Wazanmedia.com – “ Rajekkena bilis tak kera taporop ben rajekkena gheje, rajekkena gheje tak kera taporop rajekkena bilis ”. Sebuah pepatah, yang hingga saat ini menjadi pegangan kuat orang-orang Madura, terutama mereka yang siap merantau ke tanah perkotaan. Mereka berani berkompetisi secara sehat untuk mengais rezeki halal dengan penguasa ekonomi ritel modern.
Melalui usaha warung kelontong, mereka percaya bahwa rezeki semut tak mungkin dimakan gajah, bahwa rezekinya tak akan tertukar dengan penguasa ekonomi modern.
Oleh karena itu, mereka juga percaya bahwa warung Madura sebagai usaha kecil-kecilan dapat meningkatkan perekonomian pasar-pasar industri modern, dengan kiat terus mempromosikan produk lokal.
Warung Madura
Warung Madura adalah jantung perekonomian setempat. Selain membantu membuka lapangan pekerjaan, mereka juga memiliki peran penting untuk pertumbuhan ekonomi lokal. Dengan mendukung UMKM (Usaha Mikro, Kecil dan Menengah). Mereka merupakan jalur distribusi paling menguntungkan dalam penjualan produk-produk lokal, misalnya.
Warung Madura dan Bahtsul Masai l
Banyak perantau dari Madura yang menggandrungi usaha mikro tersebut, baik sebagai pemodal atau sekurang-kurangnya sebagai pekerja. Maka penyematan nama “Warung Madura” bukanlah tanpa alasan. Pemilik maupun pekerja kebanyakan berasal dari pulau Madura, meski tak menutup kemungkinan bahwa di antara pemilik toko kelontong bukan orang Madura asli.
Umumnya toko kelontong melibatkan kedua belah pihak untuk menjalankan roda usahanya. Pemilik modal biasanya menyiapkan modal sekian, sekian, dan sekian untuk kepentingan sewa tanah, belanja atribut atau perlengkapan warung seperti; etalase atau keranjang, serta untuk kebutuhan barang yang akan diperjual-belikan.
Dengan kata lain, modal yang disiapkan oleh pemilik (selanjutnya disebut malik) tidak sepenuhnya untuk kebutuhan sembako. Misalnya; modal awal dari malik adalah 100%. Separuhnya dipersiapkan untuk sarana penjualan, seperti sewa tanah, beli etalase, dan lain-lain. Sedang separuh sisanya untuk kebutuhan barang yang akan diperjual-belikan.
Pekerja boleh memanfaatkan laba untuk kebutuhan sehari-harinya, tanpa perlu dikalkulasi. Namun, ketika hubungan kerja sama berakhir, barang-barang yang diperjual-belikan (tidak termasuk prabot dan perlengkapan warung) wajib dihitung kembali oleh pekerja, guna memastikan modal awal berkurang atau tidak. Jika berkurang wajib diganti, jika lebih berhak pekerja miliki. Pertanyaan yang kemudian timbul adalah; bagaimana tanggapan fikih atas kerja sama demikian?
Mengkategorikan potret kerja sama demikian dengan akad yang terdapat dalam kajian fikih, tentu memerlukan kajian mendalam. Tak cukup jika hanya membaca teks, terutama fikih klasik. Namun, sepintas dapat kita raba bahwa hubungan kerja sama demikian pasti melibatkan akad qiradl (investasi).
Masalahnya adalah qiradl mensyaratkan bahwa modal yang harus dikembalikan oleh pekerja haruslah utuh, bukan hanya sebagian sebagaimana yang dijelaskan di atas. Lagi pula, bukankah hasil laba tidak boleh digunakan sebelum dibagi rata antara pemodal dan pekerja?
Bagaimana Sikap Bahtsul Masail?
Kendati saya telah mengantongi jawabannya sendiri, tulisan ini dibuat bukan untuk menjawab pertanyaan sebagaimana di atas. Ada hal lain yang ingin disampaikan. Bahwa persoalan yang sama, pernah dibahas dalam kajian bahtsul masail, dan bahwa persoalan yang terlihat sederhana ini ternyata tak mampu dijawab oleh segolongan kaum sarungan terpelajar, yang berkumpul dalam satu forum itu (Bahtsul Masail).
