Wazanmedia.com – Allah mengutus Rasulullah, Nabi Muhammad SAW sebagai “penebar kasih sayang bagi alam semesta”. Sebagaimana tertera dalam firman-Nya:
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِّلْعَالَمِينَ
“Kami tidak mengutus engkau (Nabi Muhammad), kecuali sebagai rahmat bagi seluruh alam.” (QS. Al-Anbiya’: 107)
Rahmatnya tidak hanya diperuntukkan kepada pengikutnya, namun mencakup semua yang berada di alam semesta. Seperti binatang, tumbuhan, bahkan benda mati pun turut mendapatkan rahmatnya. Tak ayal jika gunung, hewan, dan kayu pun turut merindukan dan menicintainya.
Begitu juga, Nabi Muhammad SAW diutus sebagai pemungkas para Nabi dengan membawa ajaran agama islam. Agama yang para pengikutnya disebut sebagai “muslim”. Seyogianya bagi orang yang mencintai dan mengaku sebagai muslim, senantiasa meneladani sifat-sifat Al-Insan al-Kamil tersebut. Sebab, didalam suatu maqalah dikatakan,:
المحبة تورد المجانسة
“Rasa cinta dapat mendatangkan keserupaan”
Sifat Rasulullah
Dan diantara sifat Rasulullah SAW ialah Syafaqah (kasih sayang). Sebagaimana telah masyhur dikisahkan, ketika beliau berdakwah ke Thaif untuk mengajak penduduknya beriman kepada Allah, serta mengharap mereka menerima dakwahnya, apa yang beliau peroleh? Justru sebaliknya, respon penduduk Thaif tidak sesuai dengan apa yang beliau harapkan. Mereka menentang dakwahnya, mengusirnya, bahkan melemparinya dengan batu sehingga kaki beliau berdarah. Melihat hal itu Malaikat Jibril merasa terluka. Akhirnya, Malaikat Jibril menawarkan kepada Nabi untuk memberikan pelajaran kepada penduduk Thaif dengan menimpakan gunung kepada mereka. Namun apa yang dilakukan penduduk Thaif kepada Nabi, tak mengubah jati dirinya sebagai sosok yang lemah lembut dan penyayang. Alih-alih ingin membalas dendam, beliau justru mengangkat tangannya seraya memanjatkan doa:
اللهم اهد قومي فإنهم لا يعلمون
“Ya Allah, berilah petunjuk kepada kaum ku (penduduk Thaif), karena sesungguhnya mereka tidak mengetahui (kebenaran) yang aku bawa.”
Tidak hanya kepada orang yang mencintainya, orang yang membencinya pun mendapatkan curahan kasih sayangnya. Sebagaimana kisah diatas.
Bahkan, kasih sayang Nabi tidak hanya terbatas di dunia, di akhirat pun kasih sayangnya tetap tercurahkan, khususnya bagi ummat islam. Suatu ketika Allah berfirman kepada Nabi didalam surah ad-Dhuha:
وَلَسَوْفَ يُعْطِيْكَ رَبُّكَ فَتَرْضٰىۗ
“Sungguh, kelak (di akhirat nanti) Tuhanmu pasti memberikan karunia-Nya kepadamu sehingga engkau puas (ridla).”
Lantas beliau memohon seraya berujar:
فوالله لا أرضى وواحد من أمتي في النار
“Demi Engkau Ya Allah, aku tak akan puas (ridla) jikalau salah satu ummatku masih berada di neraka.” Akhirnya Allah memberi hak syafa’at kepada beliau. Sebagaimana disabdakannya:
شَفَاعَتِيْ لِاَهْلِ الْكَبَائِرِ مِنْ اُمَّتِى
“Syafaatku kelak akan aku berikan kepada para pendosa besar dari umatku.” (HR Abu Dawud dan At- Tirmidzi). Tidak bisa dibayangkan begitu agung kasih sayang sosok Khairul Bariyyah tersebut kepada ummatnya. Sampai-sampai beliau enggan masuk ke surga demi menunggu seluruh ummatnya masuk surga.
Kisah Nabi
Kasih sayang Nabi kepada ummatnya juga termaktub didalam kisah beliau bersama sayyidah Aisyah (istrinya). suatu hari, Nabi sedang berbincang santai dengan sayiyidah Aisyah. Kemudian sayyidah Aisyah berkata kepada Nabi, “wahai Rasulullah, aku ingin engkau mendoakanku”. Kemudian Nabi mengangkat tangannya dan berdoa kepada Allah, “Ya Allah ampunilah dosa-dosa Aisyah baik yang lalu dan yang akan datang, yang terlihat dan yang tersembunyi”. Mendengar doa tersebut,, sayyidah Aisyah tersenyum bahagia sampai-sampai ia menjatuhkan kepalanya ke pangkuan Nabi. Nabi kemudian berkata, “wahai Aisyah, senangkah engkau dengan doaku tadi?”, sayyidah Aisyah menjawab, “Ya Rasulallah, bagaimana aku tidak senang, engkau mendoakanku dengan doa yang begitu agung”. Kemudian Nabi menimpali, “Demi Allah wahai Aisyah, itu adalah doaku untuk semua ummatku setiap selesai sholat”.
Mengambil Pelajaran dari Kisah Nabi
Dari kisah diatas bisa kita ambil pelajaran, bahwa Nabi tak pernah meninggalkan kita, setiap saat beliau selalu mengingat kita dan selalu memohonkan ampun untuk kita. Hal itu terjadi sebab kecintaan beliau yang sangat besar kepada ummatnya. Sebagaimana diabadikan di dalam alquran yang berbunyi:
لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِّنْ أَنفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُم بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَّحِيمٌ
“Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu (dosa-dosamu), sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin”. [QS. At-Taubah: 128]
Bahkan bukan hanya mencintai ummatnya, beliau juga merindukan ummatnya sejak lama. Sebagaimana sabdanya kepada sayyidina Abu Bakar:
اشتقت لأحبابي قالوا : أولسنا أحبابك يا رسول الله قال : لا انتم اصحابي اما احبابي فقوم يأتون من بعدي يؤمنون بي ولم يروني
“Wahai Abu Bakar, aku begitu rindu hendak bertemu dengan ikhwanku (saudara-saudaraku).” Sahabat Abu Bakar pun bertanya, “Apa kah maksudmu berkata demikian, wahai Rasulullah? Bukankah kami ini saudara saudaramu?” Rasulullah menjawab, “Tidak, wahai Abu Bakar. Kamu semua adalah sahabat-sahabatku, tetapi bukan saudara-saudaraku. Saudara-saudaraku adalah mereka yang belum pernah melihatku, tetapi mereka beriman denganku.”
طوبى لمن رآني وآمن بي ثم طوبى ثم طوبى ثم طوبى لمن آمن بي ولم يراني
“Beruntunglah orang yang pernah melihatku dan beriman kepadaku. Beruntunglah, kemudian beruntunglah, kemudian beruntunglah orang yang beriman kepadaku sekalipun tidak pernah melihatku”.
Tidakkah kita membalas kerinduan beliau dengan kerinduan dan kecintaan yang lebih besar kepadanya? Sepelit itukah kita hingga tak ada waktu luang untuk mengingatnya?
Sudah sepantasnya bagi kita senantiasa bersyukur kepada Allah SWT karena telah ditakdirkan menjadi ummat Baginda Nabi Muhammad SAW.
الحمد لله الذي جعلنا من أمة سيدنا محمد