Wazanmedia.com – Dulu, saat masih menempuh jenjang SMA, ketika mendengar kata “filsafat”. Maka yang terbayang pertama kali dalam benak pikiran ialah sebuah disiplin ilmu yang tidak boleh didekati, dilarang, dan terkesan “didosakan”. Karena dianggap merusak terhadap kemurnian ajaran Islam. Banyak yang berilustrasi bahwa filsafat hanya menimbulkan kebimbangan dalam jiwa. Karena terlalu banyak bertanya (kritis) ketika menghadapi suatu persoalan. Gambaran pemahaman seperti itu tak lepas dari doktrin sosio-kultural penulis yang terkesan anti terhadap filsafat dengan segala anak cabangnya.
Doktrin turun temurun yang terus dilestarikan serta kemalasan untuk mengetahui terkait larangan mempelajari filsafat. Rasa-rasanya menjadi penyebab utama menjamurnya kejumudan tersebut. Mereka mengatakan demikian dengan mengutip perkataan Imam Asy-Syafii untuk dijadikan tameng. Dawuhnya: “Tidak ada sesuatu yang lebih aku benci daripada ilmu Filsafat dan ahli Filsafat”. (Taariikh Al-Islaam li Adz-Dzahabi 14/332)
Padahal, Asy-Syafii mengatakan demikian sebagai upaya memerangi ulama’ kalam waktu itu. Yang sangat getol dengan pemikirannya menyatakan bahwa Al-Quran adalah makhluk. Selain itu, Asy-Syafii mengatakan perkataan di atas untuk mewanti-wanti umat Islam agar tidak terlalu over mempelajari filsafat yang malah membuatnya melewati batas-batas ajaran Islam. Bukan malah meratakan seluruh orang agar menjauhi filsafat.
Selain itu, ternyata banyak cendekiawan Muslim yang malah pakar dalam bidang filsafat, seperti Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Rusyd, bahkan ulama sekaliber Al-Ghazali dulunya adalah seorang filsuf. Oleh karenanya, butuh sebuah pemahaman baru yang dapat meluruskan kekeliruan tersebut dengan menguak terkait peran filsafat dalam paradigma ajaran Islam.
Anjuran Al-Quran Untuk Berfilsafat
Filsafat secara Etimologis Dalam Dictionary of Philosophy, berasal dari 2 kata, yakni philos dan sophi. Philos artinya cinta, sedangkan Sophia artinya kebijaksanaan. Filsafat sebagai pemikiran mendalam melalui cinta dan kebijaksanaan. Secara terminologi, pengertian filsafat bisa jadi berbeda antara filsuf yang satu dengan yang lainnya. Namun substansi yang diajukan sama, yaitu kegiatan berpikir. Berpikir yang dimaksud dalam filsafat bukanlah sekedar berpikir, namun berpikir yang logis, sistematis, radikal, universal, bebas dan bertanggung jawab.
Berpikir secara radikal tidak berarti hendak mengubah esensi dari segala sesuatu. Melainkan radikal yang dimaksud dalam arti yang sebenarnya dari kata radix (akar), yaitu berpikir secara jernih dan mendalam untuk mencapai akar persoalan yang di permasalahkan.
Dalam artian bahwa siapa pun yang berpikir logis, sistematis, radikal, dan bertanggung jawab, berarti ia sedang berfilsafat. Filsafat membuat daya berpikir seseorang menjadi lebih bebas. Dan tidak terkungkung dalam suatu aturan tetap. Namun, perlu digaris bawahi bahwa bebas dan radikal di sini tidak meniscayakan bahwa ia boleh membuat suatu kesimpulan yang bertentangan dengan ajaran pokok dalam Islam, seperti Al-Quran dan Hadis.
