Wazanmedia.com – Dia (Nabi Yusuf) berkata, “Jadikanlah aku pengelola perbendaharaan negeri (Mesir). Sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga (amanah) lagi sangat berpengetahuan.” (QS. Yusuf: 55)
Dalam Al-Qur’an terdapat banyak kisah umat-umat terdahulu. Bukan sekedar kehidupan mereka yang dipotret. Tapi yang lebih penting, Al-Qur’an selalu memberi pesan pelajaran yang dapat diambil oleh para pembacanya dari setiap cerita yang dikisahkan.
Umumnya kisah-kisah tersebut diulas sedikit-sedikit di berbagai surah. Kisah Fir’aun misalnya. Kata Fir’aun disebutkan sebanyak 74 kali dalam Al-Qur’an dalam 27 surah. Salah satunya adalah kisah Fir’aun dengan Nabi Musa AS yang cukup panjang dimuat dalam surah al-Qasas. Selain kisah Fir’aun, di bagian akhir dari surat ini juga disebutkan kisah Qarun. Namun, dari sekian kisah yang dikutip dalam Al-Qur’an, kisah Nabi Yusuf adalah satu-satunya kisah yang utuh ditemukan dalam satu surah, Surah Yusuf.
Surah ini penting untuk dipelajari terutama terkait dengan krisis dan bagaimana cara mengatasinya. Diawali ketika Nabi Yusuf AS bermimpi melihat 11 bintang, matahari dan bulan yang sujud kepadanya (Al-Qur’an, 12;4). Kisah terus bergulir dengan dilemparnya Yusuf ke sumur oleh saudara-saudaranya dan dijual oleh pedagang yang melintas ke salah satu pembesar Mesir.
Hingga akhirnya ia dipenjara karena tipu daya tuan putrinya. Kemudian ia dibebaskan setelah menakwilkan mimpi raja dan Allah meninggikan kedudukannya dengan diangkat menjadi bendahara Mesir, orang kedua setelah raja itu sendiri. Kisah diakhiri secara mengharukan ketika 11 saudaranya beserta Ayah dan Ibunya tunduk kepadanya. Persis seperti kiasan mimpi di awal kisah (Al-Qur’an, 12;4).
Mengambil Pelajaran dalam Kisah Nabi Yusuf
Ada banyak pelajaran penting yang dapat dikantongi dari kisah Nabi Yusuf AS ini. Utamanya, terkait dengan masalah-masalah sosial, seperti krisis. Dalam hal ini, krisis pangan luar biasa membawa kantong besar dan siap meramaps kekayaan Mesir. Di masa Nabi Yusuf AS, negeri sungai Nil itu dilanda kekeringan dan paceklik selama tujuh tahun. Dalam mimpi itu, sang raja melihat tujuh sapi yang gemuk dimakan oleh tujuh sapi kurus. Dan juga tujuh tangkai gandum yang hijau, dan kemudian disusul tujuh tangkai gandum yang kering. Oleh Nabi Yusuf mimpi tersebut ditafsiri dengan kemakmuran Mesir selama tujuh tahun berturut-turut kemudian disusul tujuh tahun sesudahnya oleh masa kekeringan dan paceklik.
Di era modern, membuat keputusan berdasarkan menafsirkan mimpi tentu dianggap suatu keanehan. Ketika ekonom bisa mengembangkan metode ekonometrik yang digunakan untuk memprediksi kemungkinan perekonomian mendatang, maka yang di luar itu dianggap tidak relevan, tidak logis, dan absurd. Padahal, tidak semua yang diolah dengan ekonometrik melahirkan hasil yang akurat. Tak jarang yang terjadi adalah kesenjangan antara prediksi mesin dengan kejadian sesungguhnya.
Namun, dalam perspekti Quranomics, tidak semua mimpi itu bunga tidur. Sebagai contoh, Allah SWT memerintahkan Nabi Ibrahim untuk menyembelih anaknya melalui mimpi. Dan melalui mimpi juga Allah memperingatkan Fir’aun bahwa kekuasaannya akan dihancurkan oleh seorang anak lelaki dari bani Isra’il. Fir’aun pun memercayai mimpinya dan berujung pembantaian semua anak laki-laki bani Israil, demi mencegah mimpinya menjadi kebenaran dalam nyata. Namun, Allah SWT berkehendak lain. Nabi Musa AS selamat justru dalam asuhan Fir’aun sendiri, setelah dihanyutkan ibunya di sungai Nil.
