Wazanmedia.com — “Ratapan di Atas Kubur dan Kesetiaan yang Terkubur”. Ketika duka berubah menjadi pengkhianatan, dan kematian menjadi alat tukar takdir. Konon, ada seorang perempuan yang suaminya meninggal dunia.
Ia meratap di atas makam, kuburannya sang suami, menangis sejadi-jadinya seperti angin yang mengaduk lautan, seolah kehilangan itu akan mencabik nyawanya sendiri. Orang-orang yang melihatnya berpikir, inilah al-Khansa zaman ini, perempuan yang hatinya terkubur bersama jenazah suaminya.
Hari-hari berlalu, namun ia tetap di sana, berdiri di sisi pusara, mencucurkan air mata seperti sungai yang tak kunjung surut.
Hingga pada suatu malam, di tempat yang tak jauh dari makam itu, seorang pencuri digantung. Jasadnya dibiarkan terayun di tali yang melilit lehernya, dan seorang penjaga ditugaskan untuk mengawasi, agar tak ada tangan jahil yang mencuri mayat si terhukum.
Tragedi Malam
Dari tempatnya berjaga, si penjaga mendengar isak tangis perempuan itu terus meratap di ataa kubur. Begitu memilukan hingga hatinya yang terbiasa melihat kematian pun tersentuh. Ia mendekatinya, berniat menenangkan. “Mengapa kau menangis sedemikian rupa?” tanyanya.
Perempuan itu menoleh, air matanya masih berlinang. “Suamiku telah pergi. Aku tak bisa hidup tanpanya. Hatiku seperti bumi yang ditinggalkan hujan.”
Penjaga itu tersenyum tipis. “Jangan menangis. Kematian adalah bagian dari hidup. Tak ada yang bisa menentang takdir.” Ia mendekat, suaranya lirih tapi tegas. “Kalau kau mau, aku bisa menjadi suamimu.”
Sejenak, isaknya terhenti. Seperti ombak yang mendadak kehilangan angin. Lalu, seolah-olah kabut duka yang menyelimutinya tersingkap, ia mengangguk.
“Baiklah,” katanya.
Malam itu, mereka pergi untuk menikah. Namun, begitu kembali ke tempat si pencuri digantung, mereka mendapati sesuatu yang menggetarkan. Mayat si terhukum telah lenyap. Dicuri orang entah siapa.
Si penjaga gemetar. Wajahnya pucat seperti kain kafan yang terbentang. “Bagaimana ini? Aku bisa dihukum mati.”
Perempuan itu, yang baru saja kehilangan suaminya dan kini hendak menikah lagi, mendekatinya dengan tenang. “Tak perlu takut,” bisiknya. “Kita gali makam suamiku. Kita gantungkan dia di sana sebagai penggantinya.”
Maka, dengan tangan yang seharusnya memeluk cinta baru, mereka justru mencangkul tanah kematian. Mengeluarkan tubuh yang sudah kembali ke bumi, mengangkatnya ke atas tiang hukuman. Dalam gelap malam, mereka menukar satu takdir dengan takdir lain.
Tapi keadilan bukan sesuatu yang bisa dikelabui begitu saja. Tak lama, rahasia mereka terkuak. Dan di ujung kisah ini, tak ada pelaminan yang menyambut mereka, tak ada rumah tangga yang bisa mereka jalani. Hanya hukuman yang menanti. Sebab malam mungkin bisa menyembunyikan perbuatan manusia, tapi siang akan selalu mengungkapnya.