Wazanmedia.com — Apa itu Futur? Pernahkah man-teman pernah ada di zona amat semangat dan bahagia menjalankan suatu aktivitas semisal belajar, shalat tahajud, membaca Alquran siang dan malam, bertani, berdagang, menjadi nelayan? Lalu dalam suatu momentum kalian merasa jenuh, malas, berat, dan sulit sekali untuk melaksanakannya. Itulah situasi yang namanya futur.
Tentu, hampir semua orang; saya, kalian, para yai, Gus, Neng, dan pejabat, petani, nelayan, tukang cukur pernah merasakan situasi demikian. Tidak usah berbohong pasti pernah kan? Jangankan kalian dan saya, para sahabat Nabi juga pernah merasakan zona futur ini. Sebut saja, Ibnu Mas’ud.
Ibnu Mas’ud suatu waktu sakit. Sahabat-sahabatnya pun datang menjenguk. Mereka menyaksikan Ibnu Mas’ud menangis. Yang membuat mereka bertanya keheranan sebaimana ceritanya Syaqīq. “Mengapa engkau menangis? Apakah engkau tidak rida’ dengan sakit ini?”.
Ibnu Mas’ud menjawab, “aku ridha dengan sakit ini, tetapi aku menangis karena penyakit ini menimpaku ketika aku sedang futur, ia tidak menimpaku ketika aku sedang bersemangat dalam beraktifitas. Karena pahala aktifitas yang biasa dikerjakan seseorang ketika sehat akan tetap dicatat oleh Allah kendatipun ia dalam kondisi sakit yang membuatnya beristirahat melakukan aktifitasnya.”
Zona Futur Sebagai Penyakit Hati dan 4 Tipologi Manusia Dilanda Futur
Ya, zona futur ini bila melanda manusia bisa berakibat fatal. Kalau sampai akut maka masuk dalam kategori penyakit hati. Khususnya futur dalam ibadah sebagai tugas kehambaan. Dan dalam kitab ini, Syekh al-Sulami mengklasifikasi tingakatan korban zona futur.
Pertama, adalah malas melakukan suatu kewajiban yang sebelumnya telah dilakukan.
Kedua, seseorang yang tidak peduli dengan kemalasannya dan kelalaiannya. Ini yang lebih buruk dari sebelumnya.
Dasarnya, ia sadar bahwa dirinya malas dan lalai dalam menjalankan tugas kehambaan. Hanya saja tidak menghiraukannya. Bahkan boleh jadi ia gelisah atau sedih lantaran menyadari kelalaiannya tetapi tiada tindakan nyata untuk menanggulanginya bahkan membiarkannya saja. Dalam konteks ini, orang tersebut menurut versi Syekh Ibnu Athaillah – mungkin – adalah tertipu sebagaimana kalam hikmahnya.
“Bersedih ketika kehilangan kesempatan menjalankan ketaatan, tanpa adanya usaha untuk bangkit dan mengerjakannya kembali, merupakan salah satu tanda seseorang telah tertipu.”
Ketiga, yang lebih buruk lagi dari yang kedua adalah seseorang yang tidak menyadari kelalaiannya. Ia tidak sadar bahwa dirinya dalam kondisi futur.
Selanjutnya tidak memiliki kesadaran bahwa dirinya telah terjerumus dalam kelalaian (futur) mengemban tugas kehambaan. Dengan demikian, boleh jadi hatinya telah mati. Salah satu petikan hikmah syekh Ibnu Athaillah menjelaskan.
“Di antara tanda kematian hati adalah engkau tidak bersedih ketika melewatkan ketaatan, dan tidak menyesal ketika melakukan kemaksiatan.”
Futur yang akut dan Fatal
Keempat, yang paling buruk dari ketiganya yaitu seseorang yang mengira dirinya masih dalam keadaan baik meskipun sebenarnya ia sedang terjebak dalam zona futur yang akut dan fatal hingga mengrogoti semangat menjalani aktifitas ibadahnya.
Artinya, orang tersebut telah menormalisasi kelalaian dan kemalasan. Dan kebiasaan buruk ini telah menjadi habbit-nya dengan merestui hawa nafsunya menguasai setiap tindakannya. Inilah kategori penyakit hati yang paling buruk. Bahkan Syekh Ibnu Athaillah menyebut sebagai sumber setiap maksiat dan kelalaian dan syahwat.
أَصْلُ كُلَّ مَعْصِيَّةِ وَغَفْلَةٍ وَشَهْوَةِ الرَّضَا عَنِ النَّفْسِ، وَأَصْلُ كُلَّ طَاعَةٍ وَيَقِظَةٍ وَعِزَّةٍ عَدَمُ الرَّضَا عَنْكَ عَنْهَا
“Pangkal segala maksiat, kelalaian, dan syahwat adalah memperturutkan hawa nafsu. Sedangkan pangkal segala ketaatan, kewaspadaan, dan kesucian diri adalah ketidakinginan Anda memperturutkan hawa nafsu.”
Sebab dan Cara Keluar dari Zona Futur
Itulah penyakit hati yang ketiga dalam kitab ‘Uyūb al-Nafsi. Hal yang perlu digaris bawahi bahwa tingkatan-tingkatan di atas bersifat hierarkis dan beruntun. Pada kondisi awalnya seseorang malas dan meninggalkan kewajiban yang sebelumnya dilakukan disebabkan ia tidak bersyukur akan taufik yang dicurahkan Tuhan kepadanya saat menjalani tugas kehambaan sehingga kejenuhan menghinggapinya.
