Wazanmedia.com – MANUSIA secara perilaku terbagi menjadi dua golongan, ada yang gemar menolong orang lain, dan ada pula yang tidak. Hal ini dapat kita saksikan ketika mengamati kegiatan masyarakat terdapat seseorang yang sangat memperhatikan keadaan sekitarnya. Bahkan dalam urusan yang kecil sekalipun.
Biasanya, kondisi ini terjadi pada manusia yang hidup di tengah masyarakat yang menjunjung tinggi budaya gotong royong. Semisal masyarakat yang hidup di pedesaan. Beda halnya dengan kehidupan perkotaan yang didominasi masyarakat modern yang hidup di kota-kota urbanisme. Mereka rata-rata mementingkan nasib diri sendiri, sehingga acuh terhadap kondisi sekitar.
Dua golongan di atas adakalanya terbentuk secara lahiriah, dan ada pula yang disebabkan lingkungan sekitar. Dalam teori etika, golongan pertama yang lebih mementingkan kebutuhan orang lain masuk dalam definisi Altruisme. Sementara, perilaku yang kedua mengarah pada teori Egoisme.
Karakter yang Dibentuk Budaya
Masalahnya, ketika budaya suatu lingkungan sudah membentuk tabiat seseorang secara paten. Semisal tolong menolong yang sudah mengakar dalam tradisi masyarakat, maka ia tak akan berani melanggar batas-batas tersebut karena khawatir akan mendapat stigma negatif. Imbasnya, ia akan secara totalitas menolong orang lain dengan meninggalkan urusan dirinya yang hakikatnya lebih penting untuk dilaksanakan. Meski ia tahu sebenarnya orang lain yang hendak dibantu mampu untuk melakukannya secara mandiri. Konsekuensi seperti inilah yang menimbulkan keresahan. Sehingga perlu untuk menggali kembali hakikat etika yang relevan menyangkut segala aspek. Baik yang menyangkut kepentingan diri sendiri maupun orang lain sehingga nantinya cocok untuk dipraktikkan. Rasanya, sudut pandang agama Islam sangat pas untuk mendamaikan atau memforsir dua teori etika yang begitu kontras tersebut.
Sebenarnya, ada banyak teori-teori yang membahas etika. Salah satu yang paling relevan dengan ajaran Islam ialah “teori altruisme”. Altruisme merupakan istilah modern dari kata Empati, yang pertama kali diperkenalkan seorang filsuf bernama Auguste Comte sebagai anti tesis dari “teori egoisme”. Kata altruisme ini berasal dari bahasa Perancis yaitu Autrui atau dalam bahasa Latin disebut juga sebagai Arteri yang memiliki arti “orang lain”. Dari sini dapat dipahami bahwasannya kata ini menggambarkan orang lain di luar dirinya sebagai fokus utama. Altruisme sebagai perilaku yang dilakukan seseorang, semata-mata ditujukan untuk kebahagiaan orang lain.
Dalam islam, tidak terhitung dalil-dalil yang menyeru agar manusia senantiasa berempati terhadap sesamanya manusia bahkan makhluk. Semisal hadits “Allah akan terus menolong seorang hamba selama hamba itu senantiasa menolong saudaranya.” (HR. Bukhari). Bahkan, saking dianjurkan untuk tolong menolong, Nabi Muhammad tidak mengakui orang-orang yang hanya memikirkan diri sendiri dengan sabdanya “Barangsiapa yang tidak peduli urusan kaum Muslimin, Maka Dia bukan golonganku.” (Al-Hadits).
Menyikapi Dalil yang Menekankan Empati
Namun, apakah dalil-dalil di atas mengharuskan manusia melalaikan atau menunda kepentingan dirinya demi hajat orang lain? Jawabannya tentu tidak seekstrem demikian. Logikanya, semisal ada seseorang yang mempunya segelas air, dan ia sedang dilanda kehausan yang hampir menyebabkan kematian. Lalu datang temannya untuk meminta air tersebut padahal ia tidak begitu membutuhkannya. Maka seseorang tersebut tentu tidak boleh memberikan segelas air tersebut karena akan memudaratkan diri sendiri.
Gambaran di atas ialah ajaran salah satu konsep Maqashid as-Syari’ah yaitu “hifdu an-nafs” (menjaga keberlangsungan kehidupan). Konsep ini banyak ditemukan dalam litelatur kitab klasik bergenre maqhasid seperti “Al-Muwafaqat” karya Asy- Syatibi yangmenuntut seseorang agar melakukan apa saja bahkan (hal-hal yang awalnya dilarang) demi bertahan hidup. Jika konsep hifdzu an-nafs dikaitkan dengan teori altruisme, maka akan lahir pemahaman bahwa seseorang boleh, atau bahkan wajib mengesampingkan kebutuhan orang lain dan lebih memikirkan nasib diri sendiri, selama kepentingan diri sendiri dirasa lebih layak untuk diprioritaskan.
