Wazanmedia.com – Gegap gempita modernisme, selain memiliki sumbangsih positif bagi peradaban dunia, juga memiliki dampak negatif bagi kerohanian manusia modern. Kita ketahui bahwa modernisasi adalah proses perubahan masyarakat tradisional menuju masyarakat modern, mulai dari sistem ekonomi, sosial, dan politik. Perubahan yang membawa kemajuan tersebut berbanding terbalik dengan kondisi spiritualitas manusia modern yang mengalami kekeringan dan kemunduran yang cukup signifikan.
Banyak dari kalangan muslim yang terlena dengan berbagai hingar bingar duniawi seperti canggihnya teknologi, komunikasi serba instan. Hingga kecepatan akses informasi yang membuat kebanyakan orang kehilangan kendali terhadap ruh spiritualitas mereka.
Hal ini menyebabkan tafakkur dan merenung akan inti sari atau pokok-pokok dari ajaran agama tidak terlaksana dengan baik. Dan membuat kepekaan manusia akan sesamanya, alam, maupun Tuhan menjadi hilang tak berbekas.
Perkembangan Zaman
Tak dapat dipungkiri bahwa manusia senantiasa harus bisa mengikuti arus perkembangan zaman. Tak terkecuali bagi para pelajar, dengan catatan tetap diimbangi dengan spiritualitas yang tinggi. Di saat seperti ini, dibutuhkan andil dari laku tasawuf yang dapat mengolah hati, rasa, dan jiwa untuk menetralisir dampak buruk dari kehidupan modern. Corak tasawuf yang dirasa relevan untuk konteks di sini ialah dengan metode ber-uzlah. Dengan melaksanakan uzlah menjadikan seseorang tidak mudah terpengaruh oleh urusan duniawi.
Terkait definisi uzlah, banyak ulama’ sufi yang memaknai dengan mengasingkan diri dari hingar bingar duniawi atau keramaian masyarakat. Terkait arti dari mengasingkan diri, terdapat interpretasi yang beragam. Penafsiran pertama mengatakan, bahwa pelaku uzlah haruslah benar-benar meninggalkan keramaian.
Ini artinya ia harus pergi ke tempat yang sepi guna mewujudkan tujuannya. Yakni, mendekatkan diri pada Tuhan agar dapat menyucikan jiwa dan pikirannya. Pemahaman ini selaras dengan persepsi yang berkembang dimasyarakat. Di mana kebanyakan orang menggambarkan uzlah sebagai orang-orang yang tidak tertarik dalam urusan-urusan materialistis.
Sementara, penafsiran kedua berbanding terbalik dengan mengatakan bahwa uzlah tidaklah harus dilakukan dengan cara menyepi di tengah hutan, di dalam gua, atau malah mengunci pintu dari dalam rumah guna dapat mengamalkan uzlah. Uzlah dapat direalisasikan meskipun tetap berinteraksi dengan masyarakat pada umumnya.
Tampaknya, ketika dikaitkan dengan kondisi saat ini, pendapat kedualah yang lebih relevan untuk diterapkan. Sehingga, bagi mereka yang mempunyai kewajiban duniawi seperti menafkahi keluarga tetap dapat dilaksanakan.
Pendapat ini dikuatkan oleh Imam al-Qusyairi, sebagaimana sudah dikutip oleh Syekh Nawawi al-Bantani dalam karyanya Kitab “Nashaihul ‘Ibad”. “Hakikat ‘uzlah adalah menghindarkan diri dari sifat-sifat tercela yang sedang melanda masyarakat. Tujuannya, agar tidak berpengaruh pada jiwa, bukan malah menjauhkan diri dari negeri atau tempat tinggal”. Ini artinya, ketika seseorang menjaga hati, pandangan, maupun tingkah lakunya agar tidak terjerumus dalam kemaksiatan di samping tetap hidup bersosial, dapatlah dikatakan ber-uzlah.
Pesantren dan Pengasingan
Permasalahan selanjutnya, apakah uzlah juga dianjurkan bagi mereka yang tengah sibuk menggeluti dunia keilmuan? Seyogyanya, pelajar haruslah bergumul dengan teman-temanya, agar ia dapat berbagi cerita, berdiskusi terkait masalah-masalah yang masih musykil, dan mengambil ilmu tidak hanya dikelas.
