Wazanmedia.com – Metode pengambilan hukum (manhaj istinbath al-ahkam) merupakan metode yang digunakan para ulama dalam memproduksi sebuah hukum syariat. Adapun aktivitas pengambilan hukum (istinbath al-ahkam) yang dilakukannya, terkenal dengan sebutan ijtihad. Sedang para ulama yang mempunyai kompetensi dan menekuni bidang ijtihad disebut sebagai mujtahid.
Konsep Ijtihad
Ijtihad sendiri, seperti yang banyak tersebar, termasuk dalam Lubbul Ushul-sebuah kitab dalam fan ushul fikih yang sangat terkenal yang ditulis kira-kira dalam bentangan abad kesembilan dan sepuluh hijriah-syekh Abu Yahya Zakaria al-Anshari (841-925 H) menulis satu pengertian ijtihad dengan kalimatnya yang singkat,
الإجتهاد إستفراغ الفقيه الوسع لتحصيل الظن بالحكم
Artinya, “Ijtihad adalah upaya besar seorang fakih hingga sampai pada dugaan kuat dalam menentukan suatu hukum syariat.” (Lubbul Ushul, [Al-Hidayah, Surabaya] hal. 147)
Fakih yang dimaksud dalam definisi di atas adalah mujtahid. Sebab, syekh Zakaria al-Anshari menerangkan, Wal mujtahid al-faqih kama qalu al-faqih al-mujtahid (Seorang mujtahid adalah fakih, sebagaimana juga tersebar bahwa seorang fakih adalah mujtahid).
Pendeknya, fakih dan mujtahid adalah dua profesi yang melekat pada satu orang. Hal demikian dapat terjadi, lantaran fikih dan ushul fikih adalah dua fan ilmu yang saling bertalian erat. Tak dapat terlepas. Sampai dapat dipastikan, seseorang yang mempunyai kompetensi dalam ijtihad, pasti menyimpan ilmu fikih yang dalam (rasikh(un) fil fiqh). Sebaliknya, seseorang yang pakar ilmu fikih, jelas kompeten dalam ijtihad.
Menjadi seorang yang benar-benar fakih atau mujtahid, tentu bukan perkara enteng. Untuk dapat menyandang gelar besar tersebut, seseorang membutuhkan kepakaran dalam banyak hal besar. Di antara syarat-syarat sebagai mujtahid, syekh Wahbah bin Muthafa az-Zuhaili dalam al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh menyampaikan enam poin kompetensi yang harus dimiliki;
Pertama, harus pakar dalam ilmu gramatikal Bahasa Arab serta seluk beluknya. Kedua, mumpuni dalam bidang ilmu ushul fikih. Ketiga, memahami betul ayat-ayat hukum dalam al-Qur’an. Keempat, memahami hadist-hadist hukum secara etimologi dan terminologi. Kelima, mengerti konsep ijma’ dari segala aspeknya. Keenam, mendalami betul konsep qiyas berikut kajian-kajian di dalamnya.
Mencapai standar sempurna dalam enam kompetensi di atas memang bukan hal mudah. Penguasaan dalam gramatikal Arab saja tidak hanya mencakup ilmu nahwu dan sharraf. Tetapi juga mantik dan balagah yang mencakup; bayani, ma’ani dan badi’.
Contoh Cara Kerja Ijtihad
Berikut kami sertakan beberapa contoh ijtihad, dengan maksud memberi gambaran bahwa menjadi seorang mujtahid tak seenteng yang dibayangkan. Di antaranya, yaitu hukum keharaman menikahi ibu. Hukum ini hanya diambil dari surah an-Nisa’ (4:23),
حُرِّمَتۡ عَلَيۡكُمۡ أُمَّهَٰتُكُمۡ
Artinya, “Diharamkan atas kalian ibu-ibu kalian.” (QS. An-Nisa’ (4:23))
Metode ini dalam buku-buku ushul fikih disebut takwil an-nushush (menakwil teks).
Tanpa ilmu gramatikal Arab yang tinggi, ketajaman nalar ushul fikih, penguasaan asbab an-nuzul, dan seterusnya, tentu akan kesulitan menentukan kalimat mana yang paling layak untuk menyempurnakan ayat di atas. Apakah yang diharamkan adalah mencium ibu (sebagai bentuk kasih sayang), meminum air basuhan kaki ibu, pergi merantau dan meninggalkan ibu selama bertahun-tahun, atau menikahi ibu, atau bahkan keharaman menyakiti ibu diwakili juga oleh ayat tadi? Jelas membutuhkan kompetensi dalam enam poin tersebut agar dapat menentukan salah satu yang paling relevan untuk menyempurnakan kalimat dalam penggalan surah an-Nisa’ ayat 23 itu.