Masalahnya hanya satu. Mereka sama sekali tidak menemukan model akad yang sesuai dengan potret kerja sama seperti yang telah disampaikan di atas. Sehingga yang terjadi, persoalan tersebut tetap tak terpecahkan. Sehingga memberi kesan bahwa fikih sudah tidak relevan, dan pada batas waktu yang sama doktrin tentang islam shalih likulli zaman wamakan terlihat seperti bualan.
Di tengah kebingungan itu, kalau boleh saya katakan, bahwa sistem yang terdapat dalam bahtsul masail sangat problematik. Sedang masalah dari sistem tersebut bermula dari paradigma yang juga problematik. Di samping tuntutan zaman yang serba kompleks terus mengaum. Tetapi untuk membuktikan problem-problem itu semua, tentu membutuhkan catatan-catatan yang panjang. Mungkin tulisan ini hanya sedikit menguraikan apa yang setidaknya bermasalah dalam kaitannya dengan keputusan bahtsul masail atas persoalan sebagaimana yang diceritakan di atas. Adapun untuk pembahasan yang lebih panjang lagi, barangkali para pembaca harus menunggu tulisan seri kedua, ketiga atau berikutnya lagi.
Ada sebuah konsensus yang disepakati secara final, entah siapa pencetusnya. Konsensus itu menyatakan bahwa karakter yang tak boleh dihilangkan dalam ber-bahtsul masail adalah ilhaqul masail bi nadzairiha (menyamakan sebuah masalah yang belum terpecahkan dengan yang sudah terpecahkan). Kesepakatan ini sebenarnya tidak bermasalah. Hanya saja, dampak yang kemudian timbul adalah keragu-raguan dalam memutuskan sebuah persoalan apabila persamaannya sulit diidentifikasi. Padahal di saat yang sama realitas sosial yang dinamik itu, sangat membutuhkan jawaban yang mendesak.
Bagaimana Metode Ilhaq
Konsep tentang ilhaq al-masail bi nadzairiha ini erat kaitannya dengan karakter dari ahlussunnah wal jama’ah, terutama NU dalam bersanad kepada ulama-ulama salaf terdahulu. Dengan menggunakan metode ilhaq, proses transmisi keilmuan islam dan pendapat-pendapat fikih tidak akan kehilangan autentitasnya. Konsep ini dengan sendirinya, berusaha untuk menghindar dari ijtihad, senyampang masih bisa melalui metode peng-ilhaq-an. Oleh sebab itu pula, sebuah pendapat tak akan diterima apabila berargumen dengan pendekatan ushul-fikih, betapa pun itu logis dan faktual. Ia hanya akan diterima, jika argumennya disertakan dengan refrensi yang diambil dari kitab kuning (kutubul mu’tabarah), betapa pun tidak realistis dengan perkembangan zaman saat ini.
Masih belum jelas panduan metode ilhaq ini, demikian dengan batasan-batasannya (sejauh mana kita diperbolehkan keluar dari ilhaq). Sehingga seiring berjalannya waktu konsep tersebut mulai tereduksi. Akibatnya adalah sekelompok intelektual sarungan yang berkumpul di satu majelis itu sering kali menghasilkan keputusan mauquf (tidak menjawab persoalan). Sementara dinamika sosial menuntut jawaban-jawaban mereka yang tegas. Akhirnya persoalan yang sekali lagi terlihat sederhana seperti di atas (kerja sama warung kelontong) juga tidak mampu dijawab oleh fikih, jika terus-terusan berputar-putar pada konsep ilhaq yang tak tentu arah itu.
Redaksionisasi Metode Ilhaq
Reduksionisasi metode ilhaq ini, bahkan sering kali memunculkan analogis serampangan. Analogi yang dilakukan selalu mengabaikan konteks antara mulhaq bih (yang diberikan persamaan) dengan mulhaq (yang disamakan), sehingga terkadang cenderung memaksakan. Jika sampai saat ini panduan dan batasan ilhaq belum sampai pada taraf kejelasan, sepertinya bukan hanya satu orang yang gelisah tentang metode ilhaq ini. Sebab sementara sosio-kultural saat ini begitu rumit dan kompleks, jawaban yang disediakan ahli fikih masih saja memaksa untuk sama dengan kondisi beberapa abad lalu yang masih sederhana dibanding sekarang. Di tengah perkuliahan teman saya kemudian menyeletuk “Kok kesannya kita memaksa keadaan sekarang dengan keadaan tempo dulu ya?”.
