Dahulu sering ada yang bertanya mengapa kitab “Bidayatul Mujtahid wa Nihatul Muqtashid” (Kitab perbandingan madzhab fikih karya Ibnu Rusyd) menjadi salah satu kurikulum paten untuk jenjang akhir di beberapa pesantren. Tidak hanya dipelajari secara bandongan (guru yang membaca dan murid mendengarkan) tetapi juga menjadi bahan diskusi setiap hari.
Asumsi awalnya, mungkin melihat dari judul kitabnya yakni “bidayatul mujtahid” yang bermakna permulaan atau langkah awal bagi seorang mujtahid. Selaras dengan namanya, kitab tersebut tidak hanya memaparkan pendapat para mujtahid tetapi disertai juga dengan pijakan dalil dan proses perumusannya. Mungkin saja, kitab tersebut ditujukan sebagai pengantar untuk mencetak kader “mujtahid” masa depan.
Namun pertanyaan selanjutnya, apakah hal itu mungkin? dan Apakah ada ranah ijtihad yang masih bisa dilakukan?
Dari pertanyaan ini, saya sedikit menemukan jawabannya ketika dahulu menemani teman-teman dalam diskusi ushul fikih ketika membahas tentang ijtihad. Salah satu tema yang dibahas dan dieksplorasi adalah tentang ijtihad tarjihi (IT) atau dalam istilah Yusuf Qardlawi disebut ijtihad intiqa’i.
Konsep Ijtihad Tarjihi
Dalam kajian ushul fikih kontemporer, Ijtihad Tarjihi (IT) adalah sebuah upaya untuk memilih salah satu dari beberapa pendapat yang ada dalam turast-turast fikih, dengan mengabaikan pendapat-pendapat lainnya yang didasarkan pada perubahan situasi sosial, politik, maupun ekonomi yang terjadi pada waktu tertentu. [1] Upaya IT ini dilakukan dengan cara menimbang dan membandingkan beberapa pendapat ulama fikih (baik dalam satu madzhab atau lintas madzhab) untuk kemudian dipilih mana pendapat yang selaras dengan zamannya, solutif, humanis, dan bisa mewujudkan kemaslahatan.
Dilihat dari pengertiannya, IT bisa dikatakan sebagai salah satu pengejawantahan karakter elastisitas (مرونة) syariat islam dalam menjawab problematika umat di zamannya. Elastisitas dalam artian dimana hukum islam yang tidak hanya memandang nilai-nilai idealitas tetapi juga mampu beradaptasi dengan realitas. Hal ini selaras dengan sebuah maqalah populer yang berbunyi :
( النُّزُوْلُ مِنَ اْلمَثَلِ اْلأَعْلَى إِلَى اْلوَاقِعِ اْلأَدْنَى )
“Turun dari langit idealitas menuju bumi realitas”
Urgensitas Ijtihad Tarjihi di Era Kontemporer
Dewasa ini, wacana IT agaknya menjadi penting dan tidak bisa diabaikan begitu saja. Hal ini untuk menjembatani antara pendapat ulama yang “idealis” dengan kondisi masyarakat yang “realistis” pada zaman sekarang. Setidaknya ada 3 faktor yang menyebabkan kenapa IT menjadi penting dan harus dikaji saat ini.
-
Adanya perubahan sistem tatanan sosial-politik di level regional maupun internasional.
Tidak ada yang menyangkal bahwa peradaban manusia selalu berubah dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Kondisi sosial, ekonomi, dan politik zaman sekarang tentu berbeda dengan kondisi pada zaman-zaman sebelumnya. Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan sistem ekonomi moneter adalah salah satu diantara perubahan tersebut.
-
Kemajuan ilmu pengetahuan modern.
Saat ini ilmu pengetahuan berkembang sangat pesat dibanding dengan pada zaman dahulu. Dalam bidang astronomi, biologi, fisika, dan kedokteran, manusia telah mencapai kemajuan yang belum pernah dicapai oleh orang-orang pada zaman dahulu (sekalipun kemajuan ini juga berkat pengetahuan orang zaman dahulu) . Kemajuan modern seperti transplantasi anggota tubuh, penemuan unsur-unsur kimiawi, perkawinan genetik, dsb tentu belum pernah dijumpai pada masa-masa sebelumnya.
-
Perubahan kebutuhan skala prioritas.
Kebutuhan manusia sekarang tentu berbeda dengan kebutuhan pada zaman dahulu. Barang yang pada zaman dahulu dianggap penting, menjadi tidak penting pada zaman sekarang, dan begitupun sebaliknya. Apabila pada zaman dahulu, orang sangat butuh kepada kuda/keledai sebagai alat transportasi, maka pada zaman sekarang, kuda/keledai tidak lagi dibutuhkan. Pun demikian dengan minyak bumi atau gas alam yang pada zaman dahulu tidak penting, sekarang menjadi sangat penting, termasuk minyak goreng. [2]
Ketiga faktor inilah yang kemudian menjadikan IT menjadi penting sebagai salah satu solusi dalam merumuskan dan menghasilkan jawaban fikih zaman sekarang. Fikih yang tidak jumud (kaku) dalam menjawab problematika, tetapi fikih yang luwes mengikuti perkembangan zamannya.
Isu-Isu yang Perlu Ijtihad Tarjihi
Salah satu bentuk IT dapat dijumpai dalam kasus status kemahraman akibat sepersusuan (رضاع) dalam Bank ASI. Sebuah bank konvensional yang dibuat sebagai salah satu solusi untuk mengatasi stunting (kekurangan gizi) pada balita dengan mengumpulkan beberapa ASI dari beberapa donatur.
Dalam hal ini, ada perbedaan pendapat antara madzhab Maliki dengan madzhab Daud al-Dzahiri tentang status kemahraman (مَحرَم) akibat air susu ibu. Menurut Imam Malik, air susu tersebut tetap dapat menyebabkan saudara sepersusuan sekalipun sudah terpisah dari tempatnya (diambil kemudian ditaruh dalam botol untuk disimpan) . Sedangkan menurut Daud al-Dzahiri, air susu tersebut tidak bisa menjadikan saudara sepersusuan karena tidak diperoleh langsung dari tempatnya (غير الجهة المعتادة). [3]
Disinilah IT bisa digunakan untuk memberikan jawaban yang solutif dalam Bank ASI dengan memilih pendapat Daud Al-Dzahiri (dalam pandangan sebagian ulama).
Begitupun pula dalam kasus hak ijbar (pemaksaan pernikahan) oleh wali terhadap anak perempuannya yang masih perawan dan telah baligh. Dalam hal ini ada perbedaan pendapat antara madzhab Syafi’i dengan madzhab Hanafi. Menurut madzhab syafi’i, hak ijbar masih ada selama si perempuan masih berstatus perawan. Sementara madzhab hanafi berpendapat bahwa hak ijbar sudah tidak ada, sehingga si perempuan tidak boleh dipaksa untuk menikah selama tidak ada ijin darinya. [4]
Dalam hal ini, pendapat madzhab hanafi lebih diunggulkan daripada pendapat madzhab syafi’i dengan melihat kondisi sosial sekarang dimana kebanyakan perempuan sudah berpendidikan sehingga mampu memilih apa yang terbaik baginya.
IT juga bisa dijadikan pegangan dalam kasus nasab seorang anak hilang (لقيط) yang ditentukan oleh ahli nasab (القافة) . Dalam literatur fikih, ketika ahli nasab mengatakan bahwa si anak memiliki 2 ayah (akibat pengakuan 2 orang yang sama-sama kuat) maka terjadi perbedaan pendapat diantara para ulama. Menurut Abu Tsaur, si anak memiliki nasab kepada 2 ayah sekaligus. Sedangkan menurut Imam Malik, si anak hanya bernasab kepada 1 orang saja dengan memilih salah satu dari keduanya. [5]
Dalam tinjauan IT, pendapat yang lebih unggul adalah pendapat Imam Malik dengan mempertimbangkan kajian ilmu kedokteran modern, dimana hanya satu sel sperma yang bisa membuahi satu ovum telur.
Walhasil, IT ingin menunjukkan bahwa ijtihad akan senantiasa ada sepanjang masa sekalipun dalam ranah selektif-adaptif. Dengan keberadaan IT, perbedaan ulama akan menemukan momentumnya sebagai solusi atas problematika umat dalam lintas generasi, baik masa sekarang atau masa yang akan datang. Perbedaan pendapat para ulama akan diibaratkan seperti tumpukan batu-bata yang saling melengkapi satu dengan lainnya dalam membentuk bangunan syariat islam yang “shalihun li kulli zaman wa makan” sehingga tercipta agama yang rahmatan lil ‘alamin.
الإجتهاد الترجيحي هو الاجتهاد المعاصري النزولي الذي يوازن بين آراء العلماء لتحقيق مرونة الشريعة الإسلامية عبر العصور المستقبلة باعتبار المتغيرات الإجتماعية والإقتصادية والسياسية والحضارية
Wallahu a’lam bis showab
Bahan Bacaan:
[1] Lihat Qutb Musthofa Sano, Mu’jam Mustholahat Ushul al-Fiqh, 29
اختيار أحد الآراء المنقولة في التراث الفقهي المدون للفتوى والقضاء به ترجيحا له على غيره من الآراء والأقوال باعتبار ملاءمة ذلك الرأي روح العصر ومتغيراته ومقتضياته الفكرية والاجتماعية والسياسية والإقتصادية.
[2] Lihat Yusuf Qardlawi, Al-Ijtihad, 126
[3] Lihat Ibnu Hazm, al-Muhalla bi al-Atsar, 10/185 dan Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, 3/62.
الْمَسْأَلَةُ الرَّابِعَةُ: وَأَمَّا هَلْ يُحَرِّمُ الْوَجُورُ وَاللَّدُودُ، وَبِالْجُمْلَةِ مَا يَصِلُ إِلَى الْحَلْقِ مِنْ غَيْرِ رَضَاعٍ؟ فَإِنَّ مَالِكًا قَالَ: يُحَرِّمُ الْوَجُورُ وَاللَّدُودُ. وَقَالَ عَطَاءٌ وَدَاوُدُ: لَا يُحَرِّمُ
[4] Lihat Wabah al-Zuhaily, Fiqh al-Islamiy wa Adillatuhu, 9/6715.
[5] Lihat Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, 4/143
وَهَذَا الْحُكْمُ عِنْدَ مَالِكٍ إِذَا قَضَى الْقَافَةُ بِالِاشْتِرَاكِ أَنْ يُؤَخَّرَ الصَّبِيُّ حَتَّى يَبْلُغَ، وَيُقَالُ لَهُ: وَالِ أَيَّهُمَا شِئْتَ، وَلَا يَلْحَقُ وَاحِدٌ بِاثْنَيْنِ، وَبِهِ قَالَ الشَّافِعِيُّ، وَقَالَ أَبُو ثَوْرٍ: يَكُونُ ابْنًا لَهُمَا إِذَا زَعَمَ الْقَائِفُ أَنَّهُمَا اشْتَرَكَا فِيهِ. وَعِنْدَ مَالِكٍ أَنَّهُ لَيْسَ يَكُونُ ابْنًا لِلِاثْنَيْنِ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى} [الحجرات: 13]