Wazanmedia.com- Di belakang rumahku, tumbuh sebatang pohon kedongdong yang berbuah lebat. Bukan buahnya yang besar dan manis yang mengundangku dan dua adik sepupuku yang terus mengintainya. Bukan itu. Kami hanya ingin mengumpulkan dan mengumpulkan. Sementara orang-orang dewasa selalu melarang. Sebagai kakak aku goda, kadang memaksa, mereka berteriak duluan. Kalau lagi kera, orang-orang dewasa bawel dan ngomel dan adik-adik gagal susah turun, lebih susah timbang naiknya. Kadang juga untung, kami bebas berkumpul dan puas bergelantungan.
Demikianlah sekonyong-konyang kenanganku muncul begitu MU mewartakan bakal menerima konsesi tambang, setelah adiknya, NU, dengan tegas menerima satu bulan lebih awal. Mereka patut dipuji; kakak bijak lagi cerdik dan adik polos nan gamblang.
Banyak yang berharap MU menolak konsesi penambangan. Harapan yang beralasan mengingat beberapa petingginya memberikan sinyal ke sana. Busyro Muqoddas, 8 Juni lalu, mengatakan,
“ Logika moral demokrasi dan moral politiknya lebih cocok jika tidak diterima oleh organisasi keagamaan apapun. Sampai sekarang PP Muhammadiyah belum rapat apapun, baru menerima masukan, termasuk dari masukan dari dalam. ”
Dua hari berikutnya, 10 Juni, Dr Trisno Rahardjo menegaskan bahwa akan lebih banyak mudarat dibandingkan keuntungan yang didapat oleh ormas keagamaan dalam hal pengelolaan konsesi tambang, terutama kerusakan dampak pertambangan yang semakin akut. Lagi pula, tambah Ketua Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah ini,
“Kami berwenang Menteri Investasi/Kepala BKPM memberikan WIUP kepada pelaku usaha termasuk badan usaha yang dimiliki oleh ormas tidak berdasarkan hukum.”
Tiga hari berikutnya, 13 Juni, sebagaimana dilansir TvMu, Kiai Haedar Nashir mulai melamar secara ta’rī dl , “ Bukan berarti kita tidak boleh hanya karena orang lain buruk. Justru kalau ingin menunjukkan uswah hasanah kita menunjukkan bahwa kita bisa. ”
Melalui pleno Pimpinan Pusat kira-kira tanggal 13 Juli, MU memutuskan menerima konsesi tambang. Dua belas hari berikutnya, tepatnya 25 Juli, publik mengetahui jika MU sudah memutuskan menerima konsesi. Gemparlah nitijen dan ramailah “perisakan” yang karena jenakanya harus saya kutip di sini.
“Ternyata NU dan MU hanya beda soal qunut, keduanya dipersatukan pertambangan.” Tulis sahabat dan guru saya.
Seorang kiai pesohor berseloroh, “Kalau NU nerima tambang ya wajar lah, lambangnya saja pakai tambang, tapi MU dengan lambang Matahari mbok ya mestinya pakai energi surya yang bersih dan terbarukan, bukan batu bara.”
Siapakah yang memulai perisakan yang jenaka hingga yang rada-rada “jahat” itu? Simpel, Muhammadiyah sendiri, dengan hasil-hasil ijtihad ekologinya yang keren-keren. Bila NU terjebak oleh rekomendasi muktamarnya sendiri, MU pun juga terjebak oleh kerja-kerja intelektual mereka sekian tahun sebelumnya. Dalam contoh mikro, mereka berdua seperti seorang dokter yang menyerukan orang berhenti merokok, tapi kemudian tak tahan dengan aroma gurih tembakau. Tamatkan membaca tulisan ini, supaya pembaca dapat menilai inkonsistensi MU dan NU, manakah yang lebih parah?
