Wazan Media
  • Keislaman
    • Akidah
    • Hikmah
    • Syariah
    • Khutbah
  • Kemanusiaan
    • Filsafat
    • Sosial Budaya
    • Sains
    • Humor dan Sastra
    • Unek Unik
  • Unduh Ilmu
No Result
View All Result
  • Keislaman
    • Akidah
    • Hikmah
    • Syariah
    • Khutbah
  • Kemanusiaan
    • Filsafat
    • Sosial Budaya
    • Sains
    • Humor dan Sastra
    • Unek Unik
  • Unduh Ilmu
No Result
View All Result
Wazan Media
No Result
View All Result

Gus Ulil: Keabsahan Iman Orang Yang Taklid dan Dalil-Dalilnya

Salman Akif Faylasuf by Salman Akif Faylasuf
12 April 2025
in Akidah, Keislaman
0
Kritik Nalar Fikih Pertambangan Gus Ulil
0
SHARES
14
VIEWS

Wazanmedia.com — Faktanya, iman-nya orang-orang awam (yang tidak terpelajar) sering kali dianggap remeh-temeh oleh orang-orang yang terdidik dalam ilmu dan iman. Bagaimana tidak, orang awam itu beragama hanya sekedar iman taklid serta mengikuti apa yang dikatakan gurunya, imamnya, dan seterusnya.

Menurut al-Ghazali, iman orang-orang awam ini pada umumnya sah. Bahkan, tak menutup kemungkinan imannya orang-orang awam ini lebih dalam, meresap masuk ke dalam jiwa dan hati seseorang dibandingkan dengan imannya orang yang terlalu rasional dan terlalu intelektualistik.

Dengan demikian, kata Gus Ulil, secara tidak langsung, al-Ghazali melakukan pembelaan terhadap iman orang-orang awam. Karena saking seringnya agama dibahas oleh orang-orang terpelajar, akhirnya menjadi kelihatan rumit dan jauh dari kehidupan sehari-hari.

Kita tahu, al-Ghazali adalah seorang intelektual, pemikir, dan ulama besar yang menulis tentang Islam dan menguraikannya dengan uraian-uraian yang “canggih” sekali. Akan tetapi, al-Ghazali sadar betul bahwa umumnya orang awam itu mengerti agama seperti yang diajarkan oleh guru-gurunya.

Beragama Ala Orang Awam dan Intelek

Gus Ulil juga memberikan pernyataan “Saya pernah menulis tentang dua jenis beragama ya, beragama ala kaum intelek dan beragama ala orang awam.” Ini adalah dua model beragama yang jika dilihat dari sudut pendekatannya sangat berbeda. Tapi yang jelas, sambung Gus Ulil, “kalau orang awam ya menghayati agama sebagai ajaran hidup yang dilakoni dalam kehidupan sehari-hari. Agama itu laku dalam sehari-hari dan dihayati sebagai cara untuk mendekatkan diri kepada Allah swt.”

Berbeda dengan para sarjana. Mereka mendekati agama dengan cara membahas agama itu bermacam-macam, dan teorinya pun demikian canggih. Ironisnya, kebanyakan dari metode para sarjana tidak meresap ke dalam hati. Iya tidak meresap. Namun, agama atau keberagamaan ala orang intelek tetap kita perlukan (tidak berarti tak penting bagi kita). Penting kita perlukan juga karena kalau tidak ada agama yang secara intelek, yang terjadi adalah agama tidak menarik bagi kaum terdidik itu.

Dalam hal ini, agama harus diterangkan juga secara intelek, mengingat sebagian orang ada yang butuh (pasti membutuhkannya). Maksudnya, ada kebutuhan untuk beragama secara intelek. Akan tetapi, kebanyakan orang itu adalah orang awam (namun kita tidak boleh menganggap remeh apalagi memandang rendah terhadap keberagamaan orang-orang awam).

Makanya, al-Ghazali dalam pasal ini (tentang keabsahan iman orang taklid) menulis semacam “pledoi” atau pembelaan terhadap iman orang-orang awam yang didasarkan kepada taklid. Karena bagaimana pun tidak semua orang bisa berpikir secara independen. Ada orang itu yang tidak punya cukup waktu untuk menelaah, memikirkan, dan merefleksikan. Hingga akhirnya mereka mengikuti jalan orang-orang yang dia percayainnya.