Akan tetapi jika memang lingkungan tempat ia belajar tak lagi mengoptimalisasi rihlah ilmiahnya, maka uzlah pun perlu dijadikan sebuah metode agar ia lebih fokus dan terhindar dari segala macam dampak negatif. Karena terkadang, seseorang ketika bergaul dengan lingkungannya malah membuatnya tidak fokus akan tujuan awal dan mengubah konsistensinya.
Ibn ‘Athaillah menyebutkan bahwa manfaat dari uzlah ialah guna mematangkan diri, memperluas pengetahuan, dan kecerdasan mental. Tidak hanya itu, Menurut al-Ghazali, sikap uzlah memungkinkan seseorang untuk istikamah pada ketaatan dan belajar mengendalikan diri dari larangan yang muncul dalam interaksi sosial seperti riya’, ngerasani (gibah), cinta dunia dan lain-lain. Hal ini akan membuat pelajar tidak terganggu dan lebih fokus pada prioritasnya yakni menuntut ilmu.
Perlu diingat sekali lagi bahwa uzlah dalam konteks modern, seperti penafsiran di awal tidaklah harus direalisasikan terlalu ekstrem. Ia tetap boleh bergumul dengan kawan sesama pelajar agar tidak ketinggalan segala macam informasi dan materi. Juga, dengan begitu ia dapat dekat dan mengenal siapa saja yang memang layak dijadikan sebagai teman. Tapi, jika pemahaman seperti ini tetap tidak mungkin untuk direalisasikan, dalam artian lingkungan tempat ia belajar sudah “parah” dan tidak dapat diharapkan lagi, maka ia boleh untuk melaksanakan uzlah dengan penafsiran yang pertama, yakni tidak bergaul sama sekali dan memilih menyendiri.
Yang menjadi titik tekan bagi pelajar yang memilih untuk beru-uzlah (menggunakan penafsiran pertama), ia harus memiliki keyakinan bahwa perbuatan tersebut tidak menghambat proses studinya. Karena, jika ia memaksakan untuk mengasingkan diri dari keramaian, sementara hal itu malah melemahkan semangat dalam menjalani segala aktivitas intelektualnya, tentu lebih baik tidak memaksa melaksanakan uzlah.
Tempat Beruzlah dalam Konteks Sekang
Ketika mengaca pada konteks sekarang, saya beranggapan bahwa pesantren adalah sebuah tempat pengasingan terbaik bagi para penimba ilmu. Alasannya tentu tidak usah dipertentangkan lagi. Karena, di samping pesantren merupakan tempat untuk menimba ilmu-ilmu agama dan sekuler (sains), pesantren juga merupakan sebuah wadah pembentukan karakteristik berbasis Islami. Artinya, pergaulan dipesantren dapat dipastikan tidak lebih buruk dari pada pergaulan di dunia luar yang syarat akan hedonisme, kekerasan, dan tindak asusila.
Persoalan krisis karakterlah yang membuat para pelajar non pesantren harus lebih ketat dalam menjaga pergaulan dengan kawan-kawannya. Selaras dengan pengalaman yang saya rasakan (sebagai penghuni kota metropolitan) mengenai pergaulan dunia luar membuat saya tidak ingin berhenti dari pesantren. Pasalnya, tongkrongan yang saya singgahi rata-rata objek pembahasannya berkaitan dengan hal-hal negatif (sampah) ketimbang membangun karakter positif.
Uzlah: Haruskah Selamanya?
Kembali ke persoalan awal. Perlu ditekankan bahwa uzlah sangat tidak tepat kalau dijadikan sebagai metode permanen dalam menjalani kehidupan. Sebab, di samping sulitnya untuk menahan diri dari interaksi sosial di tengah era modernitas. Pelaku uzlah akan kehilangan beberapa pengalaman dan informasi yang hanya diterima jika ia berbaur dengan lingkungannya. Alangkah lebih tepatnya jika uzlah dijadikan sebuah latihan dan perantara (wasilah) yang nantinya dapat membantu seseorang untuk kembali mengosongkan jiwa dan pikiran dari segala aktivitas buruk, sehingga dapat mengembalikan hati yang telah mati.
Sumber Kutipan: Al-Hikam Ibnu Athaillah As-Sakandari, Nashaihul Ibad An-Nawawi Al Bantani, dll.