Wazanmedia.com — Salah satu kondisi yang jamak kita alami adalah tak pernah merasakan kenikmatan ibadah kita. Syekh al-Sulami menjelaskan bahwa menjalankan ibadah tanpa menikmati buahnya atau manisnya ibadah adalah termasuk penyakiti hati.
Shalat sekedar ingin terlihat shalih. Berpuasa sebatas menahan lapar dan haus. Berzakat semata terlihat dermawan di mata umat. Dan naik haji lantaran menaikkan status sosial di masyarakat. Ketenangan dan kebahagiaan dalam hati, nol!
Padahal, menurut Syekh Ibnu Atha’illah, orang yang merasakan buah dari suatu amal yakni kenikmatannya adalah satu tanda Tuhan bahwa amal yang ia kerjakan diterima. Sebagaimana beliau menegaskan.
مَنْ وَجَدَ ثَمْرَةَ عَمَلِهِ عَاجِلًا دَلِيْلٌ عَلَى وُجُوْدِ الْقَبُوْلِ آجِلًا
“Seorang salik (pencari Tuhan) yang menemukan buah amalnya disegerakan, maka menjadi tanda atas diterimanya amal tersebut dan mendapatkan balasannya kelak.”
Etapi, kendati demikian kau tak perlu risau dan galau yang mengakibatkan zona kevakuman dan berhenti melakukan amal kebaikan. Karena semata tidak menikmati manisnya atau buahnya amal sebagai tanda penerimaan amal di sisi Tuhan. Jangan. Sebab, tiadanya tanda amal bukan berarti amal itu sia-sia dan tidak diterima. Sebagaimana tiadanya buah bukan berarti pohonnya mati. Oleh sebab itu, Syekh Ibnu Athaillah menjelaskan.
لا تيأس من قبول عمل لا تجد فيه وجود الحضور ، فربّما قبل من العمل ما لم تدرك ثمرته عاجلا
“Jangan putus asa dari diterimanya amal yang belum kau jumpai buahnya yaitu kehadiran Tuhan. Boleh jadi Tuhan menerima amal yang belum kau rasakan buahnya sekarang”.
Cara Mengobati
Dengan demikian, maka kau harusnya tetap mengerjakan amal tersebut meski kau berpura-pura mendapatkan buahnya. Dalam ungkapan lain, berpura-pura merasakan buah dan manisnya amal kebaikan sampai engkau sendiri lupa bahwa hanya berpura-pura merasakan buah dan manisnya amal lantaran kau tenggelam dengan amal itu tanpa menghiraukan hiruk pikuk duniawi. Semisal berhaji demi status sosial, puasa karena tidak enak ke tetangga, dan berzakat lantaran ingin terlihat dermawan. Kau melupakan semua itu.
Menanggalkan dan melupakan embel-embel dunia di atas itu termasuk fase ikhlas. Dan ikhlas inilah salah satu obat dari penyakit hati tersebut. Syekh al-Sulami menjelaskan.
مِنْ عُيُوبِ النَّفْسِ الطَّاعَةُ وَعَدَمُ الشُّعُورِ بِلَذَّتِهَا
وَمِنْ عُيُوبِهَا: أَنْ يُطِيعَ وَلَا يَجِدَ لِطَاعَتِهِ لَذَّةً، وَذَلِكَ لِشَوْبِ طَاعَته بِالرِّيَاءِ، وَقِلَّةِ إِخْلَاصِهِ فِي ذَلِكَ، أَوْ تَرْكِ سُنَّةٍ مِنَ السُّنَنِ
Di antara cacat jiwa adalah ketaatan tanpa merasakan kenikmatannya.
Di antara cacat jiwa adalah seseorang melakukan ketaatan tetapi tidak merasakan kenikmatannya. Hal ini terjadi karena ketaatannya tercampur dengan riya’ dan kurangnya keikhlasan, atau karena ia meninggalkan salah satu sunnah dalam amalnya.
وَمُدَاوَاتُهَا: مُطَالَبَةُ النَّفْسِ بِالْإِخْلَاصِ، وَمُلَازَمَةُ السُّنَّةِ فِي الْأَفْعَالِ، وَتَصْحِيحُ مَبَادِئِ أُمُورِهِ، يَصِحْ لَهُ مُنْتَهَاهَا
“Cara mengobatinya adalah menuntut jiwa untuk ikhlas, selalu berpegang teguh pada sunnah dalam amal, serta membenahi awal dari setiap perbuatannya, sehingga akhirnya juga akan benar.”