Alih-alih berbicara soal halal-haram, Ibnu Rusyd, seorang ulama polimatik dari Andalusia lebih memilih menjelaskan peran dan urgensi musik bagi pendidikan moral masyarakat. Menurutnya, musik bisa menjadi medium bagi penyucian jiwa, kehalusan perasaan, dan ketulusan budi manusia.
Dalam ad-Dlarury fi as-Siyasah, yang merupakan ikhtisar dari buku Politeia/Republik karya Plato, Ia berkata demikian:
أما تعليمهم الأخلاق/الطاعة وتربيتهم عليها، فذلك يكون بطريقين: أحدها الرياضة والثاني بالموسيقى. الرياضة لإكساب الجسم فضيلته الحق اي الصحة والموسيقى لتهذيب النفس وتحصيل الفضائل
“Dalam rangka mengajarkan dan mendidik moral masyarakat, itu bisa dilakukan dengan dua cara: pertama dengan olah raga dan kedua melalui seni musik. Yang pertama untuk memperoleh kesehatan fisik, sedangkan yang kedua untuk penyucian jiwa dan memperoleh keutamaan-keutamaan.”
Keduanya, yakni penjaskes dan (pendidikan) musik idealnya berjalan beriringan supaya seseorang memiliki kepribadian yang seimbang: tidak hanya kuat dan berani secara fisik dan mental, tetapi juga halus serta lembut budi dan peringai. Meneruskan wasiat Plato, Ibn Rusyd menyampaikan:
ولذلك أوصى أفلاطون بأن لا يقتصر هؤلاء على الرياضة بلا موسيقى أو على موسيقى بدون رياضة. ذلك لأن الموسيقى وحدها تحمل النفس على اللين وتصيرها ضعيفة في غاية الخمول والدعة، وخاصة عندما تعزف اللينة من ألحانها. كذلك الرياضة، فإنها إذا عملت بمفردها تجعل النفس في غاية الغضب، فلا تقبل الأقاويل الإقناعية…
“Demi hal itu, Plato berwasiat agar masyarakat tidak hanya mendidik raga tanpa musik, atau bermusik tanpa olah raga. Sebab, musik semata membuat jiwa jadi lembut cenderung kalut, terlebih jika nada yang dimainkan adalah nada melankolis. Demikian juga, olahraga semata membuat jiwa gampang emosi, sehingga sulit menerima nasihat-nasihat lembut.”
Apa yang Ibn Rusyd maksud dengan musik? Ia melanjutkan:
وأعني بالموسيقى الأقاويل المحكية التي يرافقها اللحن والتي يحصل بها تهذيبهم
“Yang aku maksud dengan musik adalah lirik yang digubah dengan iringan melodi dan dengannya tercapailah penyucian jiwa masyarakat.”
Dalam pengertiannya itu, aspek substansial dalam musik menurut Ibn Rusyd adalah lirik-liriknya. Lirik adalah kunci dalam menyampaikan pesan-pesan keutamaan untuk memperoleh penyucian jiwa. Sedangkan alunan melodi dibuat untuk menambah efek demi tercapainya tujuan yang dimaksud.
Musik yang tidak ideal menurut Ibn Rusyd adalah musik yang memuat pesan-pesan untuk memperoleh kenikmatan ragawi. Musik semacam ini perlu dijauhi oleh masyarakat. Biasanya, kata Ibn Rusyd, musik semacam itu ada dalam syair-syair yang digubah bangsa Arab. Ia mengatakan demikian:
وينبغي أن يجتنبوا أكثر من أي شيء آخر الأقاويل المحركة إلى اللذات وهذه موجودة كثيرا في أشعار العرب
“Sepatutnya masyarakat benar-benar menjauhi perkataan-perkataan yang merangsang kepada kenikmatan jasmani. Perkataan-perkataan semacam itu kerap terdapat di syair-syair bangsa Arab.”
Saat ini pun, mungkin masyarakat kita juga perlu teliti dalam mendengarkan lagu-lagu berbahasa Arab. Sebab, tidak jarang disangka orang-orang, bahwa semua lagu berbahasa Arab pasti selawatan. Padahal, tidak selalu demikian. Banyak juga yang berisi ajakan menggoyang ranjang.
Problem syair orang-orang Arab sesungguhnya bukan hanya mengajak kepada kenikmatan ragawi. Di masa pra-islam, syair digunakan oleh orang Arab untuk pemujaan terhadap berhala-berhala sesembahan mereka. Pada saat itu, menurut Henry George Farmer, para penyair juga merupakan ahli nujum dan ahli sihir. (Syair sendiri dalam bahasa Arab berasal dari kata sya-‘a-ra yang berarti ‘mengamati hal-hal yang tersembunyi/gaib).
Setelah Islam datang, syair sebagai sebuah kesenian tidak lantas dibumihanguskan. Ia dimodifikasi sesuai dengan citarasa nilai-nilai Islam. Sehingga, para penyair pra-Islam tersebut merasa memperoleh tempat untuk aktualisasi diri dalam naungan Islam. Lahirlah generasi penyair awal Islam seperti Hasan bin Tsabit dan Ka’ab bin Zuhair. Syair-syair yang digubah, selain untuk memenuhi kebutuhan estetis, juga mengilhami tindakan kepahlawanan bangsa Arab. Para penyair itu jualah yang menjadi juru bicara politik dan penyampai gagasan keagamaan kelompok-kelompok suku Arab saat itu.
Kembali lagi ke pandangan Ibnu Rusyd, ia mendorong supaya anak-anak dididik menggunakan musik untuk melatih sensitivitas etis dan estetis mereka, karena musik sejatinya merupakan “kerinduan kepada keindahan sejati” (‘isyq li al-husni bi ad-dzaat).
Jika sejak awal anak-anak dilatih seni musik atau diperdengarkan musik yang ideal, maka mereka akan menjadi generasi yang mambangun negara ideal (al-madinah al-fadlilah). Menurutnya, salah satu faktor bobroknya moral suatu bangsa adalah ‘degradasi musikal’ yang dialami masyarakatnya. Dan, hari ini, kita bisa mendengar degradasi tersebut dari sound-sound system yang memekakkan telinga.