Wazanmedia.com – Sebagaimana tulisan sebelumnya, bahwa sistem ber-bahtsul masail dengan ilhaq al-masail bi nadzairihanya tampak kebingungan membaca dinamika zaman. Sehingga perlu adanya sistem diskusi baru untuk menuju fikih yang baru pula. Ini bukan berarti fikih klasik kita telah usang, dan karenanya layak kita abaikan. Sekali lagi bukan begitu. Kajian fikih klasik tetap diperlukan, selain sebagai sarana bersanad kepada ulama’ salaf agar autentitas keilmuan kita tidak hilang, ia juga penting sebagai pijakan berpikir kita untuk menetapkan sebuah hukum baru. Oleh sebab itu, ngaji fikih klasik tetap dipertahankan sebagai budaya dan tradisi intelektual ke-pesantrenan. Namun jangan sampai mengabaikan fakta bahwa saat ini sangat berbeda dengan apa yang terjadi di masa lalu.
Perlu diingat bahwa teks tak ada yang tak berkaitan erat dengan konteksnya, dan bahwa penulisan teks-teks fikih sangat bergantung kepada latar belakang ruang dan waktunya. Fikih klasik misalnya, sangat banyak berbicara soal pengelolaan agraria, seperti; ihya’ al-mauat (pemberdayaan tanah tak bertuan), muzara’ah atau mukhabarah (kerja sama dalam pengolahan lahan dan bibit tanaman) dan lain semacamnya, itu karena dulu struktur sosial bergantung kepada seberapa banyak tanah yang kita miliki. Lalu bagaimana dengan sekarang? Bukankah industrialisasi lebih banyak diminati dari pada bercocok tanam?
Setiap Teks Memiliki Kontkes
Sementara menjawab pertanyaan demikian membutuhkan waktu yang tidak singkat, sebagian besar dari kita masih saja menganggap fikih sebagai kajian yang telah final. Pada waktu yang sama, anggapan tersebut dengan sendirinya, membentuk paradigma yang menjadi cara pandang umum untuk melarang tindakan ijtihad, dengan bentuk atau model apapun. Bahkan, kegiatan bermadzhab pun hanya dicukupkan dengan pendekatan tekstual saja. Padahal kita tahu, bahwa teks sangatlah terbatas, sedang persoalan yang dihadapi kian hari kian berkembang menjadi tidak terbatas. Sampai kapan kita terus memaksa untuk mendengarkan teks, di saat yang sama pura-pura tuli atas konteksnya?
Masih banyak pekerjaan yang perlu kita lakukan, dari pada hanya sekedar penghambaan yang berlebihan atas teks fikih klasik. Penghayatan mendalam untuk mengkaji literatur fikih klasik memanglah sangat dibutuhkan, tetapi jangan sampai mengabaikan fakta bahwa fikih sangatlah fleksibel dan elastis atas perkembagan zaman. Abai terhadap fakta demikian, berarti telah menciderai fikih itu sendiri.
Apa yang ingin saya sampaikan adalah dunia yang kita singgahi saat ini, di sini, berubah total secara drastis dan signifikan. Dunia modern yang dipenuhi dengan perkembangan teknologi, urbanisasi yang masif, benturan ideologis dan singkritisasi budaya telah membuat keadaan saat ini tampak jelas berbeda dengan apa yang terjadi beberapa abad sebelumnya. Banyak pakar yang menyadari hal ini. Segala macam filsafat dan paradigma ilmu pengetahuan telah berusaha dikritisi kembali, guna bisa berkompromi dengan realitas sosial yang terjadi sekarang. Lantas, kapan kita akan melakukan hal yang sama dalam konteks kajian fikih? Masih tak sadarkah kita bahwa kehidupan sekarang tak sesederhana dibanding beberapa abad yang lalu?
Era Disrupsi; Tindakan Lebih Penting dari pada Kesadaran!
Sebelum kita sampai ke pembahasan utama, penting dicatat bahwa penetapan sebuah hukum sangat bergantung kepada ilustrasi perkara yang akan dihukumi (Al-hukmu a’la as-asyai’ far’un a’n tashawwurihi). Ilustrasi kasus yang cermat dan benar akan membentuk tatanan fikih yang proporsional. Sebaliknya, ketidak akuratan gambaran suatu kasus akan membuat kecacatan pendapat.
