Apa Post-Truth Itu?
Post-truth yang memiliki arti “pasca kebenaran” adalah suatu fenomena di mana suatu informasi yang beredar tidak lagi berlandaskan asas-asas validitas dan kemurnian fakta. Oxford Dictionary mengartikan Istilah Post-truth dengan kondisi di mana fakta tidak terlalu berpengaruh terhadap pembentukan opini masyarakat dibandingkan emosi dan keyakinan personal.
Pengertian di atas menunjukkan bahwa post-truth kemungkinan besar dapat terwujud ketika emosi dan keyakinan pribadi lebih unggul dalam membentuk sebuah opini yang beredar ketimbang fakta objektif yang bisa diverifikasi keasliannya. Hal ini menjadikan kebenaran sering kali menjadi kabur dan terpinggirkan jika berhadap-hadapan dengan informasi yang sesuai dengan preferensi atau keinginan seseorang, sekali pun fakta yang sesungguhnya mengatakan sebaliknya.
Peristiwa ini merupakan imbas dari revolusi dunia digital yang mulai mendominasi sendi-sendi kehidupan manusia. Ini terbukti bahwa manusia yang tak bepergian dan hanya baring-baring di kasur dapat menikmati informasi-informasi yang disuguhkan oleh bermacam-macam media sosial.
Bahayanya, media-media yang dimaksud biasanya hanya mempertimbangkan banyaknya jumlah viewers dari berita yang di tayangkan, dan lebih memprioritaskan konten yang sedang viral. Dan yang terjadi selanjutnya sudah bisa ditebak, yakni para pengguna media sosial akan mudah terjerumus dalam opini kebohongan. Ditambah dengan prinsip demokrasi yang dianut negeri ini, semakin membuat para warga net akan bertindak semaunya dalam memilih informasi yang ingin dilihat atau didengar, tanpa mau tahu lebih dalam apakah informasi tersebut benar atau salah.
Post-Truth dan Teknologi Informasi
Era informasi yang lahir dari rahim revolusi teknologi dan globalisasi tentu memiliki dampak positif dan negatif bagi kehidupan modern. Dampak positifnya, yakni dapat mempermudah seseorang dalam mengakses sebuah berita tanpa harus bersusah payah pergi ke TKP. Sedangkan dampak negatif yang dimunculkan ialah memberikan keluasan dengan tidak memberikan sekat dalam urusan mengonsumsi sebuah informasi. Akibatnya, keyakinan terhadap narasi-narasi yang mengandung unsur kebenaran menjadi semakin memudar, atau bahkan telah sirna akibat dikalahkan oleh disinformasi yang disebarluaskan.
Untuk mengantisipasi maraknya disinformasi yang saat ini menguasai dunia digital, maka perlu adanya langkah-langkah yang dapat mengantisipasi semakin banyaknya jumlah orang yang tertipu dunia medsos. Caranya, yakni dengan menyadarkan masyarakat tentang pentingnya penyaringan, verifikasi, dan tabayun tentang informasi yang diterima. Tanpa filter yang optimal, maka dikhawatirkan masyarakat akan mudah terjerumus dalam permainan algoritma yang manipulatif, hingga pengiringan opini publik (Hoax).
Pesan al-Qur’an tentang Tabayun
Al-Quran sebenarnya sudah mewanti-wanti umatnya agar selalu melakukan tabayun maupun verifikasi ketika menerima sebuah informasi, lewat kisah yang terbungkus dalam surah An-Nisa’ [4]: 83:
وَاِذَا جَاءَهُمْ اَمْرٌ مِّنَ الْاَمْنِ اَوِ الْخَوْفِ اَذَاعُوْا بِهٖۗ وَلَوْ رَدُّوْهُ اِلَى الرَّسُوْلِ وَاِلٰٓى اُولِى الْاَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِيْنَ يَسْتَنْۢبِطُوْنَهٗ مِنْهُمْۗ وَلَوْلَا فَضْلُ اللّٰهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهٗ لَاتَّبَعْتُمُ الشَّيْطٰنَ اِلَّا قَلِيْلًا
“Apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan (kemenangan) atau ketakutan (kekalahan), mereka menyebarluaskannya. Padahal, seandainya mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulul amri (pemegang kekuasaan) di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya (secara resmi) dari mereka (Rasul dan ulul amri). Sekiranya bukan karena karunia dan rahmat Allah kepadamu, tentulah engkau mengikuti setan, kecuali sebagian kecil saja (di antara kamu).”
