Saat kali pertama terpaksa membaca buku digital yang ada di brankas laptop -sebab paketan internet mendadak habis- berjudul Sains, Saintisme, dan Agama yang berupa kumpulan esai para penulis handal, otak kecil saya seolah menangkap sebuah kemiripan antara karakteristik fikih dan sains, meski tentu juga memiliki banyak perbedaan. Dengan di iming-imingi oleh judul yang menarik, dan penulis yang saya sebut handal -karena sering diagung-agungkan di kalangan teman sejawat, seperti Goenawan Muhammad, A.S Laksana, dan Ulil Abshar Abdalla, saya pun memberanikan diri untuk membacanya halaman per halaman.
Esai pertama yang saya baca berjudul Pasti, karangan Goenawan Muhammad yang telah dibaca banyak orang di unggahan laman Facebooknya. Dalam esai ini, penulis seolah membenturkan antara keinginan dari para saintis dalam mewujudkan proyek-proyek besar mereka, dengan realitas yang terjadi dalam kehidupan seorang agamis-religius. Mula-mula, penulis menyinggung terkait kemajuan sains pada abad ke- dua satu, yakni bertepatan dengan mewabahnya covid di seluruh dunia. Masyarakat modern lebih realistis dan mengedepankan alasan logis dalam menyikapi wabah yang muncul pertama kali di negeri pencipta kertas pertama kali ini. Ketika zaman dulu banyak upaya-upaya ekstrem dalam membasmi suatu wabah, seperti saat pandemi besar di abad ke- tiga belas yang telah mengorbankan nyawa beribu-ribu orang Yahudi tak bersalah demi ambisi misterius mereka untuk menghilangkan wabah, maka berbeda dengan sekarang.
Pendidikan yang merata tentang hakikat sebuah ilmu disinyalir menjadi suntikan intelektual masyarakat. Akan tetapi, masih ada saja segelintir orang yang tak percaya pada sebuah konsep ilmu sains, dan lebih mengedepankan aspek keyakinan agamanya. Mereka terlalu percaya diri sehingga mengabaikan penemuan-penemuan yang telah diuji validitas kebenarannya.
Di akhir tulisannya, penulis memberikan sebuah statemen yang cukup unik: “Ada yang didapat di masa modern itu, tapi juga ada yang hilang. Kita tak menyerah ke sebuah ketakutan yang tak kita pahami, tapi dengan itu “kita meremehkan rasa ngeri, berlindung dalam sesuatu yang seakan-akan pengetahuan”. Kata “seakan-akan” di sana terasa ngilu, atau lucu, atau jujur. Banyak orang terlalu mendewakan agama sehingga tidak mengindahkan aturan-aturan yang dirancang sedemikian rupa oleh sains. Sehingga pada akhirnya, kebenaran dari masing-masing dua kubu ini terasa begitu kuat ketika bersinggungan dengan orang-orang yang meyakininya.
Saya mulai berpikir bahwa di era modern seperti sekarang, masih banyak orang-orang yang over dalam beragama. Batas-batas wajar dalam agama pun mereka abaikan sehingga menimbulkan kesan konservatif. Akan tetapi, meski begitu, banyak orang-orang beragama yang masih mencintai kehidupan dengan menuruti informasi-informasi yang bertebaran yang muncul dari mulut para sains untuk melakukan lock-down dan memilih untuk tidak berinteraksi sementara waktu. Pikiran ini semakin diperkuat tatkala membaca tulisan kedua dengan judul “Sains dan Hal – Hal Baiknya”.
Penulis mengungkapkan bahwa informasi-informasi saintifik membuat pengetahuan masyarakat mulai membaik. kalangan ilmuwan kita dan untuk kali pertama kita menyaksikan munculnya niat untuk memberi apresiasi tinggi dan terang-terangan kepada sains. Kepatuhan itu tampaknya membangkitkan gairah percaya diri di kalangan ilmuwan kita dan untuk kali pertama kita menyaksikan munculnya niat untuk memberi apresiasi tinggi dan terang-terangan kepada sains.
