Wazanmedia.com – Poligini yang dilakukan Rasulullah memiliki hikmah yang tak ada pada manusia normalnya. Sementara perempuan yang pertama kali dinikahi oleh Nabi Saw adalah Sayyidah Khadijah binti Khuwailid, seorang janda yang berusia 40 tahun dan pada saat itu Nabi masih berumur 25 tahun. Ketika hidup bersama Sayyidah Khadijah, Nabi tidak pernah menikah dengan perempuan lain, sampai Khadijah r.a. wafat.
Dari pernikahan dengan Sayyidah Khadijah menunjukkan bahwa Nabi menikah bukanlah untuk memenuhi keinginan hawa nafsu dan syahwatnya. Jika pernikahannya hanya untuk keinginan syahwat belaka, tentu di waktu masih muda beliau akan menikahi perempuan yang cantik dan perawan. Apalagi pada saat itu banyak gadis-gadis yang menyukai Nabi, karena beliau dikenal sebagai orang yang cerdas, jujur, memiliki akhlak mulia dan berwajah tampan. Tapi kenyataannya Nabi memilih Sayyidah Khadijah yang berusia jauh lebih tua dari beliau untuk menjadi pasangan hidup, bukan gadis lain yang masih muda.
Setelah Khadijah r.a. wafat, barulah Nabi melakukan poligini. Sejarah mencatat bahwa semua perempuan yang dinikahi Nabi bersetatus janda, kecuali Sayyidah Aisyah. Dengan demikian, tentu di balik pernikahan tersebut ada hikmah agung yang jarang diketahui oleh banyak orang, sehingga tidak sedikit dari mereka yang beranggapan bahwa pernikahan Nabi itu dilatar belakangi oleh tuntutan hasrat libido seksual. Di antara hikmah-hikmah tersebut adalah:
Hikmah Ta’limiyyah (sebagai wadah pengajaran)
Allah SWT menciptakan perempuan dengan memiliki rasa malu yang kuat sampai mengalahkan laki-laki. Karena demikian banyak perempuan di zaman Nabi malu bertanya soal hukum-hukum syariat yang berkaitan dengan kewanitaan, seperti masalah haid, nifas, janabah dan lain sebagainya. Di samping itu juga, seringkali Nabi merasa tidak enak untuk menjelaskan secara sharih kepada mereka, sehingga beliau menerangkan secara kinayah. Sementara kebanyakan perempuan tidak paham akan penjelasan kinayah itu. Nah, salah satu cara untuk mengatasi persoalan-persoalan tersebut Nabi menikahi banyak wanita. Sehingga Nabi lebih mudah menjelaskan masalah kewanitaan lewat istri-istri beliau, dan kemudian disampaikan kepada perempuan yang mendapatkan masalah tersebut secara jelas dan sharih.
Hikmah Tasyri’iyyah (sebagai pensyariatan)
Sebelum masa Islam, tidak sedikit dari masyarakat Arab yang mengadopsi anak. Mereka memberlakukan anak adopsi itu sama seperti anak kandung, baik dalam hal warisan, pernikahan, nasab dan lain-lain. Nabi pernah memiliki budak yang bernama Zaid bin Haritsah, kemudian ia dimerdekakan oleh Nabi lalu dijadikan anak angkat. Dengan demikian masyarakat arab mengenal Zaid dengan nama Zaid bin Muhammad bukan Zaid bin Haritsah, lantaran adat yang berlaku di daerah Arab.
Zaid menikahi seorang perempuan dari anak bibinya Rasul Saw yang bernama Zainab binti Jahsy. Waktu demi waktu hubungan rumah tangga mereka tidak harmonis, sehingga Zaid ingin menceraikan Zainab. Ketika Nabi mendengar permasalahan tersebut, beliau menasehati Zaid untuk tidak menceraikan istrinya. Zaid pun menahan untuk tidak menceraikan Zainab. Akan tetapi perselisihan antara mereka berdua semakin tidak bisa dibendung lagi. Zainab menganggap pernikahannya dengan Zaid tidak sekufu, lantaran suaminya adalah mantan budak, sementara Zainab memiliki keturunan nasab yang bagus. Zaid tidak mampu lagi menghadapi istrinya, sehingga timbullah perceraian antara keduanya.
