Wazanmedia.com – BERSALAMAN merupakan tradisi sosial yang telah lama ada dan menjadi bagian dari berbagai budaya di seluruh dunia. Di banyak komunitas, tradisi demikian adalah simbol penghormatan dan keakraban.
Namun, dalam konteks ajaran Islam, tradisi ini seringkali menjadi bahan perdebatan, terutama ketika melibatkan lawan jenis yang bukan mahram. Perdebatan ini sering berpusat pada bagaimana syariat Islam mengatur interaksi antara pria dan wanita.
Adakah Dalil yang Melarang Bersalaman dengan Lawan Jenis?
Dalam Al-Qur’an, tidak ada ayat yang secara eksplisit melarang bersalaman antara lawan jenis. Namun, Alquran menekankan pentingnya menjaga aurat dan menghindari tindakan yang dapat menimbulkan fitnah. Misalnya, dalam surah an-Nur
قُلْ لِّلْمُؤْمِنِيْنَ يَغُضُّوْا مِنْ اَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوْا فُرُوْجَهُمْۗ
“Katakanlah kepada orang-orang yang beriman, ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya dan menjaga kemaluannya… Dan katakanlah kepada perempuan-perempuan yang beriman, ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya dan menjaga kemaluannya…'” (Surah An-Nur [24]:30-31).
Ayat ini menegaskan pentingnya menjaga kesucian dan integritas dalam interaksi antara lawan jenis, tetapi tidak memberikan ketentuan khusus mengenai bersalaman. dalam diskusi ini hadits Nabi Muhammad Saw sering dirujuk. Salah satu hadits yang sering dikutip adalah
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ : “مَا مَسَّتْ يَدُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدَ امْرَأَةٍ قَطُّ
“Dari Aisyah ra, ia berkata, ‘Nabi Saw tidak pernah menjabat tangan wanita yang bukan mahramnya.’” (Sahih Bukhari).
Hadits ini mengindikasikan bahwa Nabi Saw biasanya menghindari bersentuhan dengan wanita yang bukan mahramnya.
Dalil yang Memebolehankan
Namun, beberapa hadits lain menunjukkan bahwa ada konteks di mana bersalaman dianggap diperbolehkan. Misal dalam keterangan berikut:
استدلّوا ببعض روايات أحاديث مبايعة النساء لرسول الله ﷺ، والتي تفيد أنّ المبايعة كانت تَتمّ بالمصافحة، وأنّ المرأة في هذا شأنُها شأنُ الرِّجال المبايِعين لرسول الله ﷺ
Oleh ulama, baiat para perempuan kepada Nabi ini dijadikan dalil boleh bersalaman antara lawan jenis ketika memang tidak ada maksud yang melenceng dan timbul fitnah.
Jadi terdapat perbedaan di kalangan ulama mengenai kebolehan bersalaman antara lawan jenis bukan mahram. Beberapa mazhab memberikan ruang untuk kebolehan bersalaman dalam kondisi tertentu, sementara yang lain lebih ketat.
Mazhab Hanafi
Dalam mazhab Hanafi, terdapat pandangan bahwa bersalaman dengan wanita tua yang tidak menimbulkan syahwat diperbolehkan. Dalam Al-Durr Al-Mukhtar, disebutkan: “Adapun wanita tua yang tidak dikehendaki, maka tidak ada salahnya menjabat tangan dan menyentuh tangannya jika aman.” (Al-Durr Al-Mukhtar).
Pendapat ini menunjukkan bahwa bersalaman dapat diterima jika tidak ada niat buruk atau kemungkinan menimbulkan fitnah. Dengan demikian, bersalaman dengan wanita yang sudah tua dan tidak menarik dari segi syahwat dianggap tidak menyalahi prinsip-prinsip Islam. Begitu pula sebagai bentuk ta’dzim dan patuh, hal ini tercermin antara orang alim dan orang awam maka itu boleh, karena tradisi urf . Dr. Yusuf Al-Qaradawi Fatawa Mu’asshirah 2/302-307.
Mazhab Hanbali
Beberapa ulama dari mazhab Hanbali juga berpendapat bahwa bersalaman mungkin diperbolehkan dalam konteks tertentu. Pandangan ini memperbolehkan bersalaman dalam situasi resmi atau ketika tidak ada kemungkinan timbulnya fitnah atau syahwat. Oleh karena itu, kebolehannya bisa diterima dalam situasi yang tidak mengundang godaan atau perasaan negatif.
Dr. Yusuf Al-Qaradawi, seorang ulama kontemporer, menyatakan bahwa bersalaman dengan lawan jenis mungkin diperbolehkan dalam situasi tertentu, seperti dalam konteks resmi atau ketika tidak menimbulkan fitnah. Dalam Fatawa Mu’asshirah, beliau menyatakan: “Jika bersalaman dilakukan dalam konteks yang aman dan tidak menimbulkan fitnah, maka tindakan tersebut dapat diterima menurut prinsip-prinsip Islam.” (Fatawa Mu’asshirah).
Pendapat ini menggarisbawahi pentingnya konteks dan niat dalam menilai kebolehan bersalaman. Jika situasinya formal dan tidak menimbulkan godaan, maka tindakan tersebut dapat diterima. Bahkan disebutkan dalam Al-Durr Al-Mukhtar Sharh Tanwir Al-Absar “Adapun wanita tua yang tidak dikehendaki, maka tidak ada salahnya menjabat tangan dan menyentuh tangannya jika aman. Dengan bolehnya bersentuhan, maka bepergian jalan dengan juga boleh jika di antara keduanya aman dari fitnah dan godaan. Lihat, Muhammad bin Ali Al-Husni, yang dikenal sebagai Al-Ala’ Al-Hasakfi 9/528 – 529.
Batasan Kebolehan Bersalaman dengan Lawan Jenis
Dalam praktiknya, keputusan untuk bersalaman dengan lawan jenis harus mempertimbangkan beberapa faktor. Pertama, niat dan tujuan dari tindakan tersebut sangat penting. Jika dilakukan dengan niat yang bersih dan dalam konteks yang tidak menimbulkan godaan, maka tindakan ini bisa dianggap sesuai dengan ajaran Islam.
Kedua, situasi di mana bersalaman terjadi juga mempengaruhi hukumannya. Dalam situasi resmi, seperti dalam acara formal atau pertemuan bisnis. Bersalaman mungkin lebih dapat diterima asalkan tidak ada unsur fitnah atau kesan negatif.
Ketiga, penting untuk mempertimbangkan kebiasaan lokal dan konteks sosial. Di beberapa budaya, bersalaman adalah bentuk salam yang umum dan diterima secara sosial. Sehingga mempertimbangkan kebiasaan ini bisa membantu dalam menilai situasi.
Dalam menghadapi isu bersalaman antara lawan jenis dalam Islam, penting untuk memahami bahwa pandangan mengenai hal ini tidak bersifat tunggal dan dapat bervariasi. Meskipun tradisi ini adalah simbol umum penghormatan dan keakraban di banyak budaya. Dalam konteks Islam, aturan tentang bersalaman antara pria dan wanita yang bukan mahram sering menjadi topik perdebatan.
Berbagai pandangan muncul. Beberapa ulama mengizinkan namun dalam situasi tertentu dengan mempertimbangkan konteks dan niat. Sementara yang lain lebih menekankan pada kehati-hatian untuk menjaga batasan syariat. Dengan demikian, penting untuk melihat hal ini dalam perspektif yang lebih luas. Dan mempertimbangkan prinsip-prinsip syariat, konteks budaya, serta kebutuhan sosial dalam menentukan apakah bersalaman diperbolehkan atau tidak.