Wazanmedia.com – PADA peretengahan abad ke keenam (tahun 570) Masehi, kepemerintahan Hijaz yang berpusat di kota Mekah berada di bawah kepemimpinan Abdul Muthallib. Sedangkan pemerintahan Yaman yang berpusat di kota Shan’a berada di bawah kepemimpinan Abrahah, panglima perang dari Kerajaan Habasyi. Pada masa tersebut, Hijaz menjadi wilayah maju dengan berbagai perkembangannya. Terlebih Mekah yang termasuk kota bagian terpenting Hijaz memiliki Ka’bah yang menjadi rumah suci Tuhan yang dipercayai kemuliannya oleh segenap bangsa Arab.
Persaingan Hijaz dan Yaman
Dari Mekah, mereka melakukan haji kemudian melanjutkan dengan urusan duniawi berupa perniagaan dan semacamnya. Dalam perkembangannya, Mekah menjadi pusat yang ramai didatangi banyak orang dari seluruh penjuru bangsa Arab. Hal tersebut menjadikan Hijaz sebagai wilayah yang mengungguli Yaman dalam segala kebutuhan, kemajuan dan kemakmuran negara dan masyarakatnya.
Abrahah yang sejak sebelum diangkat menjadi pemimpin Yaman sudah mengetahui akan kemajuan Hijaz, bertambah keirihatiannya saat sah dilantik memimpin Yaman. Sebagai bentuk persaingannya dengan Hijaz, Ia menjadikan kota Shan’a dipenuhi dengan pembaharuan bangunan yang megah, luas, dan indah. Tak terlupakan gereja juga direnovasi menjadi lebih indah dan megah, mengingat dirinya merupakan seorang Nasrani yang sangat mencintai agamanya.
Hal tersebut semata-mata bertujuan menyaingi kota Mekah yang ada di Hijaz. Abrahah menginginkan kota Shan’a menjadi pusat dari segala kebutuhan masyarakat dari segenap bangsa di Jazirah Arab. Singkatnya, Kota Shan’a ingin dijadikan seperti Mekah yang ada Ka’bahnya.
Wujud persaingannya tak hanya terhenti sampai di situ saja. Abrahah sadar bahwa kota impiannya tak akan terwujud selama Mekah masih eksis di Jazirah Arab. Oleh karena itu, cara instan untuk mewujudkan kota Shan’a menjadi pusat Jazirah Arab adalah dengan menghancurkan sesuatu yang berharga milik Mekah, yaitu Ka’bah.
Bermula dari keirihatian Abrahah dan keinginannya menjadikan kota Shan’a sebagai kota pusat Jazirah Arab, misi penghancuran Ka’bah dimulai oleh Abrahah.
Bersiap Menuju Makkah
Ketika waktu yang ditentukan telah tiba untuk penghancuran Ka’bah di kota Mekah, Abrahah mempesiapkan pasukannya dengan matang. Bala tentara dengan tunggangan gajah yang besar-besar serta dihiasi berbagai pernak-pernik emas dan permata, pasukan kuda, pasukan dengan topeng perisai, pasukan pemanah dengan diikuti beribu-ribu pasukan yang berbaris di belakang pasukan utama. Semuanya dipersiapkan dengan sedemikian rupa oleh Abrahah demi terwujudnya kota impiannya di shan’a. Dan sebagaimana disebutkan di awal, hal itu bisa terwujud dengan menghancurkan Ka’bah di kota Mekah.
Abrahah menunggangi gajah yang paling besar memimpin pasukan bergerak dari Yaman menuju Mekah. Dengan kesombongannya ia bertingkah seakan yakin bisa menjatuhkan keluhuran dan kemulian Ka’bah di kota Mekah dengan mudah. Tentunya hal itu didukung oleh pemandangan jumlah tentara yang berbaris dibelakngnya. Dengan pasukan sebanyak itu, siapapun akan berpikir bahwa kemenangan akan berpihak pada Abrahah. Tapi bagi orang yang beriman, kemenangan sesungguhnya hanya berada di kuasa Allah SWT.
Pemberangkatan
Setelah berita keberangkatan Abrahah beserta paukannya itu tersebar, banyak bangsa Arab Yaman dan lainnya gelisah mendengar kabar tersebut. Diriwayatkan, ketika itu ada seorang bangsawan Arab Yaman yang mengobarkan semangat kaumnya untuk merintangi perjalanan Abrahah beserta pasukannya, ia adalah Zu Nafar. Dirinya tak ingin Ka’bah yang sudah sekian abad dimuliakan oleh seluruh bangsa Arab itu dihancurkan. Dirinya ingin Abrahah dan pasukannya mundur dan mengurungkan niatnya untuk menghancurkan Ka’bah.
Meski demikian, Sebagai pemimpin kaumnya, Zu Nafar tak ingin membahayakan dirinya sendiri beserta kaummnya. Dirinya sadar tak akan bisa melakukan penyerangan pada pasukan Abrahah dengan jumlah yang begitu banyak. Oleh karena itu, yang bisa dilakukan Zu Nafar dan kaumnya hanya sebatas menghalangi, bukan melawan. Dan pada akhirnya, Zu Nafar ditangkap dan ditawan setelah kabilahnya dicerai berai oleh pasukan Abrahah.
