Seringkali ketika bulan maulid tiba, kita sebagai warga nahdliyyin khususnya, dicap ahli bid’ah (pelaku bid’ah) oleh kelompok tertentu. Alasannya, karena kita merayakan maulid Nabi, yang menurut mereka hal tersebut tak pernah diajarkan oleh Nabi. Dengan menggunakan dua argumentasi hadits:
وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ اْلأُمُوْرِ، فَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Jauhilah perkara baru karena semua bid’ah adalah sesat,” (HR Abu Dawud dan At-Tirmidzi). dan hadits:
مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam urusan kami ini (urusan agama) yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak” (HR. Bukhari no. 2697 dan Muslim no. 1718).
Mereka lantas menarik kesimpulan, bahwa orang yang melakukan sesuatu yang tak pernah diajarkan oleh Nabi adalah pelaku bid’ah yang terjerumus pada kesesatan. Padahal hadits tersebut tidak bisa ditelan mentah-mentah, perlu adanya kajian agar mengetahui apa itu bid’ah, dan siapa yang pantas dilabeli sebagai pelaku bid’ah.
Apa Bid’ah Itu?
Sebelum menjawab tuduhan tersebut, pertama kali yang perlu kita ketahui adalah definisi bid’ah itu sendiri. Imam Ibnu Hajar al-Asqalani didalam kitab Fathul Bari mendefinisikan bid’ah sebagi berikut:
وَالْبِدْعَةُ أَصْلُهَا مَا أُحْدِثَ عَلَى غَيْرِ مِثَالٍ سَابِقٍ وَتُطْلَقُ فِي الشَّرْعِ فِي مُقَابِلِ السُّنَّةِ فَتَكُونُ مَذْمُومَةً وَالتَّحْقِيقُ أَنَّهَا إِنْ كَانَتْ مِمَّا تَنْدَرِجُ تَحْتَ مُسْتَحْسِنٍ فِي الشَّرْعِ فَهِيَ حَسَنَة وَأَن كَانَت مِمَّا تَنْدَرِجُ تَحْتَ مُسْتَقْبَحٍ فِي الشَّرْعِ فَهِيَ مُسْتَقْبَحَةٌ وَإِلَّا فَهِيَ مِنْ قِسْمِ الْمُبَاحِ
“Bid’ah adalah perkara baru yang tak pernah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW. Namun, jikalau perkara tersebut mengandung kebaikan, maka disebut bid’ah hasanah (baik). Sementara jikalau perkara tersebut mengandung keburukan, maka disebut bid’ah sayyiah (buruk)”.
Dari definisi tersebut dapat kita ambil kesimpulan bahwa bid’ah itu terbagi 2, yakni hasanah (baik) dan sayyi’ah (buruk).
Benarkah Semua Bid’ah Sesat?
Untuk menanggapi argumentasi mereka, setidaknya saya akan mengemukakan beberapa argumen: Pertama, mengenai hadits كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ saya akan mengkajinya dari segi lafal dan kaidah kebahasaan (qoidah lughowiyyah). Para ahli mantiq berpendapat, bahwa lafadz (كُلَّ) terbagi menjadi dua. Yang pertama adalah (كُلَّ) yang bermakna “kulliy” (sebagian), sedangkan yang kedua adalah (كُلَّ) yang bermakna “kulliyah” (keseluruhan). Pendapat tersebut berdasarkan firman Allah:
وَجَعَلْنَا مِنَ الْمَاۤءِ كُلَّ شَيْءٍ حَيٍّۗ
“Dan Kami menjadikan segala sesuatu yang hidup berasal dari air.”
Yang dimaksud oleh ayat tersebut ialah “sebagian sesuatu diciptakan dari air”, sebab para malaikat dan jin tak diciptakan dari air. Sebagaimana firman Allah:
وَخَلَقَ الْجَاۤنَّ مِنْ مَّارِجٍ مِّنْ نَّارٍۚ
“Dia juga telah menciptakan jin dari nyala api tanpa asap.”