Mengatasi Krisi Ekonomi
Dalam hal menyikapi krisis ekonomi, terdapat kesenjangan yang begitu tampak antara masa Mesir yang di prakarsai oleh kecakapan Nabi Yusuf AS dengan era sekarang. Terlebih jika dibandingkan dengan Indonesia saat ini. Ketimpangannya begitu terasa hingga mereka yang digerakkan oleh pasar dan pemerintah harus merasakan nyeri kepincangan tersebut. Setidaknya ada empat kategori perbandingan yang jelas menunjukkan mengapa di berbagai wilayah di era sekarang begitu berbeda dengan Mesir di era Nabi Yusuf AS.
Sumberdaya
Pertama, dari sisi sumber daya yang dipakai (resources). Pada masa Nabi Yusuf, perekonomian diatur dengan memaksimalkan sumber daya domestik. Tujuh tahun ketika Mesir dilimpahkan dengan hasil bumi, Nabi Yusuf AS melakukan safari dari satu tempat ke tempat lain untuk memberikan penyuluhan agar melimpahnya panen tidak dihambur-hamburkan, tapi disimpan buat jaga-jaga ketika datang paceklik. Pada saat yang sama, ia juga meminta kepada masyarakat Mesir untuk setiap lima gantang gandum yang dipanen, satu gantangnya diserahkan kepada kerajaan untuk keperluan stok nasional. Tak ada ambisi memperkaya negara dengan cara ekspor ke wilayah lain.
Saat ini, begitu krisis terjadi, Jarang sebuah Negara menanganinya secara independen. Kebanyakan memilih untuk melibatkan asing, melalui lembaga kreditor internasional seperti IMF atau Word Bank. Opsi yang tersedia paling mudah adalah utang. Persoalannya, begitu transaksi utang-piutang dilaksanakan, bukan hanya membebani budget untuk masa depan, tapi juga beban atas kehilangan ‘kemeredekaan’ dalam mengatur finansial.
Misalnya, ketika kreditor memaksa sumber daya domestik yang penting dan menguasai kebutuhan hidup orang banyak, seperti BUMN dan konsesi pengolahan lahan dan tambang, justru dijual dengan alasan untuk mendapatkan dana pemulihan krisis. Padahal penjualan aset dalam kondisi suramnya perekonomian suatu negara jelas menurunkan harganya.
Nabi yusuf AS mengajarkan dan memperkenalkan manajemen stok. Pemenuhan kebutuhan masyarakat secara keseluruhan dilakukan dengan mengatur stoknya, bukan dengan jalan pintas seperti impor. Memperbesar kran impor, pada jangka pendek memang akan menutupi ketimpangan devisit suatu negara. Namun, dalam jangka panjang ia akan membonsai industri nasional dan menyerahkan jam kerja yang seharusnya ditekuni penduduk setempat kepada pihak asing.
Pelaku Ekonomi
Kedua, dari sisi pelaku ekonomi (stakeholders). Pelaksana yang melakukan reformasi adalah orang yang memiliki karakter teruji (skilled, knowledgeable, intergrity). Itulah alasan mengapa masyarakat Mesir percaya kepada Nabi Yusuf AS dengan mematuhi imbauan agar mereka tidak royal di saat booming economy. Pengetahuan, mutu, dan kejituan menafsiri mimpi membangun kepercayaan orang-orang kepadanya. Memiliki keahlian, pengetahuan yang mendalam, serta etika dalam berekonomi ada hal penting yang harus dimiliki oleh setiap direksi yang memprakarsai jalannya roda perekonomian.
Di era sekarang kapasitas ini sangat jarang ditemui di aparatur kepemerintahan. Perlahan tubuh instansi ekonomi akan digrogoti apabila penggerak ekonomi yang dipilih adalah orang-orang tak beretika yang justru memanfaatkan kesempatan untuk mengeksploitasi. Akibatnya, mereka malah membenamkan krisis yang terjadi semakin dalam, dengan kerusakan bukan hanya ekonomi saja, tapi juga sosial. Alhasil, bukan perbaikan ekonomi yang diperoleh, tapi semakin menambah problematik baru, karena mereka ‘dipaksa’ untuk membuka pasar dan menjadi masyarakat konsumtif. Bukan hanya kekayaan yang dieksploitasi, tapi kelicikan itu juga menjadikan masyarakat sebagai ‘budak’ kepentingan asing.
Proses Perubahan
Ketiga, dari sisi runtunan perubahan (process). Di era sapi gemuk yang menggambarkan kejayaan perkonomian Mesir, proses yang dijalani untuk mengumpulkan bekal menuju krisis sangat berat. Tujuh tahun bukanlah waktu yang pendek dan cepat untuk dilalui. Masyarakat Mesir berani mengambil langkah mengikuti arahan Nabi Yusuf AS dengan menahan diri menuruti nafsu yang beringas ketika melihat hasil panen yang berlimpah. Berusaha ikhlas menyuplai pendapatan dan berhemat dari harta yang mudah saja untuk dipergunakan kapan saja, itu semua bukanlah hal mudah bagi orang-orang yang memiliki banyak keinginan. Itulah yang dilakuakan masyarakat mesir pada saat itu. Sehingga ketika krisis datang, mereka sudah siap dengan cadangan yang telah mereka simpan. Selain itu, keteladanan Nabi Yusuf AS dalam berhemat menjadi tuas baru untuk mengangkat keyakinan masyarakat Mesir yang masih ragu-ragu untuk mengikuti tilikan sang bendahara kerajaan itu. Itu metode yang dijalankan Nabi Yusuf AS di Mesir kala itu.
Sedangkan yang terjadi di banyak negara, metode penyelesaian krisis yang dijalankan cenderung instan. Mereka menjalani hidup senikmat mungkin saat ini tanpa mempertimbangkan hari esok. Bahkan ketika krisis datang, wajah seramnya sama sekali tidak menjadi perhatian dengan misalnya menyederhanakan pola hidup dan pengetatan ikat pinggang. Alih-alih melakukan penghematan yang signifikan, korupsi malah bertambah, pola hidup jor-joran, dan pamer kekaayaan di kalangan elitis menjadi fenomena umum. Sesuatu yang berlawanan dengan langkah yang diserukan oleh Nabi Yusuf AS kepada masyarakatnya pada masa itu.
Menuai Hasil Kemudian Hari
Keempat, hasil yang dituai dikemudian hari (results). Dengan melihat tiga perbandinagn di atas, bisa dipahami bahwa penanganan krisis di era Nabi Yusuf AS, meskipun berat di awal. Membawa dampak multiplier effect di akhir yang besar. Bahkan krisis yang datang dengan jubah seram yang dipakainya diubah menjadi peluang. Yah, krisis pada saat itu menguntungkan Mesir. Ketika masa paceklik datang. Maka banyak orang-orang yang menuju mesir untuk menukarkan barang-barang berharga mereka, seperti emas, dengan makanan. Dengan demikian, kerajaan mendapatkan arus modal/dana segar baru. Orang-orang yang datang dari luar Mesir (seperti keluarga Nabi Ya’qub AS, Ayahanda Nabi Yusuf AS) juga akan menciptakan ekonomi bagi masyarakat Mesir. Karena selama tujuh tahun dalam dekapan krisis kala itu, banyak kafilah yang lalu lalang menuju Mesir yang berarti mereka harus memenuhi logistik dan kebutuhan akomodasi selama perjalanan mereka.
Sementara krisis yang terjadi sekarang berpeluang menimbulkan efek samping. Mungkin krisis bisa ditangani, tapi biaya krisis yang besar harus dibebankan kepada rakyat atau menjadi tanggungan generasi mendatang. Di samping itu, terdapat peluang terjadinya letupan krisis susulan sebagai akibat solusi instran yang diambil dengan berhutang (bunga utang dan berbagai konsesi untuk kreditor). Ditambah lagi tingkah aparat yang tidak amanah mengambil keuntungan dari krisis untuk kepentingan diri sendiri atau kelompaknya saja. Wallahu a’lam.