Termenologi yang Mendukung Berfilsafat
Menurut Qardhawi dalam karyanya Al-Quran berbicara tentang akal dan ilmu pengetahuan, mengatakan bahwa seruan untuk berfilsafat dicantumkan dalam Al-Quran sebanyak 49 kali. Menggunakan term ‘aql dan 48 kali disebutkan dalam bentuk fi’il mudhari’ melalui pernyataan ta’qilun atau ya’qilun. Pernyataan ta’qilun diulang sebanyak 24 kali, ya’qilun diulang sebanyak 22 kali, dan sisanya menggunakan pernyataan ‘aqaala, na’qilu, dan ya’qilun.
Seruan yang berulang kali tersebut bertujuan agar manusia dapat menyusun kerangka filsafat dalam menggunakan akalnya untuk menemukan sebuah kebenaran dan kemajuan pemikiran. Dengan kata lain, Al-Quran menganjurkan manusia mendaya gunakan dengan akalnya, untuk melahirkan perkembangan pemikiran dalam mengkaji kebenaran-kebenaran agama. Terlebih untuk memberikan solusi pemikiran dalam menghadapi berbagai permasalahan umat. Serta melahirkan ide-ide pemikiran yang dapat melahirkan kesejahteraan bagi umat manusia.
Ayat Al-Quran tentang Filsafat?
Salah satu ayat Al-Quran yang secara implisit menganjurkan berfilsafat seperti dalam surah Al-Ankabut: 20:
اَوَلَمْ يَتَفَكَّرُوْا فِيْٓ اَنْفُسِهِمْۗ مَا خَلَقَ اللّٰهُ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَآ اِلَّا بِالْحَقِّ وَاَجَلٍ مُّسَمًّىۗ وَاِنَّ كَثِيْرًا مِّنَ النَّاسِ بِلِقَاۤئِ رَبِّهِمْ لَكٰفِرُوْنَ
Apakah mereka tidak berpikir tentang (kejadian) dirinya? Allah tidak menciptakan langit, bumi, dan apa yang ada di antara keduanya, kecuali dengan benar dan waktu yang ditentukan. Sesungguhnya banyak di antara manusia benar-benar mengingkari pertemuan dengan Tuhannya.
Dalam tafsir Al-Misbah, Quraish Shihab menjelaskan bahwa ayat ini adalah perintah kepada Rasul untuk menyampaikan kepada orang-orang yang mendustakan perintah untuk beriman. “Berjalanlah kalian di muka bumi, dan perhatikanlah bermacam-macam makhluk ciptaan Allah yang ada di dalamnya. Dan lihatlah bekas orang-orang sebelum kalian yang ada di sana, setelah mereka mati dan rumah-rumah mereka kosong dari mereka. Ketahuilah bahwa Allah akan mengembalikan itu semua dengan kekuasaan-Nya di akhirat nanti dengan kebangkitan, yaitu penciptaan kembali. Begitu pula keadaan kalian. Sesungguhnya Allah sangat sempurna kekuasaan-Nya atas segala sesuatu.”
Dapat dipahami dari beberapa poin di atas, bahwa Al-Quran sebagai pedoman umat Islam justru memberikan perintah kepada umatnya untuk berfilsafat, baik untuk memahami agama, memahami alam, maupun kehidupan manusia secara menyeluruh. Sehingga, secara tidak langsung mewujudkan perintah Tuhan agar senantiasa merenungi setiap peristiwa dan guna menemukan hakikat kebenaran itu sendiri.
Peran Filsafat Dalam Rekonstruksi Hukum Islam
Fikih dengan segala problematik yang dialami, merupakan cabang dari ajaran Islam yang memiliki posisi istimewa. Alasannya tidak lain karena dalam fikih mengandung aturan terkait tindak tanduk seluruh perbuatan manusia, mulai dari halal-haram hingga urusan duniawi. Masalahnya, sebagian kalangan menganggap fikih yang ada saat ini sudah usang diiringi argumen bahwa hukum-hukum fikih yang terdapat dalam kitab-kitab klasik tidak dapat diaktualkan pada saat ini. Kondisi seperti ini, saya rasa memerlukan sebuah rekonstruksi besar-besaran pada hukum fikih agar tetap selaras pada semboyan yang berkata bahwa hukum Islam adalah ”Shalih Li Kulli Zaman Wa Makan”.
