Wazanmedia.com–Pembicaraan tentang lingkungan dan aksi untuk menjaga kelestariannya semakin urgen saat ini. Berbagai fakta telah menunjukkan kerusakan alam semakin waktu kian parah. Aneka bencana alam sudah menjadi kabar yang kian nyaring tersiar.
Problem krisis lingkungan ini merupakan tanggung jawab bersama umat manusia. Maka, siapapun harus menjadi bagian dalam mengatasi persoalan ini dan bukan justru memperparah kondisinya.
Penanaman nilai-nilai yang menumbuhkan penghormatan terhadap alam mesti dimasyhurkan demi menumbuhkan kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga kelestarian alam. Dalam hal ini, agama bisa menjadi dasar bagi penanaman nilai-nilai tersebut.
Tulisan ini akan mengulas pandangan Islam tentang lingkungan. Penjelasan di sini merupakan ikhtisar dari salah satu pembahasan dalam karangan Syaikh Ali Jum’ah berjudul al-Bi’ah wa al-Hifazh ‘Alaiha min Manzhur al-Islami. Dalam konteks ini, mantan mufti Mesir tersebut mengulas empat konsep dasar paradigma Islam dalam memandang hubungan antara agama, manusia, dan lingkungan.
Konsep Khilafah dan Taskhir
Apa makna manusia sebagai khalifah Allah di bumi? Khalifah berakar dari kata khilafah. Khilafah adalah mandat tanggung jawab manusia terhadap alam untuk melindungi dan melestarikannya. Dalam tanggung jawab tersebut, terdapat kewenangan untuk mengambil manfaat dan menikmati alam. Kewenangan tersebut adalah taskhir. Dua-duanya (khilafah dan taskhir) diberikan oleh Allah kepada seluruh manusia tanpa terkecuali.
Semua orang memiliki tanggung jawab yang sama untuk menjaga kelestarian alam sebagaima mereka semua punya hak yang sama untuk menikmati dan memanfaatkan kekayaan alam. Tidak ada seorang atau golongan yang lebih wajib dibandingkan yang lain untuk menjaga alam, sebagaimana tidak ada pihak yang lebih berhak dibandingkan yang lain untuk mengambil manfaat darinya. Berdasar paradigma ini, eksploitasi alam yang dilakukan oleh sekelompok orang yang merugikan kelompok masyarakat lainnya adalah terlarang.
Seorang muslim meyakini bahwa dirinya adalah hamba ciptaan Allah sebagaimana makhluk lainnya. Allah menjadikannya sebagai wakil dan mandataris untuk menjaga alam semesta sehingga ia tidak boleh melakukan eksploitasi yang merusak terhadapnya. Sebab, alam ini ini adalah hak yang diberikan oleh Allah untuk semua makhluk secara setara. Sehingga, pemanfaatan alam yang dilakukan oleh satu makhluk tidak boleh menghalangi makhluk lain untuk mengakses kekayaan alam.
Manusia perlu menyadari bahwa ia diciptakan oleh Allah sebagai makhluk lemah. Artinya, manusia tidak mampu menciptakan dunia di mana ia bisa hidup di dalamnya. Semuanya disediakan, dianugerahkan, dan ditundukkan oleh Allah: bumi, langit, matahari, awan, dan lainnya sehingga tersedia air, udara segar, dan makanan yang dengannya manusia bisa hidup.
Hal ini merupakan bentuk kasih sayang dari Allah. Dia tidak ingin manusia menghamba kepada-Nya dengan terpaksa lantaran berkekurangan ditekan kebutuhan makanan dan minuman. Allah menghendaki manusia menjadi hamba yang merdeka dan bebas menentukan pilihan hingga memperoleh keyakinan akan keberadaan dan kebijaksanaan-Nya setelah merenungkan kuasa penciptaan-Nya. Manusia tidak mungkin bisa merenungkan keberadaan, kekuasaan, dan kebijaksanaan Allah jika dunia yang ia tinggali tidak memungkinkan ia hidup.
Kesetaraan dan Kesatuan Hak dan Kewajiban
Konsep Khilafah dan taskhir meniscayakan kesatuan dan kesetaraan hak dan kewajiban. Semua makhluk berhak menikmati dan memanfaatkan kekayaan alam secara setara. Manusia punya kewajiban yang sama untuk melindungi dan melestarikannya. Begitu juga, Islam juga mengecam dan mengancam siapapun yang melakukan pengrusakan yang dapat merusak ekosistem kehidupan di bumi.