Ajaran Islam dan Iman di Tangan Nabi Untuk Orang Awam

Syahdan, Nabi Muhammad saw. ketika menjelaskan Islam dan iman kepada orang Arab (yang awam) pada zaman itu, sedikit pun beliau tidak pernah menjelaskan sifat-sifat Allah itu seperti penjelasannya orang mutakallimun (ahli teologi), apalagi seperti orang ahli ilmu kalam, karena ilmu kalam itu muncul jauh setelah Kanjeng Nabi wafat.

Pada zaman Nabi tidak ada ilmu kalam. Karena itu, sekiranya menjelaskan sifat-sifat Allah swt. maka dibuat sesederhana mungkin. Misalnya, Allah swt. itu Maha Kuasa, Maha Tahu. Tak seperti pertanyaan, sejatinya sifat Allah swt. itu bagaimana? Pemabahasan-pembahasan seperti ini justru datangan belakangan pasca Nabi wafat. Jelasnya, kata al-Ghazali Kanjeng Nabi tidak pernah mengatakan sesuatu seperti yang dikatakan para ahli kalam ketika menjelaskan sifat-sifat Allah swt.

Tak hanya itu, Nabi juga tidak pernah menerangkan sifat-sifat Allah swt. dengan ungkapan yang maknanya harus sama persis dengan ungkapan ahli kalam. Tidak. Artinya, ajaran-ajaran Islam pada masa Nabi diterangkan dengan sederhana saja. Ini bukan berarti perkembangan ilmu Islam tak dianggap penting. Hanya saja, al-Ghazali mau mengatakan bahwa, imannya orang-orang yang sederhana (yang tak mengikuti rumus-rumus ahli teologi) tidak boleh diremehkan dan direndahkan begitu saja.

Dalam banyak kasus, orang zaman dulu masuk Islam bukan karena yakin dengan argumen-argumen rasional. Tidak. Justru sebaliknya, mereka masuk Islam karena takut (berada dibawah todongan pedang dan kadang masuk Islam karena mengharap kebagian rezeki “ghanimah” dari orang Islam). Mereka beriman karena situasi saat itu genting. Meskipun ada juga dari mereka yang beriman lantaran terpukau dengan pengaruh contoh para ulama yang menarik perhatian khalayak umum.

Alasan Masuk Islam di Zaman Awal

Ringkasnya, ada yang masuk Islam karena dari hati (tunduk secara tulus) tetapi hanya sedikit. Karena umumnya kebanyakan zaman dulu orang masuk Islam hanya ikut-ikutan (golongannya masuk Islam). Pun juga, tidak karena belajar teologi secara mendalam baru masuk Islam. Nyaris hampir tidak ada. Karena teologi hanya menyentuh pikiran saja, tidak hati.

Tentang teologi. Istilah teologi tidak ada di dalam Islam, melainkan di pakai dalam konteks Kristen atau Katolik. Di dalam Islam, hanya ada ilmu kalam (omongan-omongan). Salah satu alasan disebut ilmu kalam, karena pembahasan penting ilmu ketuhanan dalam Islam adalah kalamullah (firman Allah swt).

Masih tentang orang yang masuk Islam. Gus Ulil menegaskan, kalaupun ada orang masuk Islam karena belajar ilmu teologi (mempelajari dan membaca keterangan para sarjana teologi), tetapi hal ini kata al-Ghazali bukan satu-satunya sebab yang utama, melainkan karena alasan-alasan emosional atau karena faktor politik. Bahkan, terkadang yang membuat orang masuk Islam karena ceramah mengharukan (mauidzah al-hasanah) yang menyentuh emosi. Ayat al-Qur’an sendiri sebenarnya banyak mengandung mauidzah al-hasanah, sementara ayat-ayat yang menjelaskan (berbau) teologi rasional amat jarang.

Sudah mafhum, setelah fathu Makkah seperti yang diceritakan surah An-Nasr:

اِذَاجَآءَ نَصْرُاللّٰهِ وَالْفَتْحُ وَرَاَيْتَ النَّاسَ يَدْخُلُوْنَ فِيْ دِيْنِ اللّٰهِ اَفْوَاجًا فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُ ۗ اِنَّهٗ كَانَ تَوَّابًا

Artinya: “Apabila telah datang pertolongan Allah swt. dan kemenangan, dan engkau melihat manusia berbondong-bondong masuk agama Allah, maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampunan kepada-Nya. Sungguh, Dia Maha Penerima Tobat.” (QS. An-Nasr [110]:1-3).

Saat itu, semua orang Arab “melek”. Dia berujar “agamanya Muhammad ini secara politik menang, jika saya tidak masuk Islam tentu tak akan kebagian ghanimah.” Dari sini jelas, bahwa momentum orang-orang masuk Islam karena pengaruh sosial politik, bukan karena kekuatan satu dalil.