Pada awal perkembangan Islam, para ulama sebenarnya telah menggunakan akal pikiran dalam mendiskusikan persoalan-persoalan keagamaan. Akan tetapi hal ini masih terbatas sekali terutama pada domain syariat Islam, mengingat situasi dan kondisi saat itu tidak begitu membutuhkan adanya penalaran mendalam, karena masih relevannya dalil-dalil syariat. Berbeda dengan saat ini, di mana banyak sekali kasus-kasus aktual yang masih asing dalam ajaran fikih, dan ini merupakan sebuah sunatullah alias hukum alam, sebagaimana bunyi kaidah fikih “Hukum Islam dapat berubah karena adanya perubahan masa, tempat, keadaan, dan adat kebiasaan. Sehingga, keniscayaan ini membutuhkan perumusan hukum yang dapat menjawab tantangan-tantangan tersebut, agar sampai pada kaidah lain yang berbunyi “Hukum Islam dapat beradaptasi dengan perubahan sosial karena fleksibilitasnya dalam praktik”.
Problema Islam bila Memusuhi Filsafat
Masalahnya, ketika Islam hendak memosisikan diri untuk memusuhi filsafat yang memiliki peran penting dalam aspek penalaran yang dinamis, radikal, dan bertanggung jawab, maka sama saja menutup kemungkinan adanya fleksibilitas dalam fikih. Khudori Soleh, dalam bukunya Wacana Baru Filsafat Islam menyatakan bahwa salah satu faktor utama kelesuan berpikir dan berijtihad di kalangan umat Islam saat ini, disebabkan umat Islam tidak mau melihat dan memperhatikan filsafat sebagai kajian tentang proses berpikir atau proses penalaran. Tambahnya, dalam upaya pengembangan dan kajian keilmuan Islam saat ini kita tidak bisa berpaling dan meninggalkan filsafat. Tanpa sentuhan filsafat, pemikiran dan kekuatan spiritual Islam akan sulit menjelaskan jati dirinya dalam era global.
Karena itulah, Fazlur Rahman menyatakan bahwa filsafat adalah ruh atau ibu pengetahuan dan metode utama dalam berpikir, bukan produk pemikiran. Tanpa filsafat seseorang tidak akan mampu mengembangkan ilmunya, bahkan tanpa filsafat ia berarti telah melakukan bunuh diri intelektual.
Sehingga tindakan yang harus diambil yakni memahami secara rinci aturan berpikir dalam filsafat, untuk kemudian diejawantahkan dalam mengkritisi hukum-hukum yang sudah terpampang dalam kitab-kitab klasik. Tujuannya, mencari hikmah terkait motivasi adanya hukum (hikmah at-tasyri’), lalu dikembangkan menuju telaah dialektika al-’illah (mendialektikakan antara kata dan makna), hingga pada akhirnya mendasarkan semua hukum-hukum fikih pada konsep kemaslahatan bagi manusia. Kegiatan ini tentu hanya dapat dilakukan orang-orang yang kredibel dan mempunyai wawasan keilmuan tinggi dalam ajaran Islam, lebih-lebih dalam bidang usul fikih.
Penutup
Pada akhirnya, dapat diambil kesimpulan dari keterangan-keterangan di atas, bahwa tidak semua yang asing itu tidak berguna. Filsafat memang bukan produk asli yang diciptakan oleh Al-Quran maupun As-Sunah, melainkan diambil dari peradaban Yunani kuno. Akan tetapi, apa salahnya jika umat Islam mengambil hikmah. Dan pelajaran tentang filsafat jika itu menguntungkan bagi peradaban Islam itu sendiri? Apalagi, esensi makna terhadap anjuran untuk berfilsafat mendapatkan legitimasi dalam Al-Quran sebagaimana keterangan di atas.