Islam menjunjung tinggi hak-hak sehingga ia menjadi kewajiban atas individu maupun masyarakat. Syariat—misalnya—memberikan manusia hak berkeyakinan dan beragama. Sepaket dengan itu juga, ia mewajibkannya untuk menjaga kelestarian agama atau keyakinan yang dianut dengan melaksanakan ajaran serta mendakwahkannya.
Hak dan kewajiban ini dimiliki bersama oleh seluruh umat manusia. Setiap orang berhak untuk mempertahankan dan memperjuangkan hak tersebut. Umat muslim, dalam hal ini tidak hanya punya kewajiban untuk mempertahankan haknya untuk melaksanakan kewajiban agamanya, melainkan juga berkewajiban untuk memastikan terjaminnya hak berkeyakinan dan beragama masyarakat secara umum, tidak hanya bagi komunitasnya sendiri.
Tatkala syariat mewajibkan menusia untuk menjaga kehormatannya, saat itu juga ia memberikan hak kepada seluruh masyarakat untuk melakukan upaya perlindungan terhadapnya dari segala bentuk pelecehan dan kesewenang-wenangan.
Poinnya, dalam Islam, hak dan kewajiban bagai dua sisi mata uang.
Logika semacam ini juga berlaku dalam kaitannya dengan hubungan manusia dan alam. Syariat mewajibkan manusia untuk menjaga, melestarikan, dan menyayangi alam sekaligus memberi mereka hak yang sama untuk hidup di dalamnya dengan nyaman sentosa. Oleh karena itu, semua orang berhak menuntut terpenuhinya hak tersebut.
Di sinilah kedudukan negara amat penting, bukan hanya untuk memastikan terpenuhinya hak, melainkan juga memastikan semua orang melaksanakan kewajibannya untuk menjaga kelestarian alam. Dalam fiqh, negara berhak—melalui pejabat yang berwenang—menuntut pelaku bisnis kuliner, misalnya, untuk bertindak profesional dengan menjaga kebersihan, kesehatan, dan keamanan produknya demi melindungi hak konsumen untuk memperoleh panganan yang bersih dan sehat.
Ini artinya, pelaku bisnis atau industri memang berhak memperoleh keuntungan dari bisnisnya. Tetapi, pada saat yang sama ia juga punya kewajiban untuk memperhatikan kualitas produk serta aktivitas bisnisnya supaya tidak merugikan pihak lain.
Memakmurkan Bumi
Alam semesta yang dianugerahkan oleh Allah wajib dimakmurkan (‘imarat al-ardl), dalam arti dimanfaatkan untuk tujuan kemaslahatan bagi sebanyak-banyak makhluk. Membiarkan alam tidak dimanfaatkan dan dikelola juga berarti merusaknya.
Namun demikian, di saat yang sama Islam juga menekankan bahwa pemanfaatan alam tidak boleh merusak. Maka dari itu, seluruh aktivitas pembangunan yang memanfaatkan alam harus berpegang pada prinsip moral universal, di antaranya kaidah emas ‘jangan melakukan sesuatu yang engkau tidak mau orang lain lakukan kepadamu’.
Tanpa berpegang pada prinsip tersebut, maka setiap aktivitas pembangunan dan pengelolaan alam akan bermuara pada penghancuran peradaban. Teknologi yang dihasilkan pasti menyisakan limbah yang berbahaya bagi keberlangsungan ekosistem. Alam dieksploitasi besar-besaran demi kepentingan sesaat dan mengabaikan kebaikan bagi generasi mendatang.
Menjaga dan Mencintai Alam
Islam tidak sekadar berwasiat agar manusia menjaga dan mengelola alam. Lebih dari itu, Islam sesungguhnya menekankan agar manusia membangun kedekatan dengan alam dalam bingkai cinta dan penghormatan. Dalam Islam, seluruh bagian alam menghamba kepada Allah, semuanya bertasbih dan bersujud kepada-Nya. Tidak ada yang benar-benar ‘benda mati’. Semuanya memiliki nilai kehidupan: menghamba kepada Allah.
Kita bisa melihat bagaimana Rasulullah membangun kedekatan dengan alam tempat tinggalnya. Saat beliau harus hijrah ke Madinah, di perjalanan beliau sempat bersabda, “Demi Allah, sungguh engkau (Makkah) adalah sebaik-baik bumi Allah lagi paling dicintai-Nya. Andai aku tak terusir, niscaya aku tetap tinggal.” Terbaca Nabi membangun hubungan dengan tanah kelahirannya. Tanah Makkah memang benda mati, tetapi, ia dimuliakan dan dicintai oleh Allah dan karenanya Nabi mencintainya.