Jadi yang dimaksud lafadh (كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ), tak semua bid’ah itu sesat, melainkan hanya sebagian saja yang sesat, karena hadits tersebut bersifat umum dan ditakhsis serta dijelaskan oleh hadits lain yakni:
مَنْ سَنَّ فِى اْلاِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ غَيْرِ اَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْئًا وَمَنْ سَنَّ فِى اْلاِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِئَةً فَعَلَيْهِ وِزْرُهَاوَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ غَيْرِاَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْئًا..
“Barang siapa yang mentradisikan perkara yang baik dalam Islam, maka ia akan mendapatkan pahala orang yang turut mengerjakannya dengan tidak mengurangi dari pahala mereka sedikit pun, dan barang siapa yang mentradisikan perkara yang buruk maka ia akan mendapat dosa dan dosa-dosa orang yang ikut mengerjakan dengan tidak mengurangi dosa-dosa mereka sedikit pun”.
Hukum Bermaulid Menurut Para Ulama
Hadits diatas juga selaras dengan dawuh Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki didalam kitab Mafahim Yajibu an-Tushohhah:
أن الاجتماع لأجل المولد النبوي أمر عادي ولكنه من العادات الخيرة الصالحة التي تشتمل على منافع كثيرة وفوائد تعود على الناس
“Perayaan maulid nabi adalah suatu tradisi baik yang mengandung manfaat dan faidah yang didapatkan oleh orang yang merayakannya.”
Kedua, hadits مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ hanyalah tertentu pada perkara-perkara baru yang tak dijumpai sumber hukumnya. Sementara isi dari perayaan maulid adalah perkara-perkara yang memang dijumpai sumber hukumnya. Seperti pembacaan ayat suci alquran, pembacaan sholawat kepada Nabi Muhammad SAW, pembacaan sirah nabawiyah, mauidhotul hasanah (memberi nasihat tentang kebaikan), shodaqoh, dan doa. Yang kesemuanya merupakan perkara-perkara yang memang diperintahkan oleh agama.
Ketiga, didalam kitab I’anah at-Thalibin dijelaskan:
(سئل) عن عمل المولد النبوي في شهر ربيع الأول ما حكمه من حيث الشرع؟ وهل هو محمود أو مذموم؟ وهل يثاب فاعله أو لا؟ قال: (والجواب) عندي أن أصل عمل المولد الذي هو اجتماع الناس وقراءة ما تيسر من القرآن ورواية الأخبار الواردة في مبدأ أمر النبي – صلى الله عليه وسلم – وما وقع في مولده من الآيات ثم يمد لهم سماط يأكلونه وينصرفون من غير زيادة على ذلك من البدع الحسنة التي عليها صاحبها لما فيه من تعظيم قدر النبي – صلى الله عليه وسلم – وإظهار الفرح والاستبشار بمولده الشريف
“Imam as-Suyuthi ditanya perihal perayaan maulid nabi yang diperingati dibulan Rabiul Awwal, apakah perayaan tersebut termasuk sesuatu yang dipuji atau dicela? Lalu apakah orang yang merayakannya diberi pahala atau tidak? Beliau menjawab, menurutku dasar dari perayaan maulid yang didalamnya terdapat perkumpulan manusia, pembacaan Al-qur’an dan Hadits Nabi, sedekah berupa jamuan makanan, merupakan bid’ah yang hasanah dan barang tentu boleh dilakukan. Karena bertujuan mengagungkan Baginda Nabi Muhammad SAW, menampakkan kebahagiaan dan berharap baik dengan diadakannya peringatan maulid Nabi Muhammad SAW”.
