Wazanmedia.com–Kisah pernikahan Nabi Muhammad Saw dengan istri-istrinya merupakan salah satu kisah yang penting untuk disampaikan. Mengingat kalangan orang-orang yang pro-poligami berpoligami atas dasar “sunnah Rasulullah”, karena Nabi Muhammad memiliki cukup banyak istri.
Sebagai utusan Allah, Nabi Muhammad Saw tidak akan bertindak dan mengambil keputusan berdasarkan kemauan atau nafsunya semata, tetapi juga didukung oleh wahyu dari Allah Swt, termasuk dalam persoalan menikah. Rasulullah Saw bersabda:
مَا تَزَوَّجْتُ أَحَدًا مِنْ نِسَائِي وَلَا زَوَّجْتُ شَيْئًا مِنْ بَنَاتِي إِلَّا بِوَحْيٍ جَاءَنِيْ بِهِ جِبْرِيْلُ مِنْ رَبِّيْ جَلَّ وَعَزَّ
“Aku tidak menikahi seorang pun dari istriku dan tidak menikahkan seorang pun dari putriku kecuali atas dasar wahyu yang datang kepadaku melalui malaikat Jibril dari Allah Swt yang Maha Tinggi dan Maha Mulia”
Dengan mengetahui latar belakang pernikahan Nabi Saw, kita bisa menilai bahwa saat Nabi menikahi istri-istrinya bukan untuk kepentingan pribadi dan nafsu birahi, melainkan untuk menyukseskan dakwah atau membantu dan menyelamatkan perempuan yang kehilangan suami, baik yang gugur di medan perang atau atas perintah Ilahi.
Wanita pertama Nabi nikahi adalah Khadijah binti Khuwailid, Ummul mukminin, istri yang paling dicintai oleh beliau. Khadijah adalah orang pertama di muka bumi ini yang beriman kepada Rasulullah Saw dan memeluk agama Islam. Rasulullah sangat bahagia bersama Khadijah selama 25 tahun. Hingga saat Khadijah menginjak usia 65 tahun, Allah memanggilnya pada bulan Ramadhan tahun ke-10 kenabian, atau 3 tahun sebelum hijrah ke Madinah. Kala itu usia Rasulullah sekitar 50 tahun. Setelah kepergian Khadijah barulah beliau menikahi beberapa wanita, di antaranya:
Pertama, Aisyah, putri Abu Bakar, adalah wanita pertama Nabi nikahi setelah wafatnya Khadijah ra. Tatkala Nabi sedang sedih atas wafatnya sang istri, lalu malaikat Jibril datang membawa semacam lembaran dari surga yang ber-rupa Aisyah, dan malaikat Jibril berkata: Wahai Muhammad, sesungguhnya Allah Swt telah mengucapkan salam kepadamu dan berfirman: Sesungguhnya Aku telah menikahkanmu dengan wanita perawan yang menyerupai rupaan ini di langit, maka nikahilah ia di bumi. Nabi pun segera mencari wanita tersebut, dan ternyata wanita itu adalah putri Abu Bakar ra. Singkat carita, Aisyah pun resmi menjadi istri Nabi Muhammad Saw. Pernikahan ini dilaksanakan pada tahun ke-10 kenabian saat Aisyah berusia 7 tahun.
Kedua, Saudah binti Zam’ah, seorang wanita tua berumur 53 tahun, suaminya meninggal di perantauan Habasyah sehingga ia terpaksa kembali ke Mekkah menanggung beban kehidupan bersama anak-anaknya dengan resiko dipaksa murtad atau menikah dengan siapa yang tidak disenanginya. Pada akhirnya, Nabi lah yang meminangnya. Peristiwa ini terjadi pada tahun ke-10 kenabian.
Ketiga, Hafshah, putri Umar bin Khaththab ra, suaminya meninggal, dan ayahnya merasa sedih melihat anaknya hidup sendiri. Maka ayahnya pun menawarkan putrinya kepada Abu Bakar untuk dinikahi, tetapi Abu bakar menolak. Tawaran pun diajukan kepada Utsman, beliau pun diam. Ketika itulah Umar mengadukan kesedihannya kepada Nabi Muhammad Saw, yang kemudian bersedia menikahi Hafshah ra, demi persahabatan dan demi tidak membedakan antara Umar dan Abu Bakar yang sebelumnya telah menikahi putrinya, yakni Aisyah ra. Peristiwa ini terjadi pada tahun ke-3 H saat Hafshah berusia 20 tahun,
Keempat, Zainab binti Khuzaimah, perempuan berusia 30 tahun, suaminya gugur dalam perang Uhud pada tahun ke-3 H, dan tidak seorang pun-dari kaum muslimin ketika itu- yang berminat, sehingga Nabi Muhammad pun menikahinya.
