Wazanmedia.com – Budaya dan tradisi suatu daerah terkadang bersifat paten dan mengikat pada kultur masyarakat di dalamnya. Sehingga tradisi tersebut akan terus dilaksanakan sebagai upaya melestarikan kearifan lokal. Misalnya, pembuatan azimat di waktu tertentu. Hal ini sering kita jumpai dalam realitas bangsa Indonesia yang kebanyakan masih menganggap sakral kebudayaan nenek moyang. Meski telah hidup di zaman modern. Bahkan, adat tersebut telah mengakar menjadi kebiasaan yang tak terpisahkan dalam beragama.
Salah satu contohnya yaitu ketika melaksanakan ritual menolak bala’ pada hari rabu wekasan. Di samping tetap melaksanakan ibadah lain seperti salat hajat dan berdoa. Sebagian masyarakat ada yang membuat azimat (biasa di sebut jimat) dengan cara menuliskan Al-Quran dengan aturan tertentu pada sebuah benda seperti piring atau kertas. Lalu dicelupkan pada wadah air dengan harapan melindungi mereka dari segala musibah yang Allah turunkan pada hari tersebut.
Apa Jimat/Azimat itu?
Definisi Azimat menurut KBBI merupakan barang atau tulisan yang dianggap memiliki kekuatan gaib dan kesaktian untuk melindungi pemiliknya. Azimat juga dapat digunakan untuk menangkal penyakit dan tolak bala. Azimat biasa digantungkan pada tubuh, kendaraan, bangunan, atau diaplikasikan seperti kasus di atas. Yang ingin dibahas dalam tulisan ini adalah hukum terkait membuat azimat dari lafal Al-Quran, apakah dibenarkan menurut Islam, atau malah dikafirkan dengan alasan mengharap pada selain Tuhan?
Hukum Azimat dengan Ayat al-Qur’an
Dalam internal ulama’, terdapat pro kontra terkait kebolehan membuat azimat dari Al-Quran. Pihak yang menentang mengatakan bahwa larangan dari Al-Quran. Karena hal tersebut dapat mengurangi keagungan dari Al-Quran itu sendiri karena sering kali, azimat yang dibuat dibawa ke tempat-tempat yang kotor atau najis. Ketika seseorang ingin mendapat perlindungan dari Allah melalui Al-Quran, maka menurut kelompok ini cukup dengan membacanya dan mengamalkan dalam kehidupan sehari-hari.
Selain itu, membuat azimat sama halnya dengan mengharap pada selain Allah. Kalangan kontra mendasarkan argumennya dengan menyamakan azimat dengan tamimah (jimat) yang memang dilarang keras oleh Nabi, seperti dalam hadis yang dinyatakan sahih oleh Albani dalam As-Shahihah No. 492:
عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَاِمرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّهُ جَاءَ فِي رَكْبٍ عَشْرَةٌ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَبَايَعَ تِسْعَةً وَأَمْسَكَ عَنْ رَجُلٍ مِنْهُمْ فَقَالُوْا: مَاشَأْنُهُ؟ فَقَالَ: ِإنَّ فِي عَضُدِهِ تَمِيْمَةً فَقَطَعَ الرَّجُلُ التَّمِيْمَةَ فَبَايَعَهُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ تَعَالَى عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ قَالَ “مَنْ عَلَّقَ فَقَدْ أَشْرَكَ”.) رواه أحمد والحاكم)
Artinya: “Diriwayatkan dari Uqbah bin Amir ra, ada sepuluh orang lelaki datang menghadap Rasulullah Saw. dengan mengendarai kendaraan. Lalu Rasulullah membaiat sembilan orang di antara mereka, sedang yang satu tidak dibaiat. Para sahabat kemudian bertanya: “Ya Rasulullah mengapa yang satu orang itu tidak dibaiat?” Jawab Rasulullah: “Sebab di lengannya terdapat jimat.” Kemudian lelaki itu melepas jimatnya, dan Rasulullah pun membaiatnya. Kemudian Rasulullah Saw. bersabda: “Barang siapa memakai jimat maka dia telah musyrik.” (HR. Ahmad dan al-Hakim)
Ulama yang Membolehkan
Sementara, terdapat ulama’ lain yang menyangkal tuduhan di atas dengan memperbolehkan membuat azimat asalkan tujuan awalnya ialah bertabarruk dengan hal tersebut. Sebagaimana yang dikatakan Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam kitabnya Fathul Bari (6/124):
“Semua hadis yang melarang menggantung azimat dan semacamnya adalah karena tidak ada penyebutan nama Allah. Adapun ketika terdapat penyebutan nama Allah, maka tidak ada larangannya. Selama, hal tersebut bertujuan untuk media bertabarruk dan berta’awwudz dengan nama Allah.”