Keempat, Imam Abu Syamah (guru dari Imam an-Nawawi) berpendapat:
ومن أحسن ما ابتدع في زماننا ما يفعل كل عام في اليوم الموافق ليوم مولده – صلى الله عليه وسلم – من الصدقات والمعروف، وإظهار الزينة والسرور، فإن ذلك – مع ما فيه من الإحسان للفقراء – مشعر بمحبة النبي – صلى الله عليه وسلم – وتعظيمه في قلب فاعل ذلك وشكر الله تعالى على ما من به من إيجاد رسول الله – صلى الله عليه وسلم – الذي أرسله رحمة للعالمين
”Termasuk paling baiknya perkara bid’ah di zaman kita, adalah perayaan maulid Nabi yang dilaksanakan pada hari yang bertepatan dengan hari kelahiran Baginda Nabi Muhammad SAW. Yang didalamnya terdapat perkara-perkara baik seperti sedekah, memperbagus penampilan, menampakkan kebahagiaan, serta bertujuan untuk berbuat baik kepada orang-orang fakir, menunjukkan kecintaan kepada Baginda Nabi Muhammad SAW, mengagungkannya, dan bentuk rasa syukur kepada Allah atas diutusnya Nabi Muhammad SAW sebagaai rahmat bagi seluruh alam”.
Oleh karenanya, perayaan maulid nabi adalah suatu tradisi yang mengandung kebaikan dan berpahala bagi yang melakukannya, kendatipun tak pernah dicontohkan oleh nabi. Sebab, jikalau legalitas suatu perbuatan terlebih dahulu harus dicontohkan oleh nabi Muhammad SAW, maka syariat islam terasa sangat sempit dan kaku. Padahal islam sendiri telah memproklamirkan diri sebagai agama yang dapat beradaptasi dengan situasi dan kondisi.
Karena sejatinya, perayaan maulid Nabi adalah ekspresi cinta kita kepada Baginda Nabi, dengan tujuan agar kita diakui sebagai ummatnya, mendapatkan syafa’atnya, serta berharap berkumpul di surga-Nya. Sebab, kelak di akhirat seseorang akan dikumpulkan bersama orang yang dicintainya.
Bahkan, Abu Lahab pun sebagai orang yang paling membenci dan selalu berusaha mengganggu dakwah Nabi, diringankan siksanya setiap hari senin, dikarenakan kebahagiaannya ketika ponakannya (Muhammad) lahir. Bahkan dari saking bahagianya, dia sampai membebaskan budaknya yang bernama Tsuwaibah al-Aslamiyah . Sebagaimana dijelaskan oleh Imam Ibnu Hajar dalam kitab Fathul Bari:
أَنَّ الْعَبَّاسَ قَالَ لَمَّا مَاتَ أَبُو لَهَبٍ رَأَيْتُهُ فِي مَنَامِي بَعْدَ حَوْلٍ فِي شَرِّ حَالٍ فَقَالَ مَا لَقِيتُ بَعْدَكُمْ رَاحَةً إِلَّا أَنَّ الْعَذَابَ يُخَفَّفُ عَنِّي كُلَّ يَوْمِ اثْنَيْنِ قَالَ وَذَلِكَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وُلِدَ يَوْمَ الِاثْنَيْنِ وَكَانَتْ ثُوَيْبَةُ بَشَّرَتْ أَبَا لَهَبٍ بِمَوْلِدِهِ فَأَعْتَقَهَا
“Ibnu Abbas berkata, ketika Abu Lahab mati, setahun kemudian aku melihatnya di mimpi dalam kondisi yang buruk. Ia berkata: setelah meninggalkan kalian aku tidak pernah merasakan jeda istirahat dari siksa, melainkan azabku diringankan setiap hari Senin. Abu Lahab menjelaskan: Itu disebabkan ketika Muhammad dilahirkan pada hari Senin, waktu aku diberi kabar oleh Tsuwaibah (budakku) atas kelahiran Muhammad, maka aku pun membebaskan Tsuwaibah.“ Mafhumnya (pemahaman kebalikannya), jika orang kafirpun diringankan siksanya sebab bahagia atas kelahiran Baginda Nabi, lantas bagaimana dengan orang yang hatinya selalu cinta dan merindukan Nabi? Falyatammal!!
Referensi:
Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Fathul Bari, Ianah at-Thalibin, Mafahim Yajibu An Tushahhah, Syarah Lathif ‘Ala Arba’in Hadits Tata’allaqu Bi Mabadi’ Jam’iyyah Nahdlatil Ulama’