Wazanmedia.com – Sebagai guru SD di Tanjung Morawa Medan, Tan Malaka memulai pergulatannya membangun Indonesia merdeka. Sebuah lagu Internasionale yang digubah Ki Hadjar Dewantara, diajarkan sang Patjar Merah kepada anak-anak madrasah Syarikat Islam di Semarang untuk membangkitkan semangat mereka.
Bangunlah kaum yang terhina!
Bangunlah kaum yang lapar!
Kehendak yang mulia dalam dunia!
Senantiasa bertambah besar…
Sebagai buronan politik Belanda, Inggris, hingga Amerika, Tan melakukan gerakan-gerakan bawah tanah di berbagai negara. Dua puluh tahun dalam persembunyian, tugasnya adalah mendirikan partai-partai komunis di Asia Tenggara. Itulah si Patjar Merah yang sempat gunakan 26 nama samaran selama dalam petualangan menyusuri jalan revolusinya yang kelak namanya diabadikan menjadi sebuah nama jalan di Amsterdam Belanda.
Tan Malaka (1894 – 21 Februari 1949) adalah seorang aktivis nasionalis dan pemimpin komunis Indonesia. Seorang kritikus gigih pemerintah kolonial Hindia Belanda dan pemerintahan republik Sukarno yang mengatur negara setelah Revolusi Nasional Indonesia. Ia juga sering berkonflik dengan kepemimpinan Partai Komunis Indonesia (PKI), partai politik radikal utama di Indonesia. Pada 1920-an dan lagi pada 1940-an. Sebagai orang luar politik untuk sebagian besar hidupnya, Tan Malaka menghabiskan sebagian besar hidupnya di pengasingan dari Indonesia. Dan terus-menerus diancam akan ditangkap oleh otoritas Belanda dan sekutunya. Meskipun tampak terpinggirkan, bagaimanapun, dia memainkan peran intelektual kunci dalam menghubungkan gerakan komunis internasional dengan gerakan anti-kolonial di Asia Tenggara. Ia dinyatakan sebagai “pahlawan revolusi nasional” melalui akta parlemen Indonesia pada tahun 1963.
Apa Mimpi Tan untuk Indonesia?
Setidaknya ada tiga buku yang menggambarkan mengenai pemikiran Tan Malaka tentang Republik Indonesia. Buku pertama berjudul Parlemen atau Soviet? terbit pada 1921. Yang kedua buku Menuju Republik Indonesia yang terbit pada 1924. Sementra isi buku ini berisi rancangan dasar bernegara atau semacam draft konstitusi versi Tan Malaka. Terakhir, buku ketiga adalah Aslia Bergabung yang terbit tahun 1943. Aslia merupakan singkatan dari Asia dan Australia. Dalam buku ini Tan menawarkan sebuah konsep blok sosial, ekonomi, dan politik yang luas meliputi Asia dan Australia.
“Parlemen, masjid, gereja, sekolah, surat kabar berdaya upaya menidurkan dan melemahkan hati buruh dengan pendidikan yang banyak mengandung racun. Bila mereka tidak bisa berlaku seperti itu, dipergunakanlah penjara, polisi dan militer”.
Dari ketiga buku di atas, dapat disimpulkan bahwa Tan Malaka sangat tidak setuju didirikannya partai politik di awal berdirinya Negara Indonesia. Tan Malaka terlalu terpesona dengan disiplin organisasi . Dia mau orang yang berorganisasi harus berdisiplin organisasi. Menurutnya negara yang kuat adalah negara yang memiliki disiplin organisasi yang kuat. Pikiran inilah yang membawa ketidaksetujuannya pada Trias politica yang penuh kekisruhan yang menjadikan orang lupa menjalankan kerjanya yaitu membenahi masyarakat.Negara yang diidam-idamkan Tan Malaka adalah soviet yang dalam bahasa Rusia bermakna government council atau dewan pemerintahan. Dewan pemerintahan ini merupakan organisasi politik tunggal dengan partai politik tunggal pula.
Buku lain yang tak boleh dilewatkan untuk melihat pemikiran Tan tentang Indonesia adalah Madilog (Materialisme, Dialektika dan Logika). Bab terakhir dalam Madilog sangat penting untuk mengerti pemikiran Tan Malaka tentang Indonesia beserta latar belakangnya. Dalam bab inilah selain filsafat politik dengan pemikiran marxis yang telah ditulis dalam bab-bab sebelumnya, Tan menulis tentang impian Indonesia yang baru, impian Republik Indonesia yang merdeka dan sosialis.
Pemikiran Tan Malaka yang Revolusioner
Pemikiran Tan Malaka memukau dan revolusioner, seperti kutipan di bawah yang berasal dari brosur panduan aksi massa yang ia tulis, katanya: “Parlemen, masjid, gereja, sekolah, surat kabar berdaya upaya menidurkan dan melemahkan hati buruh dengan pendidikan yang banyak mengandung racun. Bila mereka tidak bisa berlaku seperti itu, dipergunakanlah penjara, polisi dan militer”.
Betapapun kontroversinya, ia adalah pahlawan Nasional yang penting untuk dikenang pemikirannya, walaupun akhirnya ia harus diburu dan dieksekusi oleh militer sendiri justru di saat Indonesia sudah memperoleh kemerdekaannya. Yang jelas Patjar Merah adalah contoh absolut pemikir berbahaya bagi kolonialisme atau pemerintahan yang tetap menggendong cara-cara kolonialisme dalam menata sebuah negeri.