Wazanmedia.com – Saya masih ingat, saat awal-awal diangkat sebagai ketum PSSI, Erick Thohir ditanya oleh wartawan soal penggunaan teknologi VAR (Video Assistant Referee) di liga Indonesia. Ada harapan, dengan teknologi tersebut, pesepakbolaan nasional bisa lebih profesional.
Realitas Perwasitan di Indonesia
Bos BUMN tersebut kemudian memaparkan (disertai video) kenyataan sehari-hari wasit-wasit sepak bola di negeri ini. Banyak di antara mereka yang tidak hanya berprofesi menjadi wasit, tetapi menggeluti profesi-profesi lain seperti pedagang cilok, penjual krupuk, tukang becak, dan lain semacamnya.
Dengan jawaban itu, mantan pemilik Inter Milan tersebut ingin mengatakan, boro-boro mikirin teknologi VAR, wasit-wasit yang ada saja masih banyak yang belum sejahtera. Banyak di antara mereka yang harus nyambi profesi lain. Untuk apa? Ya, Anda benar. Demi bertahan hidup.
Teknologi VAR memang sangat membantu (walaupun kadang mengganggu) wasit dalam mengambil keputusan di lapangan. Tetapi, keberadaan teknologi tersebut percuma jika sistem perwasitan nasional masih bermasalah secara fundamental, terutama dalam hal jaminan kesejahteraan wasit-wasitnya. Sudah tidak sejahtera, gaji sering nunggak juga. Itu pun tak seberapa.
Tidak mengherankan jika banyak keputusan wasit-wasit (liga 1 saja parah, apalagi wasit liga di tingkat bawahnya) yang ganjil dan kontroversial. Diputuskan offside padahal masih sangat amat on side. Begitu juga sebaliknya. Performa para pengadil di berbagai pertandingan liga Indonesia sangat jauh untuk disebut standar dan profesional.
Para Pemain Sepak Bola
Kondisi para pemain liga Indonesia juga setali tiga uang. Banyak di antara mereka yang berprofesi sebagai pesepakbola sekaligus nyambi profesi-profesi lain. Demi apa? Ya, lagi-lagi Anda benar. Demi bertahan hidup. Banyak klub yang tidak mampu menggaji pemain secara layak dan membayar mereka tepat waktu.
Dengan kondisi tersebut, para pemain sesungguhnya adalah orang-orang yang–meminjam bahasa al-Qur’an–al-kazhimin al-ghaizh, orang-orang yang menahan amarah. Maka, ketika wasit membuat keputusan-keputusan kontroversial, para pemain seperti menemukan kanal untuk melampiaskan amarah yang selama ini mengendap di ubun-ubun. Sering kita jumpai, para wasit menjadi sasaran bogem mentah para pemain hingga wajahnya masak cenderung gosong.
Jangan lupa, para suporter kita kebanyakan adalah masyarakat miskin, ada yang di bawah garis kemiskinan, ada juga yang pas di garis tersebut. Mereka harus berusaha keras untuk menyisihkan uang buat beli tiket untuk melihat tim dukungannya menang dalam laga. Lha kok kalah. Apa yang terjadi kemudian? Jenius! Lagi lagi Anda betul. Tawuran. Tidak sedikit jiwa melayang sia-sia.
Jadi, dunia sepakbola kita digeluti oleh orang-orang yang sedang menahan amarah alias rentan gelut. Wasitnya marah, pemainnya marah, suporternya pun marah. Apakah dari kondisi ini bisa diharapkan terwujudnya liga yang profesional dan kompetitif? Rasanya mudah untuk mengatakan mustahil.
Pertanyaannya, apakah “orang-orang yang menahan amarah” ini hanya ada di pesepakbolaan kita? Bagaimana dengan dunia pendidikan, kesehatan, dan lainnya?
Harus saya akui, Anda memang benar-benar berpengetahuan luas. Lagi-lagi jawaban Anda benar!