Seperti adiknya, si kakak juga mengidap simtom proyeksi “aku lebih baik”. Simtom ini berbunyi, jika mereka mengelola dengan buruk, kami insyaallah bisa mengelola lebih baik; atau sekurang-kurangnya tidak lebih buruk daripada mereka. Niat baik ini, ada bagusnya kita dukung dan semoga terkabul beneran. Harapan tetap ada, tapi masalah masih tersisa. Bagaimana MU menempatkan hasil-hasil ijtihadnya di hadapan keputusannya ikut menambang?
Muhammadiyah diketahui sebagai ormas yang konsisten menyuarakan komitmen pelestarian lingkungan dengan membentuk lembaga-lembaga khusus yang berfokus pada studi, pemberdayaan, pelestarian, dan advokasi lingkungan. Tahun 2003 ia melahirkan Lembaga Studi dan Pemberdayaan Lingkungan Hidup, langkah pertama untuk membangun pijakan dasar mengenai corak dan pilihan kegiatan gerakan lingkungan.
Tahun 2005, Muktamar ke-45, MU mendirikan Lembaga Lingkungan Hidup (LLH). Hasilnya adalah formulasi elementer terkait pilihan gerakan lingkungan, yaitu konsep Teologi Lingkungan dan Pendidikan Lingkungan. Melalui konsep ini MU menyasar pola pikir manusia dalam memandang alam sekitarnya supaya terwujud perilaku dan budaya ramah lingkungan.
Usai Muktamar ke-46 (satu abad), tahun 2010, MU mengubah dan mengembangkan LLH menjadi MLH, Majelis Lingkungan Hidup. Pengembangan ini mengamanatkan supaya Majelis segera melakukan transformasi gerakan ramah lingkungan.
Tahun 2011 terbit buku berjudul Teologi Lingkungan. Buku yang amanat intinya adalah: mengelola SDA itu boleh, tapi jangan rusak lingkungan. Kesimpulan yang datar memang. Buku ini “mengadopsi” ruh filsafat Deep Ecology. Nama Næss dikutip sedikitnya dua kali dan sejumlah term kuncinya tidak alpa diangkut, misalnya egalitarianisme semua makhluk biosfer, atau kesetaraan hak hidup baik makhluk biotik maupun abiotik (h. 17), dan atau afirmasi bahwa semua makhluk bernilai pada dirinya sendiri (h. 31).
Buku yang diterbitkan oleh MU bersama Kementerian Lingkungan Hidup ini mengurai satu demi satu konsep konservasi beberapa sumber daya alam yang paling vital, misalnya konservasi air, udara, tanah, dan seterusnya (sumber energi atau api tidak disebutkan). Spontan saya teringat Negara Api dalam film Avatar.
Masih dalam buku ini, disimpulkan bahwa segala tindakan yang mengganggu atau merusak fungsi sosial dan biologis air, udara, dan tanah merupakan perbuatan haram yang melawan hukum Tuhan dalam penciptaan alam sekaligus pelanggaran terhadap Maha Kasih dan Maha Memelihara Tuhan terhadap alam (al-rab al-alamien). (hal. 35 – 44)
Kita penasaran bagaimana pertambangan MU bakal tidak mengganggu fungsi sosial dan biologis dari ketiga elemen dasar kehidupuan ini.
Tahun 2014, Musyawarah Nasional Tarjih ke-28 di Palembang membahas naskah hasil ijtihad Majelis Tarjih dan Tajdid bersama Majelis Lingkungan Hidup PP Muhammadiyah. Produk nyata dari sekian seminar dan kajian ini adalah buku berjudul Fikih Air yang terbit tahun 2016. Buku ini menyimpulkan antara lain,
“Merusak kualitas air yang termasuk kategori haram antara lain: membuang tinja, sampah, limbah pabrik, limbah tambang (timah, emas, besi, batu bara), dan limbah perkebunan ke sungai, danau dan atau aliran air, dan menangkap ikan menggunakan peledak.” (95)
Buku ini menampilkan data jumlah industri berpotensi pencemaran air mulai tahun 2004 sampai 2008. Tercatat, pencemaran air akibat industri pertambangan nyaris istikamah mengalami kenaikan setiap tahunnya (hal. 6). Itu data lama. Coba lihat yang lebih mutakhir. Mari pilih Kalimantan Selatan karena provinsi ini bisa disebut koloni pertambangan batu bara, tiga dari empat sungainya, (Barito, Martapura, dan Riam Kiwa) berstatus cemar berat (heavily polluted) selama empat tahun berturut-turut, mulai tahun 2017 – 2020.