Lambat laun, terus meningkat akan ketidakpeduliannya pada kemalasan tersebut. Lalu masuk dalam jurang ketidaksadaran bahwa dirinya telah lalai dan terkungkung dalam zona futur hingga akhirnya ia normalisasi dan menganggap bahwa tindakannya itu hal yang wajar dan baik-baik saja.
Adapun cara keluar dari kungkungan zona futur, menurut tips Syekh al-Sulami, pertama, tentu berlindung diri kepada Allah. Kedua, banyak berzikir dan membaca Al-Qur’an. Ketiga, menggali kembali tujuan dari tugas kehambaan. Keempat, menghormati dan memenuhi hak-hak saudara sesama hamba. Kelima, meminta doa dari kekasih-kekasih Allah.
Teks dan terjemah I: Penyakit Hati ketiga Malas dalam Ketaatan
مِنْ عُيُوبِ النَّفْسِ الْفُتُورُ فِي الطَّاعَةِ
وَمِنْ عُيُوبِهَا: فُتُورُهَا فِيهَا فِي حُقُوقٍ كَانَ يَقُومُ بِهَا قَبْلَ ذَلِكَ، وَأَتَمُّ مِنْهُ عَيْبًا مَنْ لَا يَهْتَمُّ بِتَقْصِيرِهِ وَفُتُورِهِ، وَأَكْثَرُ مِنْ ذَلِكَ عَيْبًا مَنْ لَا يَرَى فُتُورَهُ وَتَقْصِيرَهُ، ثُمَّ أَكْثَرُ مِنْهُ عَيْبًا مَنْ يَظُنُّ أَنَّهُ مُتَوَفِّرٌ مَعَ فُتُورِهِ وَتَقْصِيرِهِ
“Di antara cacat jiwa adalah rasa malas dalam ketaatan. Di antara cacat jiwa adalah rasa malas dalam menunaikan kewajiban yang sebelumnya selalu dilakukan. Yang lebih buruk dari itu adalah seseorang yang tidak peduli dengan kemalasannya dan kelalaiannya. Yang lebih buruk lagi adalah seseorang yang tidak menyadari kelalaiannya. Dan yang lebih parah dari semua itu adalah seseorang yang mengira dirinya masih dalam keadaan baik meskipun sebenarnya ia sedang mengalami kemalasan dan kelalaian.”
Teks dan terjemah II: Sabab Musababnya
وَهَذَا مِنْ قِلَّةِ شُكْرِهِ فِي وَقْتِ تَوْفِيقِهِ لِلْقِيَامِ بِهَذِهِ الْحُقُوقِ، فَلَمَّا قَلَّ شُكْرُهُ أُزِيلَ عَنْ مَقَامِ التَّوَفُّرِ إِلَىٰ مَقَامِ التَّقْصِيرِ، وَيَسْتُرُ عَلَيْهِ نُقْصَانَهُ وَاسْتَحْسَنَ قَبَائِحَهُ.
“Hal ini terjadi disebabkan kurangnya rasa syukur ketika Allah masih memberinya taufik untuk menjalankan kewajiban tersebut. Ketika rasa syukurnya berkurang, ia dipindahkan dari keadaan penuh kesungguhan menuju keadaan penuh kelalaian, hingga ia menutupi kekurangannya dan mulai menganggap keburukan sebagai sesuatu yang baik.”
{أَفَمَنْ زُيِّنَ لَهُ سُوءُ عَمَلِهِ فَرَآهُ حَسَنًا} (فاطر: 8)
“Maka apakah orang yang dijadikan terasa indah perbuatan buruknya, lalu ia melihatnya sebagai sesuatu yang baik?” (Fathir: 8)..
Teks dan Terjemah III: Cara Mengobatinya
وَالْخَلَاصُ مِنْ ذَلِكَ: دَوَامُ الِالْتِجَاءِ إِلَىٰ اللَّهِ تَعَالَىٰ، وَمُلَازَمَةُ ذِكْرِهِ وَقِرَاءَةِ كِتَابِهِ، وَالْبَحْثُ عَنْ مَطْمَعِهِ، وَتَعْظِيمُ حُرْمَةِ الْمُسْلِمِينَ، وَسُؤَالُ أَوْلِيَاءِ اللَّهِ الدُّعَاءَ لَهُ بِالرَّدِّ إِلَىٰ الْحَالَةِ الْأُولَىٰ، لَعَلَّ اللَّهَ تَعَالَىٰ أَنْ يَمُنَّ عَلَيْهِ بِأَنْ يَفْتَحَ عَلَيْهِ سَبِيلَ خِدْمَتِهِ وَطَاعَتِهِ
“Cara untuk terbebas dari penyakit hati ini adalah senantiasa berlindung kepada Allah. Memperbanyak zikir dan membaca Al-Qur’an. Mencari kembali tujuan spiritualnya, menghormati hak-hak kaum Muslimin, serta meminta doa kepada para wali Allah agar ia dapat kembali ke kondisi semula. Semoga Allah menganugerahkan kepadanya taufik dan membuka jalan menuju pengabdian dan ketaatan kepada-Nya.”