Dewasa ini, mencari ilustrasi persoalan atau kedudukan perkara yang akan dikaji sangat jauh dari kata mudah. Hal ini karena, kehidupan yang serba dinamik ini, memaksa kita untuk menyadari bahwa tak ada suatu hal yang tidak berubah. Perubahan yang dimaksud bahkan membentuk pola kehidupan yang serba kompleks nan rumit. Ada banyak faktor yang menjadi pemicunya. Namun, dari sekian banyak tersebut, saya lebih tertarik membahasnya melalui apa yang dikenal oleh khalayak sebagai era disrupsi.
Betapa pun kata ‘disrupsi’ oleh Clayton Cristensen diperkenalkan pertama kali untuk merujuk pada inovasi bisnis dan industri, namun lambat laun kata tersebut berkembang dan menunjukkan makna terhadap segala sektor kehidupan masyarakat; seperti politik, pendidikan, hukum atau pun tatanan sosial. Francis Fukuyama misalnya, telah membahas disrupsi melalui teropong hubungan sosial kemasyarakatan, melalui bukunya yang terkenal; The Great Disruption.
Lebih dalam Francis Fukuyama menjelaskan;
‘perubahan teknologi mengakibatkan apa yang dimaksud oleh Joseph Schumpeter sebagai destruksi kreatif (Creative Distructions) di pasar, dan niscaya juga dapat mendisrupsi relasi-relasi sosial’ (Fukuyama, 1999).
Ia berpendapat, meski perkembangan teknologi membuat kehidupan masyarakat menjadi lebih efisien, dampak negatif yang ditimbulkannya juga tak kalah besar. Perkembangan dunia teknologi dan informasi, sangat berperan penting dalam pergeseran gaya hidup bersosial. Kehidupan sosial masyarakat saat ini, bahkan menjadi sangat jauh untuk sekedar mengenali tubuhnya sendiri. Rutinitas kegiatan daring, menjadi pemicu utamanya. Orang-orang lebih suka menyapa orang lain yang ada di perlintasan kota, sementara mengacuhkan teman yang ada di sampingnya. Lebih asik memfokuskan pandangannya pada putaran video demi video, dari pada menikmati cita rasa makanan yang ada di depannya.
Masyarakat informasi
Masyarakat informasi (Information Society) bagi Fukuyama, cenderung memiliki kondisi sosial yang kacau, buruk dan menimbulkan ketidak-nyamanan hidup. Kecanggihan teknologi telah membuat kita kehilangan orientasi natural tubuh kita sendiri. Membuat kita tak sempat mencicipi dan menikmati apa yang kita indera. Saya lebih mudah berkomunikasi dengan kerabat saya di luar negeri, sementara sangat kesulitan untuk menegur sapa teman di samping saya, yang lebih asik dengan kegiatan daringnya sendiri.
Selain hanya memperbanyak ‘delusi’ pertemanan dalam dunia maya, kecenderungan dalam kegiatan daring, telah membuat kerenggangan atas hubungan persahabatan, kekerabatan dan bahkan kekeluargaan suami-istri dalam dunia nyata. Akibatnya adalah angka perceraian, depresi hingga mati bunuh diri, semakin terus meningkat lagi dan lagi (Ohoitimur, 2018).
Sangat berbanding terbalik dengan apa yang terjadi ribuan abad yang lalu. Nenek moyang kita sebagai masyarakat pemburu-pengumpul sulit untuk melakukan kecerobohan-kecerobohan seperti yang sering kita lakukan (Harari, 2018). Mereka teliti dalam melihat hewan mana yang seharusnya dimakan, dan tanaman mana yang tidak mengandung racun. Saat menyusuri jalan yang penuh dengan semak belukar, mereka fokus memandang jalan setapak untuk terhindar dari duri-durian, ular atau jalan licin yang bisa membuat mereka terjatuh.
Kecanggihan Teknologi
Selang beberapa abad selanjutnya, nenek moyang kita yang lebih muda, memiliki kejelian yang tidak jauh berbeda dengan masyarakat pemburu-pengumpul. Masyarakat agrikultur sangat teliti dalam menyeleksi tumbuhan mana yang cocok untuk ditanami di tanah yang gersang. Mereka fokus memandangi sekitar dan sangat berhati-hati menjaga hewan peliharaannya agar tidak dimangsa hewan buas.
Namun saat ini, kecanggihan teknologi telah membuat kita merasa terasing dengan lingkungan sendiri. Membuat kita kesulitan menikmati pemandangan indah sambil sesekali menghirup udara sejuk. Ia mampu mengendalikan pandangan mata, gerak gerik jari-jemari sekaligus dengan pikiran yang ada dalam otak kita dengan senjata virtualnya. Ia juga mampu menyihir gaya hidup, pola makan hingga cara berpikir kita hanya dengan mantra ‘efisien’-nya. Jika sesuatu yang mengasyikkan terjadi, insting pertama kali dalam benak kita adalah mengambil ponsel, merekam, memostingnya sambil sesekali melihat berapa banyak orang yang mengomentari dan memencet tombol like.
Disrupsi teknologi benar-benar telah mengubah perilaku dan karakter kita dari masyarakat sosial menjadi masyarakat virtual. Men-dikotomisasi kita menjadi masyarakat luring dan masyarakat daring. Oleh sebab itu gaya hidup dan perilaku sosial pun berubah, dari masyarakat komunitas menjadi masyarakat yang cenderung individualistik. Pertanyaannya; bagaimana fikih menanggapi perubahan pola perilaku sosial masyarakat semacam ini? Kalau kita mengakui bahwa fikih tetap berperan dalam perkembahan sosial masyarakat, berarti kita juga harus mengakui bahwa; saat ini sama sekali tidak berguna apabila kita hanya menyadari atas adanya perubahan yang masif tersebut, adalah lebih penting sekarang bahwa fikih kita juga harus mencari posisi strategis untuk segera mengambil tindakan.
Dari Masyarakat Tanah ke Masyarakat Data
Kehidupan yang serba virtual bukan hanya mempengaruhi alam bawah sadar kita. Ia juga telah membuat struktur sosial menjadi lebih berubah dari pada apa yang terjadi ribuan abad yang lalu. Banyaknya barang-barang yang dianggap berguna, telah menciptakan masyarakat yang tidak berguna. Sudah banyak pekerjaan dialihkan kepada komputer cerdas, sementara pengangguran massal menjadi tak terelakkan. Perusahaan-perusahaan industri lebih mempercayai kinerja robot dari pada manusia darah-daging (Harari, 2018). Sebab mereka yakin bahwa kesalahan pekerjaan komputer hanya dapat terjadi ketika terdapat kesalahan algoritma dan sistem, dan itu masih bisa dihindari. Tetapi keteledoran manusia dapat terjadi kapanpun, tanpa dapat diprediksi. Siapa yang dapat memastikan kapan manusia akan ceroboh? Dan bagaimana cara mengatasinya? Sama sekali tak dapat diperkirakan.
Dahulu kala, orang-orang dalam kehidupan pemburu-pengumpul, tidak usah bersusah payah untuk mencari sebuah pekerjaan. Sebab yang harus mereka pikirkan hanyalah bagaimana cara bertahan hidup. Makanan dan minumannya murni diambil dari alam tanpa campur tangan pasar. Jika anda lapar, tak perlu khawatir tentang uang, sebab dulu uang sama sekali tak bernilai dari pada daging buruan dan tumbuhan jamur. Anda cukup menyediakan senjata untuk berburu hewan sambil sesekali melihat sekitar, barang kali menemukan tumbuhan liar yang dapat dimakan.
Perubahan Mata Pencaharian
Ribuan abad berikutnya, manusia menyadari bahwa untuk kehidupan yang lebih makmur, sebaiknya hewan yang mereka temukan dan tumbuhan yang mereka ambil dari belantara hutan dirawat dengan baik dan benar. Apa yang harus mereka lakukan adalah mencari ladang seluas-luasnya, untuk kebutuhan peternakan, pertanian atau pun perkebunan. Oleh sebab itu, struktur sosial sangat dipengaruhi oleh kepemilikan tanah. Masyarakat agrikultur kemudian ditandai dengan pembagian kelas antara bangsawan (pemilik tanah) dan rakyat kecil sebagai pekerjanya. Dalam kehidupan seperti inilah kemudian manusia membutuhkan barang yang memiliki nilai secara konvensional; (uang). Memiliki tanah yang luas, berarti punya kesempatan untuk mengelola perkebunan dan peternakan. Mengelola dengan baik tanah yang anda miliki, berarti anda telah berusaha untuk menjamin hidup anda sendiri dengan memperoleh sebanyak-banyaknya uang konvensional.
