Arus modernitas dalam konteks bangsa Arab sejak akhir abad 19 sampai awal abad 20 telah berhasil menciptakan banyak perubahan dari berbagai sektor. Mulai dari aspek budaya, peradaban, hingga aspek keilmuan yang pada saat itu masih “dianggap” asing. Kolonialisme yang digencarkan oleh Barat sedikit banyak telah menyumbang apa yang disebut dengan terjadinya perubahan tersebut. Oleh karena itu, tulisan ini hendak mengkaji dampak-dampak kolonialisme yang kemudian dalam beberapa studi disebut dengan istilah pasca-kolonialisme.
Pasca-kolonialisme merupakan studi yang berfokus pada efek kolonialisme terhadap budaya dan masyarakat, dan pada berbagai jenis resistansi dan subversi terhadap kolonialisme yang terus berlangsung. Kajian tentang pasca-kolonialisme setidaknya berkisar tentang dua hal, yaitu: 1) orientalisme, 2) hubungan antara tradisi/autentisitas dan modern/yang lain. Namun, saya akan berfokus pada poin yang kedua. Poin kedua yang akan saya bahas di sini adalah dalam konteks bangsa Arab dalam rentang waktu era 40-an sampai 60-an.
Saya mencoba membaca sebuah buku berjudul al-Nahdlah al-Mujhidlah yang ditulis oleh Salameh Kaileh, seorang penulis dan pemikir berkebangsaan Palestina. Dia diperhitungkan sebagai salah satu penulis Arab yang berhaluan marxis-nasionalis dan berfokus pada kajian tentang realitas Arab. Dalam buku tersebut, Salameh Kaileh membedakan nahdlah Arab pasca-kolonialisme dan sebelumnya. Pembedaan yang demikian kemudian menjadi suatu hal yang penting sebagai sudut pandang untuk melihat identitas bangsa Arab itu sendiri. Sehingga dengan begitu, maka akan sampai pada kebangkitan bangsa Arab yang dicita-citakan.
Semenjak bermulanya era kolonialisme Barat, muncul istilah yang disebut dengan “al-âna wa al-âkhar”, “al-ashâlah wa al-mu’âsharah”, “al-turâts wa al-hadâtsah”, “al-’arab wa al-gharb”. Beberapa istilah tersebut pada hakikatnya memiliki spirit yang sama, yaitu relasi antara identitas diri, yang dalam konteks ini Arab, dan identitas luar, yang dalam konteks ini Barat. Kolonialisme Barat, yang selanjutnya kita sebut dengan masuknya budaya Barat, telah menyebabkan munculnya sebuah persoalan (al-isykâliyah) krisis identitas. Sebab, dunia Arab sebelumnya hanya mengenal satu budaya, yaitu Islam yang menjadi identitas bangsa Arab saat itu.
Hal ini kemudian memunculkan dua budaya yang “dianggap” bertentangan antara satu sama yang lain. “Hal apa yang perlu diambil dari Barat dan hal apa yang perlu dipertahankan dari turats kita?”, inilah yang menjadi inti permasalahan (Jauhar al-Musykilah) dalam pandangan Salameh Kaileh. Munculnya isykâliyah tersebut telah menciptakan sebuah krisis identitas bagi bangsa Arab yang kemudian menuntut adanya kajian tentang bagaimana mengenali bangsa Arab itu sendiri dan identitas apa yang melekat padanya pada era pasca-kolonialisme.
Salameh Kaileh menegaskan bahwa al-’arab adalah al-’arab itu sendiri. Dalam arti, mereka adalah masyarakat yang memiliki peradaban tersendiri sebagai identitas dirinya. Beragam reaksi muncul dari berbagai pihak apakah dunia Arab harus mempertahankan identitasnya sebagai dirinya sendiri ataukah melebur dalam dinamika perubahan-perubahan yang muncul sebagai akibat dari kolonialisme. Kondisi yang demikian perlu kita ketengahkan agar kita dapat memberikan sudut pandang yang objektif dalam melihat persoalan yang muncul.