Dalam tafsir Ibnu Katsir (Vol. 1 Hal. 703) dijelaskan bahwa lafal وَاِذَا جَاءَهُمْ اَمْرٌ مِّنَ الْاَمْنِ اَوِ الْخَوْفِ اَذَاعُوْا بِهٖۗ dalam ayat di atas adalah bentuk pengingkaran terhadap orang-orang yang belum meyakini validitas terkait keaslian informasi yang diperoleh, akan tetapi telah menyebarkannya. Sebagaimana hadis yang ada dalam Sahih-Bukhari: “Diceritakan dari Mughirah bin Syu’bah bahwasanya Nabi melarang dari “qiil wa qaal”, yakni berbicara tentang suatu informasi yang sedang ramai diperbincangkan oleh manusia tanpa penjelasan, penelitian, dan pemahaman terlebih dahulu.”
Post-Truth di Zaman Nabi
Selanjutnya, Imam Muslim menyebutkan dalam muqaddimah kitabnya Shahih Muslim, bahwa Nabi Saw. pernah mengingatkan lewat sabdanya: “Seseorang bisa dipastikan sebagai pendusta jika ia selalu memberikan informasi setiap sesuatu yang ia dengar”.
Setelah ditelusuri lebih lanjut, dalam kitab tafsir yang sama dan juga tertera dalam kitab Sahih Ibnu Hibban (9/ 496), dijelaskan bahwa asbab an-nuzul terkait ayat di atas ialah berkaitan dengan cerita Sayyidina Umar bin Khattab yang pernah menjadi korban dari fenomena post-truth, yakni berita hoax yang saat itu sedang masyhur di masyarakat. Diceritakan bahwa saat itu, Sayyidina Umar mendengar kabar bahwa Nabi telah mencerai salah satu dari istri beliau.
Sayyidina Umar, yang notabene merupakan sahabat senior tentu tak mau terburu-buru dalam mempercayai berita tersebut. Apalagi, putrinya Hafsah merupakan salah satu dari istri Rasulullah. Akan tetapi, ketika Umar memasuki masjid, ia mendengar kasak-kusuk masyarakat yang mengatakan bahwa nabi memang menceraikan istrinya. Seketika, pikiran Sayyidina Umar menjadi kalut. Tanpa berpikir panjang, beliau langsung mendatangi Nabi guna memastikan informasi tersebut.
Saat itu, Nabi ternyata sedang berada dikamarnya (di tempat minum), dan Sayyidina Umar segera meminta izin untuk menemui Nabi. Setelah diizinkan masuk, Sayyidina Umar langsung mengutarakan pertanyaannya: “Apakah engkau telah menceraikan istrimu Ya Rasulullah?. Nabi menjawab: “Tidak”. Seketika, Sayyidina Umar langsung pergi ke kerumunan orang-orang munafik yang telah mengabarkan bahwa Nabi menceraikan istrinya, seraya berkata dengan intonasi yang tinggi bahwa kabar itu tidak benar, dan Nabi sama sekali tidak pernah menceraikan istrinya.
Setelah peristiwa di atas, maka turunlah ayat di atas, sebagai pelajaran bagi khalayak luas agar tidak dengan mudah menyebarluaskan informasi yang masih awang-awang alias belum pasti kebenarannya. Selain itu, ayat di atas juga menyinggung orang-orang yang menerima sebuah informasi agar tidak langsung mengamini dan lantas meyakininya.
Melainkan, langkah yang perlu diambil ketika pertama kali mendengar sebuah kabar adalah meneliti dengan baik sumber data dari berita yang diperoleh dengan kepala dingin. Sikap inilah yang seharusnya dimiliki oleh masyarakat modern sebagai antisipasi dari cabang-cabang post-truth seperti, hoax, pengiringan opini, hingga fanatisme yang kebanyakan berujung pada ujaran kebencian, atau bahkan konflik sosial.