Di keadaan setelahnya, Abrahah dan pasukannya kembali mendapat rintangan berupa perlawanan dari kabilah Bani Khat’am dan Bani Himyar. Dengan dipimpin oleh Naufal bin Habib, kedua kabilah tersebut melakukan perlawanan secara tiba-tiba. Tapi perlawanan mereka hanya sebentar saja sudah bisa dibekuk dan dikalahkan oleh pasukan Abrahah. Mereka dijadikan tawanan dan dibawa sebagai penunjuk jalan menuju Mekah.
Sampai di Thaif
Sesampainya di Thaif, para penduduk dan kepala dusun disana memberikan hormat kepada Abrahah dan pasukannya. Sangat berbeda dengan Bani Khat’am dan Himyar, penduduk Thaif sama sekali tidak melakukan perlawanan. Seakan mereka berusaha untuk mendapatkan simpati dari Abrahah. Untuk itu, mereka menyatakan tidak akan melakukan perlawanan sedikitpun dan akan mematuhi apapun yang diinginkan oleh Abrahah. Bahkan, mereka memberikan beberapa orang kepercayaan mereka kepada Abrahah untuk membantu menunjukkan jalan agar mudah menuju Mekah. Dengan kemenangan yang berturut-turut dan sambutan kehormatan dari penduduk yang dilaluinya, hal tersebut menjadikan kesombongan Abrahah semakin bertambah dan kecongkakannya kian menjadi-jadi.
Sesampainya di luar pintu Mekah, Abrahah berinisiatif untuk istirahat sejenak sambil lalu menyebar mata-mata untuk mencari informasi mengenai apa yang akan dihadapinya. Ketika itu, kebetulan sekali tempat peristirahatan yang dipilih Abrahah dekat dengan tempat pengembalaan ternak milik kaum Quraisy. 400 ekor unta dan ternak lainnya milik kaum Quraisy dirampas oleh Abrahah. Dan salah seorang penjaga ternak tersebut adalah orang yang diberi amanah oleh Abdul Muthallib untuk menjaga unta miliknya.
Kejadian itu membuat para pemilik ternak berdatangan menghadap Abdul Muthallib untuk melaporkan kejadian perampasan sekaligus minta bantuan kepadanya selaku pimpinan di kota Mekah. Begitu pula pengembala yang menjaga ternak milik Abdul Muthallib juga melaporkan bahwa ternak miliknya juga dirampas oleh Abrahah. Di tengah kepanikan itu, datanglah utusan Abrahah menghadap kepada Abdul Muthallib menyampaikan informasi bahwasanya kedatangan Abrahah beserta pasukannya hanya bermaksud untuk menghancurkan Ka’bah dan tidak untuk memerangi penduduk Mekah. Akan tetapi, jika penduduk Mekah melakukan perlawanan, maka Abrahah dan pasukannya tidak akan segan untuk menghabisinya.
Ketegaran Juru Kunci Ka’bah
Mendengar pesan tersebut, Abdul Muthallib berangkat bersama Harist, anak lelakinya, menemui Abrahah ditemani oleh utusan tadi. Sesampainya di perkemahan Abrahah, Abdul Muthallib disambut dengan hormat dan dipersilahkan duduk di singgasana milik Abrahah. Tanpa berlama-lama, Abdul Muthallib menyatakan bahwa kedatangannya hanya hendak meminta dikembalikannya unta miliknya dan ternak milik kaum Quraisy yang telah dirampas olehnya. Abrahah hanya terkejut mendengar permintaan Abdul Muthallib tersebut. Bisa-bisanya seorang pemimpin hanya memikirkan unta ketika Ka’bah rumah suci Tuhan yang ada di kotanya sendiri akan dihancurkan, gumam Abrahah dalam hatinya.
Abrahah berkata; “Kedatanganku adalah untuk menghancurkan Ka’bah yang ada di Mekah, kota yang berada di bawah kepemimpinanmu. Tidakkah kau ingin menghalangiku dan memohon agar Aku tidak menghancurkan Ka’bah tersebut?” Dengan nada tenang Abdul Muthallib menjawab; ”Unta yang engkau rampas itu adalah milikku dan Aku wajib menjaga dan memeliharanya. Adapun Ka’bah itu milik Tuhan, dialah yang menjaga dan merawatnya. Jika engkau ingin menghancurkan Ka’bah, maka urusanmu dengan Tuhan selaku pemilik Ka’bah, bukan denganku. Urusanmu denganku adalah unta yang telah engkau rampas, Jadi Aku minta engkau untuk mengembalikan unta milikku itu”. Mendengar hal itu Abrahah sama sekali tidak gusar dan tetap akan melanjutkan misinya untuk menghancurkan Ka’bah.
