Sebagai sebuah konsep, kebudayaan merupakan sesuatu yang sangat menarik, selain karena telah banyak pakar yang mengajukan definisinya, juga karena konsep itu sendiri selalu berhadapan dengan perwujudannya. Kebudayaan merupakan suatu pedoman tingkah lagi yang dapat bersifat memaksa bagi setiap individu, karena ia adalah fakta sosial. Pandangan semacam inilah yang mempengaruhi kecenderungan cara orang memahami kebudayaan dari hanya segi bagaimana proses pewarisannya.
Bagaimana proses pewarisan itu terjadi, Geertz (1973: 89) membayangkan budaya “sebagai pola dari pengertian-pengertian atau makna-makna yang terjalin secara menyeluruh dalam simbol-simbol dan ditransmisikan secara histories”. Dengan mewariskan konsepsi-konsepsi simbolik inilah pada akhirnya manusia dapat mengembangkan pengetahuan dan sikapnya terhadap kehidupan.
Definisi dari Geertz diantara yang paling mapan, menunjuk kepada “sistem simbol” yang berfungsi sebagai alat pengarah tingkah laku. Di dalam simbol inilah sesungguhnya terdapat tumpukan makna, dengan mana “budaya” sekelompok orang dapat dipahami. Budaya disini lebih menunjuk pada pemahaman sekelompok orang terhadap hidupnya yang dapat dikatakan sebagai ‘budaya generik’ yang merupakan blue print bagi tingkah laku.
Definisi di atas berbeda dengan definisi kebudayaan yang lebih menekankan pada “budaya diferensial” yang menunjuk pada cirri-ciri yang mewakili suatu kelompok masyarakat. Ciri-ciri tersebut dapat nampak pada sistem ekologis, ekonomi, struktur sosial, dan ideologis yang terkait dengan proses evolusi yang dinamis (Friedman, 1995: 68).
Kebudayaan dengan definisi ini lebih merupakan produk (identitas) yang pembentukannya dipengaruhi oleh keseluruhan proses sosial. Karenanya kebudayaan merupakan sesuatu yang dikonstruksikan secara sosial sehingga tidak terlepas dari kepentingan-kepentingan agen sosial yang terlibat. Sebagai sebuah budaya diferensial, suatu kebudayaan diperoleh melalui serangkaian jaringan yang bersifat dinamis, yang dalam proses negosiasinya terjadi secara intensif dalam proses konstruksinya.
Irwan Abdullah (2007: 2), memposisikan kebudayaan sebagai sistem simbol ini mengandung empat persoalan penting, yaitu: pertama, bahwa berbagai ekspresi kebudayaan dan pembentukan simbol-simbol senantiasa berada pada batas-batas ruang budaya tertentu, sementara itu batas-batasnya senantiasa mengalami pergeseran-pergeseran dinamis.
Kedua, batas-batas itu menentukan konstruksi makna yang dipengaruhi oleh hubungan kekuasaan yang melibatkan sejumlah aktor. Ketiga, pola hubungan kekuasaan ini mengejewantah dalam identitas kelompok dan kelembagaan yang menentukan cara pandang antar kelompok.
Keempat, identitas yang terbentuk melalui serangkaian simbol selain diterima juga telah menjadi objek perbincangan, perdebatan dan gugatan yang menegaskan perubahan yang mendasar dalam batas-batas kebudayaan.
Saat ini masihkah batas-batas kebudayaan mengacu pada batas secara fisik geografis? Tentu batas secara fisik masih penting, misalnya budaya Jawa selalu menunjuk pada suatu tradisi yang hidup di sebuah pulau yang disebut Jawa, demikian pula halnya bila kita menyebut budaya Bali, pikiran kita langsung tertuju pada pulau Dewata, pulau Bali.
Namun demikian, perubahan masyarakat justru menunjukkan kecenderungan lain dalam mendefinisikan suatu praktik yang menunjukkan proses mencairnya batas-batas ruang (fisik). Definisi kebudayaan yang dibangun dengan mengabaikan perubahan perubahan yang terjadi, atau hanya mengacu pada social setting yang telah berlalu akan cenderung mengalami hambatan pada saat digunakan secara praktis menata kehidupan masa kini. Konsep kebudayaan yang digunakan sejak zaman Franz Boas telah dilihat dalam kaitannya dengan culture area (area kebudayaan) menyebabkan kebudayaan didefinisikan dalam konteks fisik dengan batas-batas geografi yang jelas (Abdullah, 2008: ix).
Namun tatkala dunia telah menjadi sebuah wilayah tanpa batas (borderless world) yang telah mempengaruhi seluruh sektor kehidupan, misalnya sektor ekonomi, maka batas fisik mencair dengan sendirinya.