Yang lain, adalah seperti hukum kebolehan mengeluarkan qimah (harga) pada zakat biji-bijian, kambing dan unta. Padahal baginda Nabi sedikit pun tak pernah menyebut-nyebut harga dalam hadistnya. Itu karena tujuan pensyariatan zakat telah berhasil terbaca oleh para fukaha. Yakni mengeluarkan mustahiq (orang yang berhak menerima zakat) dari kondisi sempit menuju lapang. Sekaligus mempermudah muzakki (orang yang mengeluarkan zakat) dalam menjalankan syariat Allah subhanahu wa ta’ala. Langkah ijtihad semacam ini disebut rabthu an-nushush bil maqashid (mengaitkan teks dengan tujuan syariat). Berikut redaksinya,
عن معاذ بن جبل أن رسول الله صلى الله عليه وسلم بعثه إلى اليمن، فقال خذ الحب من الحب والشاة من الغنم والبعير من الإبل والبقرة من البقرة
Artinya, “Diriwayatkan dari Muadz bin Jabal bahwa Rasulullah mengutusnya ke Yaman, lalu beliau bersabda, ambillah (zakat) berupa biji-bijian dari biji-bijian, seekor kambing dari kambing, seekor unta ba’ir dari unta, dan seekor sapi dari sapi.” (Sunan al-Baihaqi (Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Bairut) juz 4, hal. 189)
Metode Ijtihad Para Ulama
Dari dua contoh yang baru saja kita baca, sekurangnya dapat memberi gambaran sekilas tentang nalar ijtihad. Dan, berikutnya kita akan mengkaji lebih banyak bagaimana metode ijtihad dan dunia kerja (‘amaliyyatul ijtihad) yang ditekuni para mujtahid kita.
Dalam memproduksi dan merumuskan suatu hukum lewat teks-teks syariat (al-Quran dan hadist), para mujtahid atau fukaha membutuhkan penguasaan atas satu metode yang disebut bayani.
Dalam buku Membangun Nalar Islam Moderat ([Tanwirul Afkar, 2018] hal. 61-70) KH Afifuddin Muhajir menyusunnya dengan sangat rapi. Metode bayani adalah metode pengambilan hukum dari teks al-Quran dan hadist, istilah lainnya adalah manhaj istinbath al-ahkam min an-nushush. Baik yang bersifat juz’i (parsial) maupun kulli (universal). Dalam mengaplikasikan metode ini, butuh beberapa langkah berikut;
5 Langkah Dalam Metode Bayani
1. Mengkaji sabab an-nuzul (sebab turunnya ayat al-Quran) atau sabab al-wurud (sebab munculnya hadist). Baik sabab an-nuzul mikro (al-khash) maupun yang makro (al-‘amm).
2. Mengkaji teks al-Quran dan hadist dari perspektif kaidah kebahasaan (al-qawa’id al-ushuliyyah al-lughawiyyah) yang meliputi kajian lafal, kajian makna, dan kajian dalalah (penunjukan lafal atas makna).
3. Mengaitkan satu teks dengan teks lain (rabthu an-nushush ba’dhuha bi ba’dhin). Karena sejatinya satu teks memiliki keterkaitan dengan teks yang lain. Selain itu, satu teks terhadap teks yang lain juga memiliki fungsi tertentu; baik sebagai taukid (penguat), bayan al-mujmal (menjelaskan nash yang bersifat garis besar), taqyid al-muthlaq (membatasi kata mutlak), takhshish al-‘amm (membatasi keumuman kata umum) atau taudhih al-musykil (menjelaskan kata taksa).
4. Mengaitkan teks yang sedang dikaji dengan maqashid syari’ah (rabthu an-nushush bil maqashid). Hal ini menjadi penting dilakukan karena maqashid syari’ah selain sebagai tujuan besar syariat, sekaligus sebagai kulliyat as-syari’ah (totalitas syariat).
5. Menakwil teks (takwil an-nushush) jika dibutuhkan. Karena setiap teks yang multimakna (interpretable) harus diarahkan ke makna dasarnya, yaitu makna yang jelas, hakiki dan rajih (kuat).
Semoga keterangan singkat ini, sekurang-kurangnya dapat membuka wawasasn sekalian pembaca ihwal bagaimana para ulama memproduksi hukum dari teks-teks syariat.