Wazanmedia.com – Hidup di tengah informasi yang penuh kebobrokan serta kenyataan yang diwarani dengan virus-virus degradasi moral. Saya merasa gelisah dengan semakin rapuhnya demokrasi akibat aksi dan antraksi elit-elit dibumbuhi basa-basi keji untuk nampak bagaikan insan terpuji. Layiknya jamu manis bagi pemerintah yang egois!
Saya pun merasa lebih pantas beralih dari membaca realita dunia kepada menelaah wacana ulama mulia. Dapat kita jumpai di beragam literatul keislaman klasik yang sejatinya bisa dijadikan sebagai renungan, nasehat serta kritik tajam terhadap konflik kepentingan elektoral kini.
Sebagai rakyat jelata, untuk saat ini kita sepertinya hanya bisa percaya pada diri sendiri dan nenek luhur kita yang telah wafat. Tidak terkecuali cendikiawan muslim yang telah berjasa membentuk cakrawala keilmuan umat Islam utamanya di Indonesia.
Keegoisan Pemerintah
Sebagian Ahli Hikmah Dawuh:
إياك والسلطان فإنه يغضب غضب الصبي ويأخذ أخذ الأسد
Jauhilah pemerintah sebab dia akan marah layaknya anak kecil, dan akan merampas seperti singa. (Abi Manshur A;-Tsa’alabi, Ad-Dhoroif Wa Al-Lathoif Wa Al-Yawaqit Fi Ba’di Al-Mawaqit, h; 75)
Ucapan ini cukup menggambarkan bagaimana yang dilakukan pemerintah yang egois nan bengis, kenapa tidak? Memang bisa jumpai di media sosial seperti apa bentuk-bentuk keburukan itu. Salah satu contoh terjelas adalah keputusan Mahkamah Konstitusi. Lembaga yang sangat dihormati bisa diotak atik untuk memenuhi nafsu pribadi. Tak ubahnya jamu manis.
Sikap semacam ini sudah diucapkan dan diakui sendiri oleh Khalifah, Pemimpin Umat Islam al-Ma’mun. Beliau menegaskan:
إن فينا معشر الملوك حسدا واستئثارا ومحكا ولجاجا
Wahai para raja! sesungguhnya dalam diri kita ada rasa hasud, sikap memonopoli, membatantahi dalam pembicaraan, dan keras kepala.
Penting diperhatikan, al-Ma’mun di sini menyebut 4 sifat yang ada dalam diri seorang yang berkuasa dalam hal ini Raja. Keempat-empatnya bisa menguntungkan diri sendiri dan orang dekatnya misalnya keluarga namun disisi lain sangat merugikan masyarakat.
Kisah Pemerintah Keturunan Harun al-Rasyid
Dengan fasilitas yang begitu lengkap-untuk konteks saat ini- misalnya ada badan inteljen, ahli AT dan AI, tentara, polisi, harta, dan media bisa dijadikan alat untuk mempermulus dan memperlancar hasrat-hasrat jahannamnya bak jamu manis yang akan memuaskan hasrat nafsu yang seolah kesehatannya.
Khalifah ke 12 Abbasiyah ini tidak sedang hanya meningangatkan dirinya sendiri melainkan juga raja-raja yang lain dengan bahasa “wahai para raja”. Artinya akhlak mazmumah di atas bukan hanya mungkin tapi sangat mungkin bahkan boleh jadi sudah terbukti ada dalam jiwa pemimpin-pemimpin kita.
Ada satu yang menarik dari statemen keturunan Raja Harun al-Rasyid ini, dia beradi menyatakan bahwa dirinya memang punya 4 atribut buruk yang jarang berani dinyatakan oleh penguasa zaman now.
Abu Mansur juga mengutip tulisan berikut;
من سكر السلطان أنه يرضي عمن استوجب السخط ويسخط على من استوجب الرضا من غير سبب معلوم
Termasuk gaya mabuk pemerintahn adalah dia suka kepada orang yang sejatinya akan menghantarkan pada kemurkaan dan murka pada orang yang sejatinya akan membawa keridhoan tanpa didasari oleh sebab yang maklum.
Dalam ushul fikih, Kata rido dan sukht di sini adalah bentuk isim mufrod yang dimasuki al-ta’rif sehingga memproduksi makna umum. Keridoan dan kemurkaan di teks ini bisa jadi timbul dari si penguasa, kroni-kroninya, rakyat, atau bahkan dari Allah.
Raja kadang menyukai sesuatu yang membuat rakyat murka atau sebaliknya kadang murka akan sesuatu yang bagi masyarakat itu bagus. Sesungguhnya ini tidak masalah, problemnya adalah di saat keputusan sang pemimpin tidak dilandaskan atas dasar, argumen, dan sebab yang jelas dan mashlahat kepada umat.
Jangan sampai sebuah ironi dan tragedi dianggap komedi! Jangan sampai bentuk kriminal dinilai serimonial!
Kita Harus Bertindak
Kita sebagai rakyat tidak boleh diam! sebab diamnya kita boleh jadi dinggap menerima, rela, dan menyetujui kekacauan ini. Kita bukan lagi perawan-perawan yang bisa diperkosa oleh penguasa.
Relevan dengan ini, apa yang ditulis oleh Imam ad-Dzahabi:
وَقَدْ كُنَّا نَروِي عَنْ مُلُوْكِ آلِ سَاسَانَ: إِنَّ أَخَوْفَ مَا يَكُوْنَ الوُزرَاءُ إِذَا سَكَنَتِ الدَّهْمَاءُ، سير أعلام النبلاء (6/ 62)
Kami meriwayatkan dari kekasairan sasanid (nama yang digunakan untuk Kekaisaran Persia Kedua): Yang paling ditakutkan para menteri adalah saat massa sudah tenang. (Siyar A’lam an-Nubala’, j; 6, h; 62)
Rakyat mulai diam boleh jadi karena tidak ada rasa percaya lagi serta tidak mau tau menau mengenai kemajuan bangsa, atau boleh jadi takut akan tekanan dan kekejaman pemegang tahta.Dan di saat yang bersamaan, kesunyian ini dimanfaatkan oleh oknum-oknum pengusa untuk terus melaju mendaki gunung nafsu birahinya.
Agama dalam konteks ini penting untuk selalu dihadirkan dalam jiwa negara. Negara tidak hanya diasumsikan sebagai jasad yang terdiri dari bangunan megah namun dia juga punya ruh yang perlu selalu dibina bukan dibinasakan agar terus bermartabat di mata dunia.
Hubungan negara dan agama ibarat dua mata koin yang tidak bisa dipisahkan serta simbiosis yang terbentuk juga bersifat mutualisme bukan parasitisme. Ibnu al-Mu’taz berkata:
اَلْمُلْكُ بِالدِّيْن يَبْقَى وَالدِّيْن بِالْمُلْكِ يَقْوَى
Kerajaan dengan ruh agama akan langgeng dan agama dengan jasad kerajaan akan kokoh. (Abi Manshur A;-Tsa’alabi, Ad-Dhoroif Wa Al-Lathoif Wa Al-Yawaqit Fi Ba’di Al-Mawaqit, h; 74).
Surat al-A’raf ayat 179
Tulisan jamu manis buat pemerintah egois ini akan diclossing dengan surat al-A’raf ayat 179:
وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِنَ الْجِنِّ وَالْإِنْسِ ۖ لَهُمْ قُلُوبٌ لَا يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لَا يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آذَانٌ لَا يَسْمَعُونَ بِهَا ۚ أُولَٰئِكَ كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ ۚ أُولَٰئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ
Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.