Kelima, Hindun binti Abi Umayyah, yang dikenal dengan Ummu Salamah, suaminya adalah Abdullah al-Makhzumi yang mengalami luka dalam perang Uhud kemudian gugur. Pada mulanya beliau menolak lamaran Rasul, sebagaimana sebelumnya telah menolak lamaran Abu Bakar dan Umar ra, tetapi pada akhirnya bersedia demi kehormatan dan anak-anaknya. Pernikahan ini terjadi pada tahun ke-3 H saat Hindun berusia 30 tahun.
Keenam, Zainab binti Jahsy, sepupu Nabi Muhammad Saw yang dinikahkan langsung oleh beliau dengan bekas anak angkat dan hamba sahayanya (budak), Zaid bin Haritsah. Rumah tangga mereka tidak berlangsung lama, akhirnya mereka bercerai. Dan Nabi pun menikahinya atas perintah Allah, sekaligus untuk membatalkan kebiasaan Jahiliyah yang menganggap anak angkat adalah anak kandung, sehingga tidak boleh menikahi bekas istrinya. (QS. al-Ahzab 36-37) Peristiwa ini terjadi pada tahun ke-5 H saat Zainab berusia 35 tahun.
Ketujuh, Juwairiyah binti al-Harits, adalah putri kepala suku dan termasuk salah satu seorang yang ditawan. Nabi Saw menikahinya, sambil memerdekakannya, dengan harapan kaum muslimin dapat membebaskan para tawanan yang mereka tawan, dan hasilnya seperti yang diharapkan. Mereka semua pada akhirnya memeluk agama islam. Juwairiah sendiri memilih untuk tetap bersama Nabi Muhammad dan enggan kembali bersama ayahnya. Pernikahannya terjadi pada tahun ke-5 H saat Juwairiah berusia 20 tahun.
Kedelapan, Ramlah, putri Abu Sufyan, meninggalkan orang tuanya dan berhijrah ke Habasyah bersama suaminya. Tetapi sang suami kemudian memilih agama Nasrani di sana dan menceraikannya, sehingga dia hidup sendiri di perantauan. Melalui penguasa Habasyah, Nabi melamarnya dengan harapan mengangkatkan dari penderitaan sekaligus menjalin hubungan dengan ayahnya yang ketika itu merupakan salah satu tokoh utama kaum musyrikin di Mekkah. Ini terjadi pada tahun ke-6 H saat Ramlah berusia 40 tahun.
Kesembilan, Shafiyah, putri pemimpin Yahudi dari Bani Quraizhah, yang ditawan setelah kekalahan mereka dalam pengepungan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad Saw. Ia diberi pilihan kembali pada keluarganya atau tinggal bersama Nabi dalam keadaan bebas merdeka. Dia memilih untuk tinggal. Di rumah itu, Nabi mendengar seorang yang memakinya “pendek”. Maka, Nabi menghibur Shafiyah sambil mengecam dengan keras pemakinya. Pada tahun ke-7 H saat Shafiyah berusia 16 tahun, Nabi menikahinya.
Kesepuluh, Maimunah binti al-Haris, adalah adik dari Ummu al-Fadhl Lubabah al-Kubra, istri paman Nabi, yakni al-Abbas. Maimunah sangat mengagumi Nabi Muhammad Saw, hingga pada suatu hari ia berbisik pada saudarinya, Ummu al-Fadhl, bahwa ia menaruh hati kepada Nabi dan berminat jika beliau berkenan untuk menjadikan ia sebagai istrinya. Ummu al-Fadhl menyampaikan isi hati adiknya itu kepada suaminya, lalu sang suami yang merupakan paman Nabi membisikannya kepada Rasulullah Saw dan gayung pun bersambut. Nabi mengharap pamannya yang lain, yakni Ja’far, pergi menemui Maimunah untuk melamarnya buat beliau secara resmi, dan tentu saja dengan senang hati Maimunah menerima lamaran Nabi Saw. Maimunah adalah wanita terakhir Nabi nikahi, dan ini terjadi pada tahun ke-7 H saat Maimunah berusia 26 tahun.
Dari ke-11 istri Nabi Saw, dua istri meninggal saat beliau masih hidup, yaitu Khadijah binti Khuwailid dan Zainab binti Khuzaimah, dengan demikian maka beliau wafat meninggalkan sembilan istri sisanya. Dan semua istri-istri beliau adalah janda, kecuali Aisyah ra.
NB: Tahun pernikahan dan usia istri-istri Nabi di atas terlepas dari perbedaan riwayat, penulis hanya mencantumkan riwayat yang lebih kuat.
Sumber:
Muhammad bin Abdullah al-Zurdani, Jawahir al-Lu’luiyyah
Syekh Nawawi al-Bantani, Nur al-Zholam Syarah Aqidah al-Awam
Sayyid Muhammad al-Maliki, Jalaul Afham Syarah Aqidah al-Awam
Prof. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah