatu yang paling utama dari segala hal, baik berupa pengetahuan ataupun perbuatan. Artinya al-hikmah merupakan sebuah pengetahuan atau pengamalan yang sedikit sekali untuk salah atau keliru. Menentukan serta memilih sesuatu yang lebih maslahat dari dua hal yang sama-sama baik adalah perbuatan hikmah, sementara pelakunya disebut hakim. Orang yang menyandang sifat hakim, ia akan selalu mempertimbangkan segala perbuatannya, memilih mana yang baik dan buruk, serta menentukan sesuatu yang lebih mendatangkan maslahat.
Wahbah az-Zuhaili memaknai al-hikmah sebagai suatu perkataan dengan dalil yang jelas, dan dapat mengantarkan kepada kebenaran serta menghilangkan keraguan. Ini sama dengan pemaknaannya Imam Khatib asy-Syirbini dan Al-Qasimi. Sedangkan Imam Al-Baidhawi memberi makna al-hikmah dengan berdakwah kepada orang-orang khawas atau para cendekiawan yang mencari sebuah kebenaran tentang agumentasi agama.
Dari beberapa pengertian di atas dapat dipahami bahwa dakwah bi al-hikmah berarti menyeru seseorang untuk menuju jalan Allah dengan bijak, menggunakan dalil yang mudah diterima, filosofis, serta sesuai dengan tuntunan Al-Qur’an dan Sunnah. Dalam hal ini yang cocok untuk menjadi objek dakwah adalah mereka yang berpendidikan tinggi, memiliki kapasitas ilmu cukup dalam, ilmuan, cendekiawan dan yang serupanya.
Metode Al-mau’izhah Al-hasanah
الموعظة(al-mau’izhah) merupakan isim musytaq dari kata وعظ (wa’azha) yang memiliki arti nasihat. Sementara ulama mendefinisikan al-mau’izhah sebagai suatu ucapan yang lemah lembut, menyentuh jiwa dan dapat mengantarkan kepada kebaikan. Ada pula yang memaknai sebuah ajakan dengan cara mendorong dan memotivasi seseorang untuk menuju jalan Allah. Untuk hal ini seorang da’i dalam penyampaian dakwahnya harus menggunakan gaya bahasa yang sederhana, sangat lembut, enak didengar, menyentuh hati dan sanubari, agar sesuatu yang disampaikan bisa ditangkap, dicerna, dihayati dan selanjutnya diamalkan oleh mad’u.
Ditemukan dalam ayat sebelumnya, berdakwah menggunakan metode al-mau’izhah hendaknya dilakukan dengan hasanah (baik). Ucapan atau perkataan yang dibarengi dengan pangamalan dan keteladanan dari orang yang menyampaikan ialah di antara sifat hasanah. Sebab demikian, sesuatu yang disampaikan akan membekas di dalam hatinya mad’u, sehingga ia akan mengamalkan segala hal yang disampaikan oleh da’i. Sementara penyampaian dengan cara yang tidak hasanah malah akan memunculkan emosi, pertikaian, permusuhan dan menimbulkan kesan tidak baik.
Selanjutnya, karena da’i harus menjadi teladan dan uswah, maka prinsip-prinsip metode dakwah bi al-mau’izhah agaknya sesuai kalau diarahkan terhadap mad’u yang kapasitas intelektual pemikirannya terkategorisasikan awam. Dalam hal ini seorang da’i mempunyai peran penting dalam dakwahnya, yaitu menjadi teman dekat, pembimbing, guru, yang mengajarkan segala hal yang bermanfaat terhadap mad’u.
Metode Mujadalah Bi Al-ahsan
Mujadalah artinya berdebat, berdiskusi atau berhujah menggunakan logika yang rasional dengan tujuan untuk membenarkan pendapatnya da’i dan mematahkkan argumennya mad’u. Dan cara penyampaian dakwahnya harus menggunakan cara terbaik yakni dengan kata-kata yang sopan, tidak kasar, tidak ada unsur celaan, merendahkan, caci maki dan tidak membungkam lawan bicara.
Dipahami dari ayat sebelumnya bahwa mujadalah ada yang terbaik, baik, dan buruk. Sementara Al-Qur’an memerintahkan untuk bermujadalah dengan macam yang pertama, yaitu terbaik, sebagaimana yang telah dijelaskan di atas. Berdebat atau berdiskusi untuk menemukan kebenaran, dilakukan dengan sopan, tapi tidak terbuka satu sama lain maka ini baik, namun bisa memunculkan kesangsian dari pihak da’i maupun mad’u sebab terjadi miss komunikasi. Oleh karena demikian Al-Qur’an mensifati mujadalah dengan al-ahsan, agar dalil-dalil yang dikemukakan oleh da’i dapat diterima. Bahkan tidak hanya diterima tetapi juga direnungkan, dipikirkan dan kemudian diamalkan oleh orang yang didakwahi.
Dalam pandangan sementara ulama, cara dakwah ini sangat sesuai diperuntukkan bagi mereka yang menutupi serta mengingkari kebenaran Islam dan Al-Quran, yaitu para Ahl al-Kitab dan penganut agama selain Islam. Bagi Ahl al-Kitab, keindahan balaghah Al-Qur’an, nasihat yang baik dan kisah-kisah peristiwa yang akan terjadi di masa akan datang, tidaklah berarti apa-apa. Dengan demikian, di antara cara yang kiranya sesuai untuk menghadapi mereka adalah berdiskusi atau berdebat. Tata cara berdebatnya pun harus tetap berpedoman dengan tuntunan Al-Qur’an, yaitu al-ahsan.
Penutup
Hemat penulis, keberhasilan dakwah itu tergantung dengan apa metode yang digunakan oleh juru dakwah. Surah An-Nahl ayat 125 memberikan tiga metode dalam berdakwah, yaitu metode al-hikmah, al-mau’izhah al-hasanah dan mujadalah bi al-ahsan. Sebagaimana penjelasan sebelumnya, bahwa metode al-hikmah digunakan untuk berdakwah kepada para ilmuan, cendekiawan dan semacamnya. Dan kepada masyarakat awam dianjurkan untuk menerapkan metode al-mau’izhah. Sedangkan untuk Ahl al-Kitab yang sesuai adalah metode mujadalah. Namun, bagi juru dakwah harus tetap bisa menyesuaikan tiga metode ini kepada objek dakwahnya. Karena bisa saja hatinya cendekiawan tersentuh oleh metode al-mau’izhah, dan kaum awam memperoleh manfaat dari mujadalah. Wallahu a’lam.
Bahan Bacaan:
Tafsir al-Misbah, karya M. Quraish Shihab
Tafsir al-Munir, karya Wahbah az-Zuhaili
Kitab Tafsir Anwar at-Tanzil Wa Asraru at-Ta’wil, karya Al-baidhawi
Kitab Tafsir al-Qasimi, Muhammad Jamaluddin al-Qasimi
As-Siraj al-Munir, karya Muhammad asy-Syirbini
Tafsir at-Tahrir Wa at-Tanwir, karya Muhammad Tahir bin ‘Asyur
Buku Membumikan Al-Qur’an, karya M. Quraish Shihab
Kamus Al-Munawwir, karya Ahmad Warson Munawwir
Kamus At-taufiq, karya H. taufiqul Hakim