Wazanmedia.com — SEJAK kelahirannya, Islam memerangi rasisme atau tindakan rasial sebagai penyakit yang mengancam kohesi sosial atau persatuan umat. Rasisme sendiri adalah perbedaan perilaku dan ketidaksetaraan berdasarkan warna kulit, ras, suku, dan asal-usul seseorang yang membatasi atau melanggar hak dan kesetaraan seseorang.
Rasisme juga sering diartikan sebagai keyakinan bahwa manusia dapat dibagi menjadi kelompok terpisah berdasarkan ciri biologis yang disebut “ras”. Artinya, rasis adalah sikap superioritas berdasarkan ras.
Dalam QS. Al-Rum ayat 22, Allah memaklumatkan bahwa keragaman bahasa dan warna kulit adalah ciptan-Nya. Bukan untuk mendiskriminasi berdasar ras, melainkan sebagai tanda-tanda kebesaran Tuhan bagi orang yang tahu.
وَمِنْ اٰيٰتِهٖ خَلْقُ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ وَاخْتِلَافُ اَلْسِنَتِكُمْ وَاَلْوَانِكُمْۗ اِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰيٰتٍ لِّلْعٰلِمِيْنَ
Artinya: “Di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah penciptaan langit dan bumi, perbedaan bahasa dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang berilmu.” (QS. Al-Ruum: 22).
Rasisme Merusak Nilai Kesetaraan
Lebih tegas lagi, Allah memberikan penjelasan bahwa manusia statusnya setara. Sebagaimana orang-orang modern abad 18-21 menggaungkannya.
Sementara sikap rasis adalah penyakit sosial yang merusak nilai kesetaraan karena harusnya yang membedakan bukanlah ras insaniyah, melainkan ketakwaan ilahiyah.
Surah Al-Hujurat Ayat 13, Allah berfirman.
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
Artinya: “Wahai manusia! Sungguhnya, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sementara yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah sungguh orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Teliti.” (QS. Al-Hujurat [49]: 13).
Syekh Nawawi al-Bantani dalam Tafsirnya menginterpretasikan ayat ini sebagai penegasan kesetaraan manusia dalam asal penciptaannya, yakni dari Adam dan Hawa. Oleh karenanya, tidak ada alasan seseorang merasa superior berdasarkan keturunan atau ras.
Dari keduanya (Adam dan Hawa), Tuhan menciptakan hukum alam yang menjadikan populasi manusia berkembang hingga menjadi suku dan bangsa.
Tetapi demikian, Menurut Syekh Nawawi, tujuan Tuhan menciptakan ragam suku dan bangsa bukanlah untuk mendiskreditkan secara rasial antara satu dan yang lain. Melainkan dapat mengenal satu sama lain dan memahami asal usul mereka yang setara dan sama: Adam dan Hawa.
Satu-satunya pembeda yang absah untuk membedakan insan dari insan yang lain adalah ketakwaan yang melampaui batas ras bahkan kemanusiaan. Karena ketakwaan tiada lain adalah kualitas kemanusiaan yang total pada Ketuhanan. Itulah ketakwaan.
Sabab al-Nuzul Ayat: Teguran Keras pada Rasisme
Adapun kronologis turunnya ayat, Syekh Nawawi mengemukakan dua fenomena yang memiliki semangat yang sama — menghilangkan sikap rasisme. Pertama, dari al-Zuhri yang mengatakan bahwa ayat ini diturunkan khusus mengenai Abu Hind.
Kala itu, Rasulullah ﷺ memerintahkan Bani Bayadhah untuk menikahkan Abu Hind dengan perempuan dari kalangan mereka. Namun, mereka sedikit keberatan dan bersikap rasis, “Apakah kami harus menikahkan putri-putri kami dengan mantan budak kami?”
Artinya, kisah ini menekankan bahwa ukuran kemuliaan seseorang di sisi Allah adalah takwa, bukan keturunan atau status sosial. Abu Hind adalah seorang mantan budak (maula) yang memperoleh kemuliaan melalui keimanan dan ketaatannya.
Ketika Rasulullah ﷺ mengusulkan pernikahan antara Abu Hind dan perempuan dari suku Bani Bayadhah, mereka mempertanyakan hal tersebut karena status sosial Abu Hind yang rendah, yaitu keturunan budak.
Kedua, dari Ibnu Abbas yang meriwayatkan bahwa pada saat pembebasan Makkah. Nabi memerintahkan Bilal untuk naik ke atas Ka’bah dan mengumandangkan azan. Mendengar ini, beberapa tokoh Quraisy berbisik-bisik di antara mereka dengan sinis dan rasisme.
Maka Al-Harith bin Hisyam berkata, “Apakah Muhammad tidak menemukan selain burung gagak hitam ini untuk menjadi muazin?”. Sahl bin ‘Amr berkata, “Jika Allah menghendaki sesuatu, Dia akan mengubahnya.” Abu Sufyan, dengan rasa khawatir, berkata, “Aku tidak akan berkata apa-apa, aku takut Tuhan langit akan memberitahunya (Muhammad).”
Kemudian Jibril datang kepada Nabi dan menyampaikan apa yang menjadi perbincangan orang Quraisy yang sarat dengan rasisme. Rasulullah pun memanggil mereka dan bertanya tentang ucapan mereka, lalu mereka mengakui perkataan tersebut.
Maka Allah menurunkan ayat ini sebagai teguran untuk melarang rasis: superior atas keturunan, kesombongan atas harta, dan penghinaan terhadap orang-orang miskin.
Khutbah Perpisahan: Menegaskan Larangan Rasisme
Seolah ayat Al-Qur’an tidak cukup untuk memerangi sikap rasisme di setiap benak manusia, Nabi Muhammad menegaskan kembali larangannya melalui pidato resminya, yang kita kenal dengan khutbah wada’.
Dalam khutbah perpisahannya, Rasulullah SAW bersabda:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَلَا إِنَّ رَبَّكُمْ وَاحِدٌ، وَإِنَّ أَبَاكُمْ وَاحِدٌ، أَلَا لَا فَضْلَ لِعَرَبِيٍّ عَلَى عَجَمِيٍّ، وَلَا لِعَجَمِيٍّ عَلَى عَرَبِيٍّ، وَلَا لِأَحْمَرَ عَلَى أَسْوَدَ، وَلَا أَسْوَدَ عَلَى أَحْمَرَ، إِلَّا بِالتَّقْوَىٰ
Artinya: “Wahai manusia, ketahuilah bahwa Tuhan kalian adalah satu, dan ayah kalian adalah satu (Adam). Ketahuilah, tidak ada kelebihan bagi orang Arab atas orang non-Arab, tidak pula bagi orang non-Arab atas orang Arab, tidak pula bagi orang berkulit merah atas orang berkulit hitam, dan tidak pula bagi orang berkulit hitam atas orang berkulit merah, kecuali dengan ketakwaan.” (HR. Ahmad).
Penutup
Rasisme bertentangan dengan fitrah kemanusiaan. Sehingga Islam sebagai agama persatuan bersungguh-sungguh dalam memerangi rasisme sebagai penyakit yang menghancurkan kohesi sosial. Mulai dari ayat Al-Quran dan hadis Nabi secara verbal, juga tindakan-tindakan Nabi yang tak pernah rasis. Pun, hadis taqrir Nabi yang sering mengingkari rasisme. Sehingga selayaknya, rasisme menjadi musuh bersama.