Wazanmedia.com–Berbakti kepada Allah swt. dengan mematuhi segala perintah dan menjauhi larangan-Nya menjadi priotas utama seorang hamba yang dituntut oleh Islam, begitulah semangat takwa didefinisikan oleh ulama. Selain urusan takwa, di internal ajarannya Islam dikenal dengan agama yang toleran terhadap para pemeluknya. Sehingga tuntutan takwa yang dititahkan tak pernah mencekik ataupun menyengsarakan melebihi batas kemampuan. Semangat taat dan kelembutan toleran dalam Islam dapat kita lihat dalam berbagai pengaplikasian ibadah yang tetap diwajibkan dengan beban yang berkurang. Sebagai contohnya adalah tayammum sebagai pengganti wudu yang menjadi asal bersesuci muslim untuk malaksanakan ibadah. Ketika seorang muslim uzur untuk menyempurnakan bersesuci dengan air, Islam tak lantas kejam dengan tetap kukuh memaksa dengan cara apapun untuk berwudu, atau tak lantas memanjakan muslim dengan menjadikan bersesuci tak lagi wajib, Islam tetap dalam lintas semangat takwa dan tolerannya dengan tayammum sebagai jalan tengahnya.
Salah satu alasan tayammum diperbolehkan adalah tidak mampu atau sulitnya tubuh memakai air dikarenakan sakit. Ini adalah uzur yang umum terjadi dibandingkan uzur kekeringan dan semacamnya. Hanya saja, masih banyak muslim di luar sana yang enggan untuk bertayammum ketika mereka sakit. Betapa banyak pasien muslim di rumah sakit yang hanya terlentang mengistirahatkan diri sembari mengobati tubuhnya yang lemah, tanpa peduli dirinya adalah seorang muslim yang memikul kewajiban salat untuk dilaksanakan. Kesadaran akan hal ini mengetuk hati penulis untuk mengurai persoalan tayammum yang kian pudar di tengah masyarakat, dalam fokus pembahasan uzur sakit. Sakit seperti apa yang memperbolehkan seseorang itu bertayammum, dan bagaimana tata cara pengaplikasiaannya? In Syaa Allah sesingkat dan semudah mungkin akan diulas dalam artikel ini.
Secara leksikal, Bahasa Arab mengistilahkan sakit dengan kata marad (مرض) yang dalam logatnya diartikan sebagai السقم /penderitaan yang mengganggu, baik terjadi pada tubuh ataupun agama. Bisa juga diartikan النقصان yang memiliki arti kurang. Dikatakan tubuhnya sakit, artinya kekuatan tubuhnya berkurang. Dikatakan hatinya sakit, artinya keimanan dalam hatinya berkurang. Bisa juga diartikan الشك /keraguan sebagaimana firman Allah swt. فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ /dalam hati mereka terdapat keraguan. Pada intinya, مرض/sakit dalam bahasa dapat disimpulkan dalam arti sesuatu yang mengeluarkan manusia dari batas kesehatan dalam hal apapun yang berkaitan dengannya[1]. Dalam istilah, makna مرض/sakit tidaklah jauh dari makna logat/bahasa yang sudah disebutkan. Terminologi mengartikannya dengan makna segala keadaan yang mengeluarkan seseorang dari kekuatan, kemampuan bertindak, kenormalan menuju lemah dan sengsara[2]. Apakah semua jenis sakit dapat memperbolehkan seseorang bertayammum? Tentu saja tidak.
Selain sakit itu sendiri, faktor eks juga memperngaruhi keabsahan seseorang boleh bertayammum. Hukum yang berkaitan dengan faktor eks tersebut terbagi menjadi dua:
Pertama, hukum tayammumnya orang yang sakit ketika tidak ditemukan adanya air. Ulama sepakat akan kebolehan tayammum dalam keadaan tersebut. Salah satu dalil yang dikemukakan adalah Al-Qur’an (An-Nisa: 43, Al-Maidah: 6):
وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا
“Jika kamu sakit, sedang dalam perjalanan, salah seorang di antara kamu kembali dari tempat buang air, atau kamu telah menyentuh perempuan, sedangkan kamu tidak mendapati air, maka bertayamumlah kamu dengan debu yang baik (suci).”
Kedua, hukum tayammumnya orang yang sakit ketika ditemukan adanya air. Dalam hal ini, Imam Nawawi mengklasifikasikannya dalam tiga bagian:
- Sakit kritis yang ketika memaksakan diri untuk menggunakan air menghawatirkan timbulnya efek samping yang serius, seperti kematian, dan rusak atau hilangnya fungsi salah satu anggota tubuh. Ulama sepakat akan kebolehan tayammum dalam kategori ini.[3]
- Sakit ringan yang ketika menggunakan air tak menimbulkan efek samping sebagaimana disebutkan, seperti sakit kepala, sakit gigi, dan sakit demam. Ulama sepakat akan ketidakbolehan tayammum dalam kategori ini.[4]
- Sakit yang ketika menggunakan air akan memperparah kondisi tubuh atau memperlambat masa sembuh. Ada dua pendapat hukum pada kategori ini: Boleh tayammum. Ini adalah pendapat dari salah satu golongan Hanafiyyah, Malikiyyah, pendapat sahih dari Syafi’iyyah, dan riwayat; Tidak boleh tayammum kecuali diperkirakan menimbulkan efek samping yang serius sebagaimana kategori poin satu.
Poin penting untuk menerpkan ulasan yang sudah dipaparkan diatas adalah, konsultasi pada ahli kesehatan. Apakah si sakit ketika menggunakan air untuk bersesuci dapat menimbulkan efek samping atau tidak? Jika ia, apakah efek samping tersebut serius atau tidak. Ini perlu dipastikan kemungkinan-kemungkinannya. Dan hanya kepada yang ahli kekhawatiran akan adanya kemungkinan tersebut dapat diketahui.
Kewajiban salat lima waktu adalah kewajiban yang mutlak. Dimanapun, kapanpun, dan dalam keadaan apapun salat tersebut tetaplah wajib dilaksanakan. Jangankan sakit yang dikotomi antara sembuh dan tidak, peperangan yang jelas-jelas mempertaruhkan hidup dan mati tak bisa menghilangkan kewajiban salat lima waktu. Oleh karena itu, perhatian kepada salat seharusnya menjadi fokus pertama dan utama. Amal pertama kali yang akan dikoreksi dan dijadikan sampel amal-amal lain kelak di akhirat aadalah salat. Semoga kita termasuk dalam golongan mukmin dan muslim yang kukuh dan tekun mendirikan salat. Wallahu A’lam.
Sumber Bacaan:
[1] Mu’jam maqoyis al-lughat (5/311), Lisanul Arab (7/231,232), Al-misbah Al-munir (2/568)
[2] Al-Mahalli (1/75), At-ta’rifat (268)
[3] Al-Majmu Vol 2 hlm 228
[4] Bada’I as-sana’I Vol 1 hlm 318