Wazanmedia.com — “Menggantungkan harapan pada insan berakhir pada kekecewaan” adalah adagium terbaik untuk menggambarkan penyakit hati dan aib jiwa yang kedua dalam kitab ‘Uyūb al-Nafsi. Dan penyakit ini – yaitu penyakit hatimencari solusi kepada manusia – merambah ke manusia umumnya, di mana mereka acap kali lupa bahwa pertolongan sejati dalam menghadapi setiap masalah adalah sang Maha Penolong, Allah swt. Manusia hanyalah perantara.
Sebagai misalpenyakit hati ini, kau menyukai seseorang lalu kau labuhkan harapan itu kepada cokelat, mobil, harta benda, dan bahkan orang itu sendiri guna meluluhkan hatinya. Tanpa kau sandarkan harapanmu kepada Dzat yang mampu membolak-balikkan hati. Pun dalam persoalan rizki, Anda menggantungkan harapanmu kepada orang atau pekerjaan. Tanpa kau sadari siapakah Dzat yang memberikan rizki.
Demikianlah saat tertimpa musibah, Anda berharap kepada orang yang sama sekali tidak bisa menghilangkannya. Maka satu-satunya obat mengatasi penyakit jiwa demikian adalah kembali melakukan refleksi keyakinan.
Hanya Allah tempat menggantungkan harapan yang tidak akan berakhir mengecewakan. Dan kau yakini selain Allah adalah lemah dan tak punya daya. Jika demikian, maka bagaimana mungkin orang yang tak mampu mengatur dirinya sendiri mampu memenuhi harapan-harapan orang lain.
Dalam kaidah dikatakan, “Faqidus Syai La Yu’thihi” yang tak punya sesuatu (pemenuhan harapan) tak bisa memenuhi harapan tersebut.
Oleh karena itu, Syekh al-Sulami menjelaskan penyakit hati kedua dalam jiwa manusia adalah mencari solusi dari masalah (bahaya) kepada dzat yang tidak memiliki solusinya. Gampangnya, salah menaruh harapan.
Teks Arab dan Terjemahan
Sebab, dengan menaruh harapan kepada orang yang salah akan menimbulkan rasa kecewa, marah dan benci yang terus menguasai suasana hati. Ia menggerogoti kemurnian-kemurnian jiwa hingga keruh. Beliau mengatakan;
مِنْ عُيُوبِ النَّفْسِ اسْتِكْشَافُ الضُّرِّ مِمَّنْ لَا يَمْلِكُهُ
“Di antara cacat jiwa adalah mencari solusi dari masalah (bahaya) hingga dzat yang tidak memiliki solusinya”.
وَمِنْ عُيُوبِهَا: اسْتِكْشَافُهَا الضُّرَّ مِمَّنْ لَا يَمْلِكُهُ، وَرَجَاؤُهَا فِي النَّفْعِ مِمَّنْ لَا يَقْدِرُ عَلَيْهِ، وَاهْتِمَامُهَا بِالرِّزْقِ وَقَدْ تَكَفَّلَ لَهَا بِالرِّزْقِ.
“Di antara penyakit hati adalah meminta terbebas dari bahaya kepada selain Allah yang tidak mampu menghilangkan jiwanya, berharap manfaat dari sesuatu yang tidak memiliki kuasa di atasnya, serta memberikan rezeki, padahal Allah telah menjamin rezekinya”
Jawaban: الرُّجُوعُ إِلَىٰ صِحَّةِ الْإِيمَانِ بِمَا أَخْبَرَ اللَّهُ فِي كِتَابِهِ:
“Obatnya adalah kembali kepada keimanan yang benar, sebagaimana dikabarkan Allah dalam kitab-Nya”
{وَإِن يَمْسَسْكَ اللَّهُ بِضُرٍّ فَلَا كَاشِفَ لَهُ إِلَّا هُوَ، وَإِن يُرِدْكَ بِخَيْرٍ فَلَا رَادَّ لِفَضْلِهِ، يُصِيبُ بِهِ مَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ} (يونس: 107).
“Jika Allah menimpakan suatu bahaya kepadamu, maka tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia. Dan jika Dia menghendaki kebaikannya, maka tidak ada yang dapat menolak karunia-Nya. Dia memberikan kebaikan itu kepada siapa yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya.” (Yunus: 107).
{وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ إِلَّا عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا} (هود: 6).
“Dan tidak ada satupun makhluk bergerak (bernyawa) di bumi melainkan Allah-lah yang menjamin rezekinya.” (Hud : 6).
وَيُصْبِحُ لَهُ هَذَا الْحَالُ إِذَا نَظَرَ إِلَىٰ ضَعْفِ الْخَلْقِ وَعَجْزِهِمْ، فَيَعْلَمُ أَنَّ كُلَّ مَنْ يَكُونُ اجًا لَا يَقْدِرُ عَلَىٰ قَضَاءِ حَاجَةِ غَيْرِهِ، وَمَنْ يَكُونُ عَاجِزًا لَا يُمْكِنُهُ أَنْ يُصْلِحَ أَسْبَابَ غَيْرِهِ، فَيَسْلَمُ مِنْ هَذِهِ الْخَطِيئَةِ وَيَرْجِعُ إِلَىٰ رَبِّهِ بِالْكُلِّيَّةِ.
“Keadaan ini akan menjadi bagian dari dirinya jika ia menyadari kelemahan dan ketidakberdayaan makhluk, sehingga ia mengetahui bahwa orang yang sendiri masih membutuhkan, tentu tidak mampu memenuhi kebutuhan orang lain; dan orang yang lemah, tentu tidak dapat memperbaiki keadaan orang lain. Maka, ia akan selamat dari kesalahan ini dan sepenuhnya kembali kepada Tuhannya.”
[أَبُو عَبْدِ الرَّحْمَنِ السُّلَمِيُّ، عُيُوبُ النَّفْسِ، صَفْحَةٌ ٧]
[Abu Abdurrahman as-Sulami, ‘Uyub an-Nafs, halaman 7]