Mungkin Muhammadiyah tidak cukup daya untuk mengurangi pencemaran ini, apalagi membersihkannya sama sekali. Jika benar demikian, mengapa tidak kembali, misalnya pada kaidah fikih “Apa yang tak bisa dilakukan seutuhnya, jangan sampai ditinggalkan seluruhnya?” Kalau tidak mampu membersihkan, ya setidaknya jangan ikut-ikutan menambahkan pencemaran.
Di luar kajian ilmiah dan musyawarah muktamar, MU membuktikan komitmennya dengan memperkenalkan Jihad Konstitusi. Semenjak November hingga Februari 2015, MU telah berhasil memenangkan jihad konstitusi sebanyak empat permohonan uji materiil. Dua di antaranya adalah berkenaan dengan konservasi lingkungan, yaitu UU. Sumber Daya Air dan UU Minyak dan Migas.
Terlepas dari hiruk-pikuk pengamat soal kepentingan politis dalam uji materi kedua undang-undang tersebut, MU patut diacungi dua jempol karena telah membawa semangat perjuangan kesejahteraan rakyat dan kedaulatan negara. Uji materi UU. SDA misalnya, MU berhasil memenangkan pertandingan dengan skor telak, seluruh pasalnya rontok sekali sikat. Buahnya, swasta tidak boleh lagi menguasai sumber daya air, tetapi hanya dapat melakukan pengusahaan atasnya dengan alokasi tertentu dan harus melalui proses izin yang ketat dari Negara.
Gerakan Jihad Konstitusi ini tentu memberikan harapan cerah. Sekurang-kurangnya sampai saat ini MU sudah membuktikan diri memiliki komitmen tinggi terhadap isu pelestarian lingkungan. Harapan itu makin dirasa jadi kenyataan setelah MU mengadakan hajatan Muktamar ke-48 di Sukoharjo 19 – 20 November 2022. Termaktub dalam Risalah Islam Berkemajuan: Memajukan Indonesia Mencerahkan Semesta, dalam Sub-bab Perkhidmatan Global, poin (d) Pelestarian Lingkungan,
“Muhammadiyah berupaya secara sungguh-sungguh mengajak masyarakat dunia untuk menyerukan dan mengawal berbagai regulasi yang dapat membahayakan lingkungan dan menyebabkan perubahan iklim. Pada aspek praktis, warga Muhammadiyah di berbagai lapisan telah dan akan tetap terlibat aktif dalam gerakan pelestarian lingkungan, baik secara individu melalui gaya hidup yang pro-ekologis, maupun secara kolektif dengan, misalnya, implementasi sekolah dan kampus hijau, sedekah sampah, sekolah kader lingkungan (daratan, sungai, dan laut), pembangunan kawasan penyejuk bumi, gerakan audit lingkungan mandiri, dan pengembangan energi baru dan terbarukan. Melalui pelestarian lingkungan dan pengendalian perubahan iklim, Muhammadiyah turut berkiprah bagi terwujudnya masyarakat dunia yang lebih tenteram dan beradab.”
30 Juni 2024, lahir secara prematur PP. 25/2024 yang mengubah PP. 96/2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Pasal sisipan 83A menjadi biang kontroversi. Sejumlah pakar hukum menyayangkan proses tidak transparan dan tidak partisipatifnya pembahasan revisi PP 96/2021 ini; penyakit kambuhan rezim Jokowi.