Mata pencaharian masyarakat agrikultur diperoleh melalui benih yang ditanam di atas kebun mereka. Berdasarkan konteks inilah kemudian fikih banyak berbicara soal agraria. Maka kerja sama perkebunan, pertanian dan peternakan banyak diatur dalam kajian fikih klasik, seperti; muzara’ah, mukhabarah, musaqah dan lain semacamnya. Dengan alasan yang sama, Anda tak akan menemukan sama sekali pembahasan distrubusi zakat kecuali dalam hal yang berkaitan dengan hasil pertanian, perkebunan, barang perniagaan dan peternakan. Lantas bagaimana kita menanggapi zakat profesi? Adakah fikih klasik membahasnya?
Beberapa abad berikutnya, lagi-lagi terjadi perubahan yang mendasar dalam pola kehidupan manusia. Pertanian dan perkebunan kemudian, menjadi tidak begitu penting dibanding dengan industrialisasi. Orang-orang lebih suka kompetisi pasar yang lebih melibatkan inovasi pikiran dari pada bertanam yang lebih suka mengeluarkan keringat dan tenaga. Orang-orang merasa, lebih baik membuat mesin canggih agar bisa mengelola bahan mentah menjadi barang jadi. Penjualan gandum memanglah menguntungkan, tetapi jauh lebih menguntungkan lagi kalau kita mengolahnya menjadi roti dalam kemasan. Dengan alasan inilah kemudian, mesin produksi menjadi barang yang paling berharga dari pada beberapa hektar tanah.
Fikih dalam Kehidupan Revolusi
Dalam kehidupan pasca revolusi industri, masih banyak fikih yang dapat kita temukan, muncul ke atas permukaan untuk bisa menjawab beberapa persoalan yang terjadi. Sebab sistem perekonomian pasar industri tidak begitu jauh berbeda dengan perniagaan yang terjadi pada masa agrikultur. Hanya saja, orang-orang mengalami pergeseran profesi. Jika masyarakat agrikultur menguasai lapangan pekerjaan dengan murni kerajinan tangan, masyarakat industri lebih sebagai operator pemrosesan algoritma mesin yang bekerja di lapangan industri. Mereka beralih dari memanfaatkan kemampuan fisik, menjadi kemampuan dalam menggunakan kecerdasan kognitif. Pada batas waktu yang sama, dunia dalam pergolakan industrialisasi merubah bukan hanya perekonomian, tapi juga politik, budaya dan segala macam sektor lainnya.
Meski fikih masih optimis dalam menyikapi persoalan industri yang dinamik, ini tidak meniscayakan ia juga dapat berbicara lantang untuk menghadapi dunia yang kita singgahi sekarang ini. Dimana data merupakan hal yang lebih penting dari pada sekedar tanah dan mesin. Dalam banyak kasus, fikih banyak berbicara soal jual-beli barang, sewa-menyewa barang dan jasa, kerja sama pengelolaan bibit dan lahan atau bahkan pegadaian dan investesi. Namun, dalam kasus saat ini, kita jarang, atau bahkan tidak sama sekali, menemukan pembahasan fikih tentang bagaimana google banyak memperoleh cuan hanya karena kita sering menggunakannya sebagai alat searching.
Fikih dalam Kehidupan Revolusi
Kalau dulu perusahaan industri dan pabrik pembuatan barang jadi menjadi penguasa pasar, saat ini mereka tidak lebih besar dari pada perusahaan teknologi informasi, seperti; amazon, google, alibaba dan semacamnya. Beberapa dekade lalu, anda mungkin sangat membutuhkan kantor pos untuk sekedar memberi kabar kepada keluarga anda yang ada di luar kota. Tetapi, untuk apa sekarang anda repot-repot mencari kantor pos, sementara layanan-layanan surel telah tersedia di genggaman anda? Anda cukup buka ponsel, sediakan internet dan tinggal tanyakan kabar kekasih anda melalui pesan whatsapp.
Sangatlah dinamik memang. Tetapi sadarkah kita hari ini akan hal tersebut? Jika iya, kapan kita akan meresponnya dengan fikih yang lebih inovatif? Jika tidak, maka mari kita akui bersama bahwa fikih tidak begitu penting untuk kehidupan metropolitan ini. Dimana destruksi kreatif, tidak terlalu berbahaya, jika kita mencari solusi dengan alternatif lain (tanpa kehadiran fikih).