Ketika Abrahah Mengembalikan Ternak Juru Kunci Ka’bah
Akhirnya semua unta dan ternak lain milik kaum Quraisy diserahkan oleh Abrahah kepada Abdul Mutahallib dan dibawanya ke Mekah. Pulangnya Abdul Muthallib membawa kabar bahwa Abrahah dan pasukannya akan segera datang untuk menghancurkkan Ka’bah. Untuk mencegah adanya pertempuran dan korban, Abdul Muthallib menghimbau kepada seluruh penduduk kota Mekah agar segera meninggalkan kota dan mencari tempat yang aman di bukit terdekat di sekitar kota Mekah.
Mereka pun bergerak cepat menuju bukit dengan membawa harta dan bekal secukupnya. Setelah kota kosong dari penduduk, Abdul Muthallib masih berada di kota dan melakukan thawaf sembari memohon kepada Tuhan pemilik Ka’bah agar memberikan perlindungan dan penjagaan kepada rumah suci yang sudah lama dimuliakan tersebut.
Ketika Abdul Muthallib berangkat ke luar kota Mekah dan hendak mencari tempat berlindung di bukit, datanglah kabar bahwa pasukan Abrahah telah gugur di tempat perkemahannya. Dikabarkan bahwa mereka semua terjangkit penyakit yang sangat mematikan sehingga menjadikan tubuh mereka seperti bangkai yang tercabik-cabik dalam sekejap. Penduduk Mekah pun gembira mendengar kabar tersebut dan kembali ke Mekah dengan bahagia.
Penyakit apakah yang menyerang Abrahah dan pasukannya sehingga menjadikannya seperti bangkai yang tercabik-cabik?
Wabah Menyerang Pasukan Gajah
Dalam riwayat yang masyhur, penyakit yang menimpa Abrahah dan pasukannya itu terjadi ketika mereka hendak berangkat dari tempat peristirahatan menuju Ka’bah. Kala itu, gajah-gajah mereka enggan untuk berangkat, hendak mundur, tapi dipaksa dan pukul agar bergerak maju. Kemudian, mendadak datang burung-burung yang berbondong-bondong dengan membawa kerikil hitam dan berapi mengitari langit tepat di atas pasukan Abrahah. Kemudian burung-burung itu melepaskan kerikil-kerikil yang dibawanya sehingga mengenai Abrahah dan setiap pasukan beserta tunggangannya. Apabila kerikil itu mengenai kulit, maka akan terasa sangat gatal, dan siapa saja yang manggaruk gatalnya itu, gugur dan jatuhlah dagingnya. Dan saat itu, tak ada seorang pun yang dapat menghindari jatuhnya kerikil berapi tersebut.
Dalam suarah Al-fil ayat 5, Al-Qur’an menggambarkan penyakit yang menimpa Abrahah beserta pasukannya itu seperti Kaasfim Ma’kul, daun-daun yang dimakan ulat. Ketika penyakit gatal itu digaruk, maka kulit dan dagingnya terkelupas dan berguguran seperti daun yang dimakan ulat. Riwayat ini merupakan riwayat Ibnu Abbas r.a.. Dalam riwayat lain diterangkan bahwa sebagian dari pasukan Abrahah ada yang melarikan diri dari kerikil maut itu dan pada akhirnya tetap dibinasakan juga dengan sebab yang lain. Ada yang binasa karena terjerumus ke jurang, tersesat jalan dan ada sebagian riwayat yang menyatakan binasa disebabkan banjir yang tiba-tiba terjadi di Yaman.
Begitulah Allah SWT membalas kejahatan orang-orang yang menentang dan berusaha menghancurkan agama-Nya. Tanpa disadari, tanpa bisa dikira-kira, semuanya terjadi begitu saja.
Ending Kisahnya
Berhubung dengan terjadinya peristiwa luar biasa yang belum pernah terjadi dalam sejarah, dan peristiwa itu oleh penduduk negeri Hijaz dipandang sebagai peristiwa yang amat besar, maka peristiwa itu dianggap suatu kejadian yang harus diperingati. Untuk mengingat akan terjadinya peristiwa tersebut, mereka menamakan tahun tersebut dengan Amul Fil (tahun gajah). Pada masa itu, tak seorang pun mengerti bahwa pada tahun itu juga akan dilahirkan seorang bayi laki-laki dari turunan salah seorang Quraisy, calon Nabi dan Rasul utusan Allah SWT, dan dilahirkannya di kota yang baru saja mengalami suatu peristiwa yang amat luar biasa, dialah Nabi Mhammad SAW..
Karena peristiwa tersebut memang mengandung suatau rahasia pelajaran bagi umat manusia, selang beberapa tahun kemudian setelah diangkatnya Nabi Muhammad SAW. menjadi utusan Allah, dinyatakan oleh Allah SWT. dalam firman-Nya kepada Rasul utusan-Nya, lalu dibacakan kepada segenap pengikutnya yang hingga kini dikenal dengan surah Al-Fil.
Demikianlah riwayat kisah Abrahah dalam misi penghancuran Ka’bah. Semoga menjadi tambahan ilmu dan pelajaran bagi kita semua. WallahuA’lam.