Pada masa kuno, banyak sekali keputusan-keputusan krusial yang sering di dasarkan pada informasi yang tidak akurat atau lebih tepatnya tidak pada tempatnya. Agama sering kali disalah gunakan untuk menghambat penyebaran sebuah wabah penyakit. Contohnya seperti yang terjadi di Malaysia di mana masyarakat lebih mempercayai bahwa Tuhan akan melindungi mereka dari penyakit daripada panduan dari ilmu sains. Akibatnya, ribuan orang terinfeksi COVID-19 karena tidak ada penerapan protokol kesehatan.
Dari dua esai ini, banyak orang mulai berfantasi bahwa sains saat ini merupakan satu-satunya alat untuk menghadapi masalah-masalah kontemporer. Kebenaran yang dihasilkan dari hasil penelitian dan observasi seolah sudah final dan tidak bisa diganggu gugat. Hal ini menjadikan masyarakat yang terlalu percaya pada sains merasa pongah. Padahal, kebenaran dari sains sendiri -dilihat dari metode dan pendekatan yang digunakan- tidaklah bersifat absolut, dan masih bisa untuk diperdebatkan. Seperti yang diungkapkan dalam tulisan ketiga dari Gus Ulil yang berjudul “Qutbiisme’ dan Kepongahan Saintifik”
Gus Ulil menjelaskan panjang lebar terkait kejengkelannya sekaligus bantahan terhadap kepongahan sekuler yang terjadi pada fenomena “saintisme“—sebuah cara pandang yang melihat sains sebagai satu-satunya penjelas yang tepat terhadap kehidupan. Mereka menganggap bahwa agama, adalah takhayul dan khurafat yang merupakan sisa-sisa dari masa kanak-kanak manusia dan tak lagi relevan untuk dijadikan patokan dalam mengarungi kehidupan yang serba modern.
Setelah membaca tiga tulisan di atas, saya serasa mendapat pencerahan terkait fanatisme yang berujung perdebatan aliran saintisme yang terlalu pongah dan pihak agamawan yang seolah ingin menang sendiri. Saya jadi teringat fanatisme yang juga terjadi dalam aliran fikih, di mana para penganut mazhab saling beradu kekuatan pendapat imamnya masing-masing. Keyakinan fatalistik yang terjadi dalam mazhab-mazhab fikih menghasilkan ajaran yang tak mencerminkan karakteristik fikih itu sendiri.
Fikih banyak didefinisikan sebagai produk hukum hasil ijtihad para ahli fikih melalui nas-nas Al-Quran dan Hadis. Mereka menginterpretasi teks-teks global melalui kaidah-kaidah yang sudah disusun rapi oleh ulama usul fikih. Dari hasil ijtihad inilah kemudian muncul sebuah produk hukum yang berbeda-beda. Alasannya, karena para mujtahid memiliki prinsip tersendiri dalam menggunakan metodologi istinbath dan konteks di mana mujtahid berada. Sehingga, wajar saja jika hasil yang dirumuskan satu mujtahid, berbeda dengan mujtahid lainnya.
Ini mengindikasikan bahwa kebenaran dalam sebuah hasil kajian hukum fikih masih bersifat relatif alias bukan kebenaran mutlak. Sama halnya dengan kebenaran dalam kajian sains yang dapat berubah-ubah seiring berkembangnya waktu, hukum fikih pun bersifat dinamis menyesuaikan zaman, tempat, dan kondisi di mana manusia hidup.
Artinya, terdapat sebuah relasi antara sains dan fikih terkait makna kebenaran yang dikandungnya. Meski sains menggunakan metode empiris dalam merumuskan sebuah temuan baru, dan fikih menggunakan model ijtihad dalam menghasilkan sebuah produk, kebenaran yang diciptakan keduanya bersifat nisbi. Dan sangat ironis jika masih ada yang terlalu menuhankan kebenaran dalam sains dan fikih, tanpa mau melihat hakikat kebenaran dari kedua disiplin ilmu tersebut.