Ibnu Hajar Al-Haitami pernah mendapat pertanyaan terkait kebolehan membuat azimat yang tidak diketahui maknanya. Lantas beliau menjawabnya dalam kitab Fatawi al-Imam an-Nawawi, dinukil dari pendapat imam al-Ghazali:
“Bagi seseorang tidak dihalalkan melaksanakan sebuah perkara, sampai ia mengetahui tentang hukum Allah yang terkandung pada perkara tersebut”.
Pendapat demikian juga difatwakan oleh Syekh Izzuddin Ibn Abdissalam, beliau berfatwa: “Sesungguhnya menulis huruf-huruf yang masih tidak diketahui maknanya, untuk mengobati orang yang sakit hukumnya tidak boleh”.
Dari jawaban tersebut dapat diketahui bahwa menulis azimat haruslah dilakukan oleh orang yang mengetahui makna serta maksud dari ayat yang ditulis. Karena, jika orang awam yang menulis dikhawatirkan terjadi penyelewengan atau penyimpangan dari makna ayat Al-Quran.
Namun, hukum tidak memperbolehkannya, sebatas karena ditakutkan apabila ada sebagian azimat yang di dalamnya terdapat kata-kata kufur. Sedangkan apabila di dalamnya tidak terdapat kata-kata kufur maka hukumnya diperbolehkan.
Rasulullah dan Azimat
Hal ini ditunjukkan oleh Nabi Saw. yang pernah mengizinkan rukyah (الرق) yang dilakukan oleh para sahabat. Saat itu Nabi SAW. ditanya tentang rukyah (الرق), beliau bersabda, “jelaskanlah aku suwukmu sekalian”, juga para sahabat pun menjelaskan. Setelah dijelaskan, Lalu Nabi SAW. bersabda “tidak masalah” [Fatawi al-Imam an-Nawawi. H.200].
Argumen ulama’ yang memperbolehkan beralasan karena azimat merupakan ilmu hikmah yang lahir berbarengan dengan Islam itu sendiri. Menurut beberapa literatur sejarah, Al-Quran selain menjadi sebuah pedoman bagi kehidupan, ada juga yang dituliskan sebagai azimat. Dengan spesifik Imam Malik seperti yang dinukil dalam at- Tibyan fi Adabi Hamlatil Qur’an menerangkan bahwa:
Apa yang Harus Dilakukan Saat Ini? Layanan Pelanggan yang Tidak Dapat Diatur Perlindungan Lingkungan dan Perlindungan Lingkungan yang Dapat Diatur dengan Baik الله .
Menulis huruf-huruf Al-Quran itu tidak dilarang (tidak diharamkan), manakala di letakkan dalam botol atau ditaruh dalam bungkus kulit. Sebagian ulama berkata “bahwa tidak dilarang menuliskan Al-Quran secara bersamaan dengan yang lain sebagai sebuah azimat, akan tetapi lebih baik Dihindari karena akan terbawa ketika hadas. Kecuali jika memang dapat dijaga dan tidak disia-siakan sebagaimana yang disampaikan oleh Imam Malik”. Jika menuliskan huruf-huruf Al-Quran sebagai sebuah azimat yang diperoleh dengan syarat tetap dijaga kehormatannya, maka menggunakan azimat itu sendiri pastilah tidak dilarang.
Dalil lain yang menegaskan kebolehan membuat azimat datang dari ahli hadis dan ahli fikih dari Madinah sekaligus pembesar Tabi’in, yakni Said bin Musayyib yang tertera dalam karangan An-Nawawi Majmu’ Syarah Muhadzzab:
“ Imam Baihaqi meriwayatkan dengan sanad yang sahih dari Said bin Musayyib, bahwa dulunya Said bin Musayyib menyuruh menggantungkan azimat yang berisi Al-Quran, dan dia berkata bahwa membuat azimat yang berisi Al-Quran tidaklah dilarang”.
Kesimpulan
Dapat ditarik kesimpulan dari dalil-dalil di atas bahwa menulis azimat yang dilakukan oleh sebagian besar kalangan umat Islam Indonesia merupakan sebuah tradisi yang sudah ada sejak dulu. Artinya, seseorang boleh-boleh saja membuat azimat, dengan beberapa catatan:
- Isi dari azimat ditulis menggunakan ayat Al-Quran
- Tujuannya hanya sekedar bertabaruk memohon perlindungan kepada Allah
- Ditulis oleh orang yang memahami maksud dari ayat yang ditulis, agar terhindar dari salah menafsiri ayat.
- Azimat tersebut Tidak dibawa ke tempat-tempat yang hina atau mengandung unsur hadas.
Wallahu A’lam.