Jika memang demikian keadaannya, jika peng-ilhaq-an masih belum menemukan solusi alternatif lain dalam memutuskan sebuah persoalan, dan jika peng-ilhaq-an selalu menghasilkan keputusan yang mauquf lagi, lagi, dan lagi, maka tinggal kita renungi pertanyaan-pertanyaan ini; bagaimana kita dapat menjawab persoalan yang lebih rumit lagi dari pada contoh persoalan di atas? Haruskah kita sadari bahwa saat ini, dan pastinya masa yang akan datang, fikih telah dipaksa tidak relevan oleh kita sendiri?
Kembali Bersikap Optimis
Di balik itu semua, sebenarnya yang perlu diingat lagi adalah kaidah fikih sederhana yang berbunyi “La yunkaru taghayyur al-ahkam bi taghayyur al-amkinah wa al-azminah”. Bahwa hukum dapat berubah seiring dengan berubahnya ruang dan waktu, dan bahwa perubahan hukum berarti juga menuntut kajian kontekstual yang mendalam, bukan hanya analogis (ilhaq) semata.
Dewasa ini, forum bahtsul masail dalam mengkaji sebuah persoalan belum sepenuhnya dilakukan secara holistik, bahkan sering kali mengabaikan konteks sosiologi, budaya, dan kultural masyarakat. Baik itu kondisi penulisan turats klasik ataupun kondisi yang dijadikan persoalan pembahasan. Dengan kata yang lebih motivatif, bahtsul masail seharusnya juga melibatkan segala aspek kondisi sosial antara mulhaq (yang disamakan) dengan mulhaq bih (yang dijadikan persamaan).
Dulu kotoran sapi tak bisa diperjual-belikan, sekarang petani mana yang tak membutuhkannya? Demikian pula musik, dulu dianggap sebagai sesuatu yang haram, sekarang seniman mana yang tidak menjadikan musik sebagai barang komersial? Juga para pemain catur, dulu dicaci maki dan dianggap tak berwibawa. Sekarang siapa yang berani membully kecerdasan Magnus Carlsen pecatur hebat itu?
Kajian holistik atas satu persoalan dengan sendirinya kembali menuntut kita untuk berijtihad, sekurang-kurangnya ijtihad kolektif. Hal ini bukan berarti mau mendiskreditkan bahtsul masail dengan karakter ilhaq al-masail bi nadzairiha -nya. Bahtsul masail yang demikian tetap kita pelihara sebagai tradisi kepesantrenan, namun jangan sampai menutup pintu untuk menalar dan mengkajinya secara kontekstual.
Bahwa bahtsul masail dengan model ijtihad kolektif dengan perangkat-perangkat ushul fikihnya yang lengkap dan komprehensif perlu juga dilibatkan di bangku diskusi. Maka relevansi fikih untuk menjawab tantangan zaman yang serba dinamis, dapat kita buktikan dengan kajian ushul-fikih dengan penalaran yang matang.
Keseimbangan antara Optimis dan Mawas dari Kelengahan
Optimis boleh, tapi jangan sampai lengah. Masih banyak tantangan-tantangan yang perlu dijawab oleh fikih, terutama di era disrupsi ini. Dimana adanya benturan sosial dan budaya membuat kita kebingungan untuk memosisikan kajian fikih. Jika demikian, masihkah kita terus-menerus fokus pada konsep ilhaq itu, di saat dunia menuntut fikih baru yang bersifat konstruktif? Belum lagi kita membahas persoalan fikih di tengah gempuran post truth . Dimana sebuah kebenaran dan ketidakbenaran bukan lagi urusan yang hitam putih. Lalu satu pertanyaan penting berikutnya adalah; dimanakah peran dan posisi vital fikih di tengah dunia yang dilanda ketidakjelasan ini?