4 Juli, aroma tidak baik-baik saja soal PP. ini juga dicium oleh Majelis Hukum dan Hak Asasi Manusia (MHH) Muhammadiyah sendiri yang mengemis dengan sangat supaya Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah menolak Izin Usaha Pertambangan (IUP).
“Intinya MMH memohon dengan hormat dengan sangat PP Muhammadiyah mempertimbangkan menolak dengan adab Muhammadiyah, intinya itu.” Tegas M. Nasution, wakil ketua MHH.
6 Juli, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) DIY mendesak atasannya untuk segera menolak konsesi tambang dan meminta mengalihkan fokus kepada energi bersih terbarukan. Desakan itu mereka tuangkan dalam risalah setebal kurang-lebih 50 halaman, berjudul Muhammadiyah Dalam Ekstraktivisme Pertambangan. Suatu kajian multiperspektif, keren, didengar oleh petinggi Muhammadiyah, lalu “dicampakkan”. Bagaimana tidak dicampakkan, sementara buku ini secara vulgar menyebut bahwa tidak ada argumentasi logis selain keuntungan ekonomi bagi Muhammadiyah untuk menerima pengelolaan tambang? Singkatnya, semua ini bukan tentang pengelolaan tambang dan kesejahteraan umum, melainkan tentang cuan dan cuan.
Harapan masih ada bahwa MU, melihat rekam jejaknya, untuk mengibarkan bendera jihad konstitusi terhadap PP. 25/2024. Semenjak tahun 2003, lembaga dan badan otonom dibentuk, muktamar dan seminar digelar, buku-buku diterbitkan, jihad konstitusi digencarkan, semuanya mencerminkan sikap rahmat lingkungan. Namun, harapan tinggal harapan, tanggal 25 Juli (duh, betapa kebetulannya, persis 25), kita mendengar kabar besar (al-naba’) kalau Muhammadiyah menerima konsesi tambang. Bermula jihad konstitusi, berakhir ijtihad penerimaan konsesi.
“Air, Api, Tanah, dan Udara. Dahulu keempat negara hidup dengan damai nan lestari. Namun, semuanya berubah saat negara batu bara menyerang.” Kata Katara dalam film Apatar: The Last Air-blender. Apakah kita menantikan juru selamat, anak yang tua dan gundul itu?
Rujukan:
- (co.id – Tak Berminat Izin Tambang, Ternyata Ini Alasan Muhammadiyah)
- (Soal Izin Tambang Ormas Agama, Haedar Nashir: Sumber Daya Alam Harus Diurus Namun Tidak Dirusak – tvMu – Cerdas Mencerahkan)
- (Muhammadiyah Setuju Terima Izin Tambang dari Pemerintah (cnnindonesia.com))
- (– Majelis Lingkungan Hidup | Muhammadiyah)
- (Jihad Konstitusi, Jihad Baru Muhammadiyah | Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (mkri.id))
- (Presiden Jokowi Didesak Cabut PP 25/2024 Soal Izin Tambang Ormas (hukumonline.com))
- (PP Muhammadiyah Diharapkan Tolak Izin Tambang Ormas Keagamaan (kompas.com))
- (Seluruh UU SDA Dibatalkan MK | Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (mkri.id))
- Statistik Lingkungan Hidup Indonesia 2023.
- Kementerian Lingkungan Hidup Dan MLH PP. Muhammadiyah, Teologi Lingkungan Hidup (Etika Pengelolaan Lingkungan dalam Perspektif Islam), 2011.
- Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Fikih Air, 2016.
- DPP IMM DIY, Kertas Posisi Muhammadiyah dalam Ekstraktivisme Pertambangan, Perspektif Multidisiplin, 2024.
- Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Risalah Islam Berkemajuan, Memajukan Indonesia Mencerahkan Semesta , 2022.