Wazanmedia.com – Dalam kitab Ihya, al-Ghazali menyebutkan bahwa ada tiga tingkatan iman. Pertama, iman orang awam. Kedua, iman ahli kalam. Ketiga, iman orang ‘arif.
Keimanan Orang Awam
Keimanan orang awam lebih berdasar kepada sumber testimonial. Dia tahu bahwa Allah ada (misalnya) dari orang yang telah terbukti selalu jujur dalam ucapan atau tidak pernah diketahui berdusta. Seperti Tomo tahu bahwa Sopo ada di dalam rumah dari Jarwo yang selama ini dikenal tidak pernah berdusta dan selalu jujur dalam berkata. Karena kepercayaan dan dugaan baiknya kepada Jarwo, Tomo yakin bahwa Sopo benar-benar ada di dalam rumah walaupun tidak benar-benar melihatnya.
Al-Ghazali menganggap bahwa orang-orang yang memeluk keyakinan atas dasar mengikuti keyakinan yang dianut orang tua/nenek moyang/guru mereka termasuk dalam tingkatan iman semacam ini. Pokoknya, apapun keyakinan yang dianut orang tua/guru mereka adalah pasti benar tanpa harus mempertanyakan apa dan bagaimana. Ibarat perjudian, iman ini bisa benar bisa salah tergantung keyakinan orang yang menginformasikannya: kalau keyakinan yang disampaikan ternyata keyakinan yang benar, maka akan selamat. Sebaliknya, jika keyakinan yang disampaikan ternyata keyakinan yang salah, akhirnya bisa celaka.
Keimanan Ahli Kalam
Keimanan ahli kalam berdasar dalil-dalil rasional. Contoh dalil rasional (dalil aqli), Tomo tahu bahwa Sopo ada di dalam rumah karena dia mendengar suaranya. Kalau ada suara Sopo di dalam rumah, berarti ada sumber suara, yaitu si Sopo itu sendiri. Masalahnya, pengetahuan atau keimanan ini bisa saja salah. Dalam ilustrasi tadi, bisa saja suara Sopo yang terdengar bukanlah suara sopo, tetapi suara orang yang mirip suara Sopo atau halusinasi dari Tomo. Sehingga, adanya suara belum tentu menunjukkan keberadaan sumber suara.
Walaupun keimanan ini lebih tinggi dari keimanan sebelumnya, tetapi keduanya memiliki kesamaan, yaitu sama-sama mungkin salah. Testimoni mungkin salah sebanyak apapun yang mengutarakan informasinya. Dalil-dalil rasional juga mungkin salah sehingga pengetahuan atau keyakinan yang dibangun atasnya mungkin saja berubah, atau sekurang-kurangnya menimbulkan keraguan.
Keimanan para ‘Arif Billah
Keimanan yang tak mungkin salah adalah keimanan berdasar musyahadah atau mukasyafah seperti yang dialami orang-orang yang ‘arifin. Mereka ‘mengetahui’ keberadaan Allah melalui pengalaman spiritual. Pengetahuan tersebut sepertimana (walau tidak sepenuhnya sama) Anda tahu bahwa teman anda berada di dalam ruangan setelah melihat langsung keberadaannya dengan mata kepala.
Pengetahuan ini sudah dibarengi keyakinan sehingga tidak memerlukan testimoni atau dalil-dalil aqli. Walaupun ada seorang bermukjizat yang mengatakan informasi sebaliknya, pengetahuan itu (keberadaan Sopo di dalam rumah-keberadaan Allah) tidak mungkin berubah. Inilah pengetahuan yang dapat disebut ‘ilmu’ menurut definisi populer dalam kitab turats, yaitu:
حكم جازم لا يقبل التغير
“Penilaian yang mantap nan tak mungkin berubah.”
Wallahu A’lam.