Komentar al-Ghazali terhadap ilmu kalam

Ilmu kalam yang dikembang oleh para ahli kalam kemudian dirumuskan secara canggih seperti kaidah-kaidah orang ahli kalam, bukan membuat seseorang akan semakin dekat dengan agama, justru ilmu kalam yang seperti itu kata al-Ghazali akan memberikan kesan pada orang awam semakin takut-menakuti (mereka semakin jauh).

Alih-alih membuat hati lunak dan masuk Islam, yang jelas di dalam ilmu kalam ada keterampilan jidal (debat-mendebat). Kita tahu, asal muasal ilmu kalam ditulis karena untuk melindungi dan memproteksi aqidah orang awam dari serangan (pandangan) yang membuat orang bisa ragu terhadap aqidahnya sendiri. Maka watak ilmu kalam adalah “polemik”.

Itu artinya, sekiranya ilmu kalam dipakai diluar proporsinya, secara otomatis akan menimbulkan “eksklusivisme” atau milik kelas-kelas tertentu. Karena itu, statemen yang tertanam di kalangan mereka adalah “siapapun yang tidak mengerti ilmu ini misalnya, maka dilarang untuk berbicara agama”.

Bukan karena benar, akan tetapi biar kelihatan keren sehingga orang-orang awam tidak mampu menguasainya. Tak terkecuali, kadang-kadang ilmu kalam ini juga akan menimbulkan sikap menolak terhadap kebenaran yang disampaikan orang lain. Tak segan, ia akan merasa hina jika menerima kebenaran dari orang lain. Inilah salah satu bagian dari penyakit ilmu itu.

Seperti dalam tradisi Buddhisme Zen (salah satu aliran Buddha Mahayana), ada ajaran “jika ada cangkir yang berisi air penuh kemudian di tambahkan air lagi, maka otomatis akan memenuh dan tumpah”. Artinya, “seseorang yang merasa dirinya penuh dengan ilmu, justru ketika diberikan kucuran ilmu oleh orang lain, maka akan tumpah ilmunya”. Dia tidak bisa menerima hal itu karena sudah di penuhi dengan persepsi-persepsi yang sudah terbentuk lama dalam fikirannya.

Seharusnya kata Gus Ulil, kita bersikap layaknya seperti orang bodoh untuk menerima kebenaran dari orang lain. Yang jelas bodoh itu tidak boleh (harus belajar), akan tetapi setelah belajar (pintar) kita tidak boleh merasa pintar dan merasa paling benar sendiri.

Terakhir

Terakhir, Gus Ulil juga mengatakan, dengan menangnya seseorang dalam berdebat, (jarang sekali) tak akan pernah mempengaruhi lawannya untuk berpindah mazhab (misalnya berpindah dari mazhab Syafi’i ke mazhab Abu Hanifah). Sekali lagi, seseorang akan ikut kepada kita karena ada kucuran atau pengaruh emosional, bukan dengan dalil-dalil atau alasan-alasan rasional.

Pertanyaannya adalah apakah dalil-dalil dan argumen yang rasional itu tidak penting?. Jawabannya sangat penting sekali. Namun, tidak segalanya harus dengan menggunakan dalil-dalil dan argumen rasional, karena tindakan-tindakan manusia sangat kompleks (akal berkerja setelah pilihan emosional itu memutuskan). Wallahu a’lam bisshawab.

ShareTweetSendShare
Previous Post

Gus Ulil: Metodologi Kalam Al-Ghazali

Next Post

Liberalisasi Islam

Salman Akif Faylasuf

Salman Akif Faylasuf

Kontributor tetap di E-Harian Aula digital daily News Jatim. Penulis juga alumni PP Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo dan PP Nurul Jadid Paiton Probolinggo.

Baca Juga

Ekologi Sebagai Dimensi Spiritual
Syariah

Ekologi Sebagai Dimensi Spiritual

18 June 2025
Ghuluw sebagai Pintu Ekstremisme dan Radikalisme
Hikmah

Ghuluw sebagai Pintu Ekstremisme dan Radikalisme

16 June 2025
Bolehkah Wanita I’tikaf di Rumah?
Keislaman

Bolehkah Wanita I’tikaf di Rumah?

16 June 2025
Kitab ‘Uyūb al-Nafsi: Penyakit Hati Ketiga Terkungkung Zona Futur
Keislaman

Benarkah Salat Mencegah Kemungkaran?

