Teks
وَالْحُكْمُ خِطَابُ اللهِ تَعَالىٰ المــُـتَعَلِّقُ بِفِعْلِ الْمُكَلَّفِ مِنْ حَيْثُ إِنَّهُ مُكَلَّفٌ
Terjemah
Hukum adalah titah Allah yang berkenaan dengan perbuatan orang mukallaf dalam kapasitas sebagai mukallaf.
Keywords
Hukum, Khiṭāb, mukallaf
Anotasi
Hukum secara bahasa adalah memutus atau menghalangi. Faktanya, keberadaan hukum menjadi pemutus perkara orang-orang yang bersengketa serta menghalangi perilaku aniaya. Dari akar kata yang sama, lahir kata hikmah (kebijaksanaan). Keberadaan hukum membuat orang-orang terhindar dari perilaku hina dan asusila.
Dalam Uṣūl Fiqh, hukum didefinisikan sebagai titah (firman/kalam) Allah. Tidak semua titah Allah dapat disebut hukum. Firman Allah yang disebut hukum hanyalah firman yang menuntut atau membolehkan suatu perbuatan untuk dilakukan atau ditinggalkan. Maka dari itu, firman yang bukan tuntutan atau pembolehan suatu perbuatan tidaklah disebut hukum.
Contoh khiṭāb Allah yang hukum:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَععَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَۙ
“Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”
Ayat ini disebut hukum menurut uṣūl fiqh, karena ia memuat perintah (tegas) yang menuntut dilaksanakannya suatu perbuatan, yaitu puasa.
إِذَا انْتَهٰى أَحَدُكُمْ إِلَى الْمَجْلِسِ فَلْيُسَلِّمْ
Apabila seorang dari kalian sampai di suatu majelis, hendaklah mengucapkan salam” (HR. Abu Dawud dan at-Tirmidzi).
Hadis ini adalah hukum menurut uṣūl fiqh karena ia memuat perintah (anjuran) yang menuntut dilaksanakannya suatu perbuatan, yaitu mengucapkan salam.
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنٰىٓ اِنَّهٗ كَانَ فَاحِشَةً ۗوَسَاۤءَ سَبِيْلًا
Janganlah kamu mendekati zina. Sesungguhnya (zina) itu adalah perbuatan keji dan jalan terburuk.
Ayat ini adalah hukum menurut uṣūl fiqh karena ia memuat larangan (keras) yang menuntut ditinggalkannya suatu perbuatan, yaitu mendekati zina.
لَا يَتَقدَّمَنَّ أَحَدُكُمْ رَمَضَانَ بِصَوْمِ يَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْنِ إِلَّا أَنْ يَكُوْنَ رَجُلٌ كَانَ يَصُوْمُ صَوْمَهُ، فَلْيَصُمْ ذٰلِكَ الْيَوْمَ
Artinya, “Janganlah salah seorang kalian mendahului Ramadhan dengan satu atau dua hari kecuali seorang yang biasa menunaikan puasanya. Maka berpuasalah pada hari itu,” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Hadis ini disebut hukum menurut uṣūl fiqh, karena ia memuat larangan yang menuntut ditinggalkannya suatu perbuatan, yaitu berpuasa sehari sebelum bulan Ramadan.
وَكُلُوْا وَاشْرَبُوْا حَتّٰى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْاَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْاَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِۖ
Makan dan minumlah hingga jelas bagimu (perbedaan) antara benang putih dan benang hitam, yaitu fajar.
Ayat ini disebut hukum menurut uṣūl fiqh, karena ia memuat pembolehan suatu perbuatan, yaitu makan dan minum saat malam Ramadan.
Perlu dicatat, bahwa yang dimaksud khitab Allah dalam definisi hukum menurut uṣūl fiqh di atas bukan hanya yang terdapat dalam al-Qur’an, tetapi juga yang termuat di dalam hadis. Begitu pun dengan hasil kesepakatan ulama (ijmak) dan rumusan hukum yang berasal dari qiyas. Keduanya juga tergolong khiṭāb Allah.
Dalam al-Qur’an, banyak ayat yang bukan merupakan hukum. Perhatikan surat al-Fatihah. Ayat-ayat dalam surat tersebut tidak satupun merupakan perintah, larangan, atau pembolehan suatu perbuatan.
***
Perbuatan yang dikenai hukum adalah perbuatan mukallaf, yaitu perbuatan manusia yang telah mencapai usia akil balig dan dalam kondisi ‘normal’. Perbuatan yang muncul dari selain manusia (seperti hewan atau robot) tidak dikenai hukum. Begitu pun perbuatan anak-anak dan orang yang mengalami defisiensi mental.
Memang, dalam fiqh terdapat aturan, jika ada hewan merusak barang milik orang lain, pemilik hewan tersebut harus mengganti rugi kerusakan. Aturan ini seolah-olah mengaitkan hukum (kewajiban ganti rugi) dengan perbuatan hewan. Namun demikian, sejatinya yang dikenai hukum adalah pemilik hewan tersebut karena dalam situasi ini, perbuatan hewan dianggap perbuatan pemiliknya. Dengan begitu, pemilik tidak bisa mengelak dari tuntutan ganti rugi seraya berdalih bahwa kerusakan tersebut tidak disebabkan olehnya.
Dalam fiqh juga ada ketentuan, anak yang punya harta mencapai wajib zakat, harus ditunaikan zakatnya. Sama dengan sebelumnya, ketentuan ini seolah menuntut sesuatu kepada bukan mukallaf. Sesungguhnya, yang dikenai tuntutan dalam hal ini adalah wali dari anak tersebut.
Menurut fiqh, anak-anak sah dan berpahala melakukan salat dan puasa. Ini pun mengesankan bahwa hukum juga terkait dengan perbuatan bukan mukallaf. Namun demikian, sesungguhnya mereka sah beribadah bukan karena diperintah oleh syariat, tetapi supaya terbiasa melakukannya ketika sudah mencapai usia akil balig.