Wazanmedia.com – Kajian kitab Jam’ al-Jawami’ sudah sampai pertemuan keenamnya. Kali ini, akan mengupas status hukum perbuatan manusia sebelum adanya Nabi sebagai utusan. Bagaimana penjelasannya?
Teks
وَلَا حُكْمَ قَبْلَ الشَّرْعِ بَلْ الاَمْرُ مَوْقُوْفٌ إِلىٰ وُرُوْدِهِ وَحَكَّمَتْ المــُـــعْتَزِلَةُ الْعَقْلَ فَإِنْ لَمْ يَقْضِ فَثَالِثُهَا لَهُمْ الوَقْفُ عَنِ الْحَظَرِ وَاْلإِبَاحَةِ
Terjemah
Tidak ada hukum sebelum kedatangan utusan syariat, melainkan (keberadaan hukum itu) ditangguhkan hingga kedatangannya. Sementara kelompok Muktazilah menahbiskan akal (untuk mengetahui hukum perbuatan sebelum datangnya utusan). Jika akal tidak mampu memutuskan, maka menurut pendapat ketiga di kalangan Muktazilah adalah skeptis (tidak menentukan apakah perbuatan itu dilarang atau dibolehkan).
Keywords
Hukum, Muktazilah, Asya’irah, Akal, Skeptis
Anotasi
Menurut Asya’irah, hukum tidak dapat disematkan kepada suatu perbuatan sebelum Rasul diutus membawa syariat. Hukum baru ada setelah kedatangan utusan. Pendapat ini berdasar pada ayat, “…dan Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang rasul.”(QS. Al-Isra’: 15). Pahala dan siksa adalah konsekuensi/akibat (lāzim) dari hukum sebagai anteseden (malzūm). Namun demikian, berdasar ayat tersebut, pahala dan dosa baru ada ketika ada Rasul dan tidak ada sebelum ia diutus. Ketika konsekuensi (pahala dan dosa) tidak ada, maka anteseden (hukum) pun tidak ada.
Muktazilah memiliki pandangan yang berbeda. Mereka menyatakan bahwa hukum ilahi tetap dapat disematkan kepada suatu perbuatan walaupun tidak ada utusan Tuhan. Mazhab ini bersikukuh menilai bahwa akal manusia mampu mengetahui ketetapan hukum Ilahi bagi suatu perbuatan, apakah ia dibolehkan atau dilarang, walaupun sebelum Nabi diutus.
Menurut Muktazilah, akal bisa mengetahui dampak maslahat dan mafsadat dari suatu perbuatan. Oleh karenanya:
- Jika suatu perbuatan mengandung mafsadat bila dikerjakan, akal bisa memutuskan bahwa ia haram;
- Apabila perbuatan mengandung mafsadat bila ditinggalkan, berarti perbuatan tersebut wajib;
- Kalau perbuatan itu mendatangkan maslahat bila dilakukan, berarti perbuatan tersebut sunnah/mandub;
- Sekiranya perbuatan itu mendatangkan maslahat bila ditinggalkan, berarti perbuatan tersebut makruh;
- Seandainya perbuatan itu tidak mengandung maslahat atau mafsadat, berarti perbuatan tersebut mubah.
Ketika Akal Tidak Bisa Menjangkau Hal di Balik Perbuatan
Bagaimana jika akal tidak mengetahui apakah suatu perbuatan itu mengandung maslahat atau mafsadat? Mazhab ini terbelah dalam tiga pandangan. Pertama, perbuatan itu dilarang karena perbuatan tersebut berarti bertindak terhadap sesuatu milik Allah tanpa seizin-Nya. Kedua, perbuatan itu dibolehkan karena Allah menciptakan alam dan seisinya ini untuk manusia. Sekiranya tidak dibolehkan, maka sia-sia saja Allah menciptakan alam dan seisinya ini. Sedangkan pendapat ketiga memilih skeptis, tidak tahu apakah itu boleh atau dilarang karena baik dalil yang melarang maupun membolehkan sama-sama mungkin benar.
***
Perbedaan pendapat antara Asya’irah dan Muktazilah di atas, selain berkenaan dengan perbuatan orang-orang yang hidup di masa antara rasul-rasul (ahl al-fatrah), juga berkenaan dengan orang-orang yang tidak terjangkau oleh dakwah Nabi. Saat ini pun, masih didapati keberadaan orang-orang yang hidup jauh dari informasi keislaman, karena berada di daerah-daerah terpencil atau pedalaman, atau memang di daerah tersebut tidak pernah didatangi pendakwah Islam.
Bagi orang-orang dalam kondisi tersebut, menurut Asya’irah perbuatan mereka tidak dapat dikenai hukum syariat. Mereka tidak mendapat pahala dari perbuatan baik dan terancam siksa dari perbuatan jahat yang mereka lakukan karena mereka juga tidak tahu mana yang baik mana yang jahat sebab tidak ada syariat.
Sedangkan bagi Muktazilah, orang-orang tersebut dituntut untuk melakukan perbuatan yang menurut akal mereka adalah baik dan akan diganjar pahala oleh Allah karena melakukannya, serta diharuskan untuk meninggalkan perbuatan yang menurut akal mereka buruk dan diancam siksa apabila melakukannya.