Kemudian Allah SWT memerintahkan Nabi Saw agar menikahi Zainab, dengan tujuan untuk menghapus adat masyarakat Arab yang memposisikan anak angkat sama seperti anak kandung dalam segala urusan. Sebab pernikahan ini Nabi takut akan timbul fitnah dari orang-orang munafik yang mengatakan, “Muhammad telah menikahi istri anaknya.” Karena Ketakutan Nabi, Allah SWT berfirman: “Dan engkau takut kepada manusia, padahal Allah lebih berhak untuk engkau takuti. Maka, ketika Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), Kami nikahkan engkau dengan dia (Zainab) agar tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (menikahi) istri-istri anak-anak mereka, apabila mereka telah menyelesaikan keperluan terhadap istri-istrinya. Dan ketetapan Allah itu pasti terjadi.” {Al-Ahzab:37}.
Hikmah Ijtima’iyyah (sosial)
Kendati Nabi takut menjadi buah bibir orang-orang munafik, namun beliau tetap menjalankan perintah Allah untuk menikahi Zainab. Dari sini kiranya jelas bahwa pernikahan Nabi bukan dilandasi hawa nafsu, melainkan untuk menjalankan perintah Allah serta menghapus kebiasaan orang-orang jahiliyah yang mengakar sampai datangnya Islam.
Selanjutnya adalah hikmah ijtima’iyah. Seperti pernikahan Nabi dengan Sayyidah Aisyah binti Abu Bakr. Dalam pernikahan tersebut, Nabi bermaksud untuk menyetarakan Abu Bakr dengan beliau dalam hal kedudukan sosial. Karena Abu Bakr adalah salah satu sahabat Nabi yang memiliki kegigihan luar biasa dalam menyebarkan Islam, sampai-sampai tidak jarang ia mempertaruhkan harta dan nyawanya untuk membantu dakwahnya Nabi. Sehingga Abu Bakr memiliki pengaruh serta kewibawaan di masyarakat Arab yang jarang dimiliki oleh para sahabat lainnya.
Hikmah Siaasiyyah (politik)
Hikmah poligini Rasulullah selanjutnya adalah politik Nabi untuk memperkuat Islam. Seperti Nabi menikahi Sayyidah Juwairiyah binti Harits. Ayahnya Juwairiyyah adalah seorang pemimpin dari Bani Musthaliq yang sangat memusuhi Nabi. Ketika itu Bani Musthaliq terlibat peperangan dengan kaum Mulim di daerah Qadid, pertempuran ini dinamai perang Muraisi’ karena kedua belah pihak bertemu dan berperang di sebuah pangkalan air bernama Muraisi’. Dalam peperangan ini kaum Muslim berhasil mengalahkan Bani Musthaliq.
Tidak sedikit anak-anak dan perempuan yang dibawa oleh Bani Musthaliq ditawan oleh tentara Muslim. Di antara tawanan itu adalah putri dari Bani Musthalik yang bernama Juwairiyyah binti Harits. Tawanan perang dibagi-bagi kepada semua tentara Muslim dengan cara diundi. Pas pada saat itu, putri dari pemimpin Bani Musthaliq yaitu Juwairiyyah jatuh di tangan Tsabit bin Qais.
Juwairiyyah berkeinginan untuk menebus dirinya agar bebas dari tawanan perang. Hingga akhirnya ia datang kepada Rasul untuk memberi tahu akan maksudnya itu. Sungguh di luar dugaan, Rasul bukan malah menerima tebusan dari Juwairiyyah, tetapi justru menawarkan Juwairiyyah untuk menikah dengan beliau. Dengan tidak ada keraguan, Juwairiyyah pun menerima tawaran Nabi.
Setelah pernikan itu, para tawanan yang berada di kekuasaan para sahabat dibebaskan, lantaran mereka sekarang adalah kerabat Nabi. Sementara bagaimana mungkin para sahabat menawan para tawanan yang telah menjadi kerabat Nabi. Dengan kemurahan hati para sahabat, para tawanan ini berbondong-bondong memeluk agama Islam. Tidak hanya itu, Harits bin Dhirar yang awal mula menjadi pemimpin Bani Musthaliq serta sangat memusuhi Nabi pun akhirnya masuk Islam bersama para pasukannya.
Demikianlah hikmah poligini yang dilakukan oleh Nabi. Dari hikmah Ini agaknya jelas bahwa Nabi berpoligini bukanlah untuk memenuhi hawa nafsu serta syahwat yang bergejolak, namun hanya semata-mata berdakwah di jalan Allah. Tidak seperti yang dilakukan oleh sementara laki-laki sekarang, yang melakukan praktik poligini karena untuk memenuhi hasrat seksual. Wallahu a’lam.