Oleh karena itu, perlu kiranya untuk turut mempertimbangkan konsep “teori egoisme” yang dicetuskan oleh Friedrich Wilhelm Nietzsche (1844-1900) (Wikipedia). Jika teori altruisme menimbulkan perbuatan yang menguntungkan orang lain, maka teori egoisme lebih mengutamakan kepentingan diri sendiri. Rachels memperkenalkan dua konsep yang berhubungan dengan egoisme. Pertama, egoisme psikologis, adalah suatu teori yang menjelaskan bahwa semua tindakan manusia dimotivasi oleh kepentingan berkutat diri. Kedua, egoisme etis, adalah tindakan yang dilandasi oleh kepentingan diri sendiri.
Teori Egoisme Psikologis dan Etis
Menurut teori ini, orang boleh saja yakin ada tindakan mereka yang bersifat luhur dan suka berkorban, namun semua tindakan yang terkesan luhur tersebut hanyalah sebuah ilusi. Pada kenyataannya, setiap orang hanya peduli pada dirinya sendiri. Berdasarkan teori ini, tidak ada tindakan yang sesungguhnya bersifat altruisme, yaitu suatu tindakan yang peduli pada orang lain atau mengutamakan kepentingan orang lain dengan mengorbankan kepentingan dirinya.
Dapat dipahami bahwa teori ini tampaknya bertentangan dengan ajaran umat Islam yang memang sedari awal mengharuskan pemeluknya menolong orang lain secara cuma-cuma (ikhlas) tanpa adanya maksud terselubung. Ketika dalam Islam membantu orang lain merupakan sebuah keharusan, dalam teori egoisme masih melihat apakah pertolongan tersebut ada manfaat yang kembali pada dirinya. Jikalau tidak ada, maka teori ini menuntut seseorang agar tidak melakukan hal yang sifatnya sia-sia.
Teori ini sangat relevan bagi para pemikir sekuler yang melarang seseorang menghamba pada manusia. Menolong orang lain merupakan tindakan yang dapat menurunkan derajat manusia. Seseorang dianggap rugi ketika masih melakukan tindakan yang tidak berdampak pada dirinya. Sebaliknya dianggap mulia ketika terlepas dari tindakan sia-sia tersebut. Meski begitu, teori ini bukanlah jalan pintas seseorang boleh melakukan hal yang merugikan orang lain. Titik tekan teori ini hanya berkutat pada tindakan yang bermanfaat bagi dirinya (baik dicapai dengan cara menolong orang lain atau tidak) tidak lebih!
Penutup
Kedua teori ini tampaknya bisa didamaikan untuk kemudian menghasilkan konsep yang lebih relevan dengan menggunakan kaidah yang berbunyi: “menolak mafsadat itu lebih utama ketimbang mendatangkan maslahat” (Ahmad Zarqa’, Syarah Qawaid Fikhiyyah). Jika menolong orang lain malah menjadikan terhambatnya urusan diri sendiri yang nilainya lebih urgen, di samping orang yang hendak dibantu mampu untuk melaksanakannya secara mandiri, maka yang harus didahulukan ialah mengerjakan urusannya sendiri. Berbeda jika keduanya sama-sama butuh untuk segera dilakukan, sementara kepentingan diri sendiri tidak begitu mendesak, maka membantu urusan orang lain lebih dianjurkan sebagaimana kaidah “kemaslahatan umum mendahului kemaslahatan pribadi”. Artinya, titik tekan untuk melakukan tindakan pertolongan dilihat dari seberapa mendesaknya urusan tersebut.
Wal hasil, dapat diambil kesimpulan, bahwa teori altruisme memang sangat cocok untuk diterapkan dalam konteks sosial karena akan membuat ukhuwah basyariyah menjadi harmonis. Masyarakat akan menjadi lebih bersinergi dalam melakukan hal-hal baik. Namun, perlu di catat bahwa terlalu over membahagiakan orang lain sehingga melupakan hal-hal penting dalam kehidupan diri sendiri juga tidak tepat. Jika dua teori di atas sama-sama digunakan sesuai porsinya tentu akan membuat seseorang berlaku moderat. Ia akan tahu kapan dan mana kebutuhan yang lebih urgen atau mendesak untuk segera dikerjakan. Dan pada akhirnya, ia akan tetap bisa memberi sebuah pertolongan bagi orang lain di samping tidak melupakan prioritasnya.