Saya kira, analisis Georges Tharabichi, seorang pemikir berkebangsaan Suriah, dapat membantu kita melihat persoalan. Dalam pandangan Tarabichi, “al-âkhar” memiliki dua wajah: satu aspek sebagai bentuk kolonialisme (musta’mir) dan aspek yang lain sebagai pembawa peradaban (hâmil al-hadlârah). Pada kenyataannya, kita memang tidak bisa memungkiri bahwa kolonialisme telah banyak melakukan penindasan dan eksploitasi terhadap daerah yang dijajahnya. Namun, kita juga tidak bisa memungkiri bahwa di samping itu, kolonialisme juga membawa peradaban baru.
Untuk memberikan gambaran yang lebih jelas, barangkali kita masih ingat sosok Minke, tokoh utama dalam novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer. Kita melihat bagaimana Minke menyaksikan penindasan dan ketidakadilan oleh kolonialisme yang menjajah pribumi, lebih spesifik lagi ketidakadilan yang menimpa Nyai Ontosoroh. Namun di sisi yang lain, saat berada dalam ruang kelas sekolah, Minke terpukau dengan peradaban Barat. Sehingga, Minke melihat bahwa kolonialisme memiliki dua wajah, yaitu sebagai penjajah dengan segala penindasannya dan di waktu yang bersamaan terpukau dengan peradaban yang dibawanya.
Dengan demikian, dalam konteks ini, Tharabichi menegaskan bahwa kedua aspek tersebut perlu dibedakan agar kita bisa lebih objektif dalam melihat “al-âkhar”. Sehingga dengan pembedaan ini, kita bisa melihat apa yang perlu ditolak dan diterima. Tentu, kita akan menentang segala bentuk penindasan (ihtilâl) yang lahir dari kolonialisme dan tertuntut untuk objektif dalam melihat peradaban (tsaqâfah) yang dibawanya secara proporsional.
Walaupun demikian, di sisi yang lain, pemikir seperti Adil Husein, seorang islamis mantan marxis, memberikan kritik terhadap orang-orang yang membedakan antara “al-âkhar” sebagai kolonialisme dan “al-âkhar” sebagai pembawa peradaban. Dia berpandangan bahwa kolonialisme tidak mungkin bisa terlepas dari motif budaya atau peradaban. Kedua hal tersebut dianggap memiliki keterkaitan, sehingga apapun yang berkaitan dengan “al-âkhar” akan ditentang dan ditolak termasuk peradaban yang dibawanya.
Orang-orang seperti Adil Husain inilah yang disebut oleh Tharabichi sebagai kalangan Neo-Salafisme (al-Salafiyah al-Jadîdah). Mereka tetap berada dalam sikap mempertahankan identitas diri tanpa perlu mengadopsi apapun yang datangnya dari Barat. Sehingga, segala jenis peradaban dan aspek keilmuan asing akan sulit mereka terima dan stagnan terhadap identitas diri. Adanya polarisasi pandangan yang demikian juga menyebabkan munculnya konflik internal yang terus berlangsung hingga saat ini. Konflik ini pulalah yang menjadi salah satu faktor kenapa bangsa Arab sampai saat ini masih dikatakan mundur (takhalluf).
Maka dengan melihat realitas yang demikian, sampai di sini kemudian saya sampai pada sebuah kesimpulan bahwa, untuk mencapai kebangkitan Arab bukan terletak pada apakah kita berada di posisi mempertahankan tradisi sebagai identitas diri (Arab) atau mengadopsi modernitas sebagai produk luar (Barat). Sebab, kedua hal tersebut tiada lain sama-sama mencerminkan cara berpikir taklid. Akan tetapi, hal itu terletak pada sejauh mana inovasi-inovasi yang kita temukan dan ciptakan untuk mencapai kebangkitan bangsa Arab yang menjadi harapan semua pemikir Arab.
Daftar Bacaan:
- An-Nahdlah al-Mujhidlah; Musykilât al-Fikr al-’Arabi fî al-Qarn al-’Isyrîn, karya Salameh Kaileh.
- Min an-Nahdlah ilâ ar-Riddah; Tamazzuqât ats-Tsaqâfah al-’Arabiyah fi ‘Asr al-’Aulamah, karya Georges Tarabichi.