11 May 2025
Humanitarian Islam (1): Argumen Normatif Islam Sebagai Agama Kemanusiaan
Keislaman

Humanitarian Islam (1): Argumen Normatif Islam Sebagai Agama Kemanusiaan

30 April 2025
Gus Ulil Ngaji Al-Iqtishad Fi Al-I’tiqad: Tentang Iman dan Pengetahuan
Akidah

Gus Ulil Teologi Asy’ariyah (5): Klaim Tentang Tindakan Tuhan

22 April 2025
Kitab ‘Uyūb al-Nafsi: Aib Pertama Ilusi Keselamatan   
Keislaman

Kitab ‘Uyūb al-Nafsi: Penyakit Hati Keempat  Hilangnya Kenikmatan Ibadah

21 April 2025
Kritik Nalar Fikih Pertambangan Gus Ulil
Akidah

Gus Ulil Teologi Asy’ariyah (4): Klaim Tentang Tindakan Tuhan

21 April 2025
Next Post
Apakah Fikih Kompatibel dengan Pluralitas Kebudayaan?

Liberalisasi Islam

Leave a Reply Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

  • Trending
  • Comments
  • Latest
Kritik Nalar Fikih Pertambangan Gus Ulil

Kritik Nalar Fikih Pertambangan Gus Ulil

2 July 2024
Wajah Pesimis Fikih Melihat Pengelolaan Tambang oleh PBNU

Wajah Pesimis Fikih Melihat Pengelolaan Tambang oleh PBNU

10 July 2024
Sunat Perempuan Itu Tidak Melukai, Kata Kiai MUI!

Sunat Perempuan Itu Tidak Melukai, Kata Kiai MUI!

11 August 2024
Kritik Terhadap Kitab Fathul Izar

Kritik Terhadap Kitab Fathul Izar

20 December 2024
Allah Maha Penyayang, Mengapa Banyak yang Malang?

Allah Maha Penyayang, Mengapa Banyak yang Malang?

0
Problem Sakralisasi Kepemimpinan

Problem Sakralisasi Kepemimpinan

0
Telat Qadla’ Puasa Ramadan Harus Bagaimana?

Telat Qadla’ Puasa Ramadan Harus Bagaimana?

0
Private: Filsafat di Era Digital: Meretas Jalan Menuju Pemahaman yang Lebih Dalam

Dari Demokrasi Hingga Mengenal Diri Sendiri

0
Ekologi Sebagai Dimensi Spiritual

Ekologi Sebagai Dimensi Spiritual

18 June 2025
Ghuluw sebagai Pintu Ekstremisme dan Radikalisme

Ghuluw sebagai Pintu Ekstremisme dan Radikalisme

16 June 2025
Bolehkah Wanita I’tikaf di Rumah?

Bolehkah Wanita I’tikaf di Rumah?

16 June 2025
Menakar Relevansi Kurikulum Pesantren Dengan Tantangan Globalisasi Dan Pluralisme

Menakar Relevansi Kurikulum Pesantren Dengan Tantangan Globalisasi Dan Pluralisme

16 June 2025
ADVERTISEMENT

Populer Sepekan

  • Prinsip Islam dalam Konservasi Lingkungan dan Pembangunan Berkelanjutan

    Prinsip Islam dalam Konservasi Lingkungan dan Pembangunan Berkelanjutan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Menilik Teladan Rasulullah Dalam Menebar Kasih Sayang

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kitab ‘Uyūb al-Nafsi: Penyakit Hati Kedua Salah Menaruh Harapan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ijtihad dan Istinbath al-Ahkam

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kritik Terhadap Kitab Fathul Izar

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
Currently Playing
Alamat Redaksi:

Perumahan D’Harmony View, Jl. Tapaksiring, Plinggan, Antirogo, Sumbersari, Jember, Jawa Timur, 68125.

Punya pertanyaan yang membutuhkan jawaban dalam perspektif keislaman atau ingin memberikan kritik dan saran? Silakan klik tombol di bawah ini 

KONSULTASI KEISLAMAN

© 2024. All Rights Reserved.

  • Tentang Kami
  • Disclaimer
  • Pedoman Media Siber
  • Kontak Kami
  • Redaksi
  • Kirim Tulisan
No Result
View All Result
  • Keislaman
    • Akidah
    • Hikmah
    • Syariah
    • Khutbah
  • Kemanusiaan
    • Filsafat
    • Sosial Budaya
    • Sains
    • Humor dan Sastra
    • Unek Unik
  • Unduh Ilmu

© 2025 JNews - Premium WordPress news & magazine theme by Jegtheme.