Wazanmedia.com – Kajian kali ini sudah pertemuan kelima yang akan mengulas tentang konsep nilai dalam konteks Hukum Islam, berikut penilaiannya pada realitas baru.
Teks
وَالْحُسْنُ وَالْقُبْحُ بِمَعْنَى مُلَائَمَةِ الطَّبْعِ وَمُنَافَرَتِهِ وَصِفَةِ الْكَمَالِ وَالنَّقْصِ عَقْلِيٌّ وَبِمَعْنَى تَرَتُّبِ الذَّمِّ عَاجِلًا وَالْعِقَابِ آجِلاً شَرْعِيٌّ خِلَافاً لِلْمُعْتَزِلَةِ وَشُكْرُ الْمُنْعِمِ وَاجِبٌ بِالشَّرْعِ لَا الْعَقْلِ
Terjemah
Baik dan buruk, dalam arti sesuai atau tidak dengan selera, dan dalam arti sifat kesempurnaan dan kekurangan dapat dinilai dengan akal. Sedangkan dalam arti tercela (dan terpuji) kini (di dunia) dan beroleh siksa (dan berpahala) nanti (di akhirat) dapat dinilai dengan syariat. Pandangan ini berkebalikan dengan pandangan Muktazilah. Bersyukur kepada Sang Pemberi Nikmat hukumnya diwajibkan syariat, bukan akal.
Keywords
Filsafat nilai, etika, baik, buruk, Asy’ariyyah, Muktazilah
Anotasi
Baik dan buruk adalah nilai bagi sesuatu. Pertanyaannya, bagaimana atau dengan apa manusia menilai sesuatu itu baik atau buruk? Berpagi-pagi yang perlu disoal sebelum menjawab pertanyaan tersebut adalah, apa itu ‘baik’ dan ‘buruk’? As-Subky menjelaskan 3 macam maknanya:
- Baik artinya sesuai selera, sedangkan buruk sebaliknya.
- Baik artinya kualitas sempurna, sedangkan buruk sebaliknya.
- Baik artinya terpuji di dunia dan berbalas pahala di akhirat, sedangkan buruk artinya tercela di dunia dan berbalas siksa di akhirat.
Baik dan buruk dalam makna pertama dan kedua dapat diketahui oleh akal. Bahwa orang-orang suka yang manis dan benci yang pahit, itu dapat diketahui oleh akal. Pun pintar adalah kesempurnaan dan bodoh adalah kekurangan, juga dapat dinilai oleh akal. Untuk menilai baik dan buruk dalam dua makna di atas, tidak perlu menunggu wahyu ilahi. Tidak ada yang beda pendapat mengenai hal ini.
Teori Perintah Ilahi
Sementara itu, baik dan buruk dalam makna yang ketiga, para ulama Islam terbelah dalam dua kubu. Asy’ariah menganut paham voluntarisme (dari kata voluntas: kehendak Tuhan) atau teori perintah ilahi. Menurut paham ini, sesuatu itu baik atau buruk karena ia diperintah atau dilarang oleh wahyu ilahi. Penilaian bahwa bersedekah itu baik (terpuji di dunia dan berpahala di akhirat) dan membunuh itu buruk (tercela di dunia dan terkutuk di akhirat) hanya bisa diperoleh jika terdapat wahyu yang memerintah dan melarangnya. Bersyukur kepada Allah Sang Pemberi Nikmat (شكر المنعم) dan mengangkat pemimpin (نصب الإمام) itu baik bahkan wajib, dan (nilai) kewajiban tersebut berasal dari syariat.
Menurut paham ini, sesuatu tidak memiliki nilai baik atau buruk tanpa adanya penilaian dari wahyu (syariat). Berdasar nalar yang berlaku dalam paham ini, mencuri tidak dapat dinilai buruk jika tidak ada larangan dari syariat. Pernikahan di bawah umur atau nikah sirri (tidak dicatatkan dalam dokumen negara) juga tidak dapat dinilai buruk karena tidak ada larangan dari syariat. Perbubadakan bisa dinilai baik jika ada wahyu yang melegitimasinya. Intinya, harus ada legitimasi wahyu untuk menilai baik dan buruk (hukum) bagi sesuatu.
Teori Kebenaran Objektiv
Sedangkan Muktazilah menganut paham objektivisme atau intelektualisme. Disebut objektivisme karena bagi kelompok ini, sesuatu (objek) memiliki nilai baik dan buruk dalam dirinya sendiri. Dilabeli intelektualisme karena nilai baik dan buruk itu dapat diketahui oleh potensi akal (intelek). Muktazilah menganggap bahwa suatu perbuatan memiliki dampak maslahat dan mafsadat sehingga dalam dirinya terdapat nilai baik dan buruk menurut Allah yang dapat diketahui oleh akal.
Sebagai tamsil, hubungan seks sedarah berdampak mafsadat sehingga nilainya—menurut akal—pasti buruk di mata Allah. Penilaian tersebut tak perlu lebih dulu menunggu wahyu-Nya. Kalaupun ada wahyu yang melarangnya, itu sebatas penguat penilaian akal semata. Mengangkat pemimpin berdampak maslahat sehingga nilainya—menurut akal—pasti baik di mata Allah. Kalaupun ada wahyu yang memerintahkannya, itu sebatas penguat penilaian akal semata.
Ringkasnya sebagai berikut: Menurut nalar Asy’ariyah, hubungan seks sedarah itu buruk karena dilarang wahyu, sementara menurut Muktazilah, ia dilarang oleh wahyu karena buruk.
***
Penilaian dari Teori Perintah dan Kebenaran Objektiv
Dua pandangan bertentangan di atas melahirkan perbedaan sikap umat Islam dalam menyikapi sesuatu (baik berupa pandangan hidup atau perbuatan) yang dinilai berasal dari luar tradisi umat muslim. Dengan memandang bahwa wahyulah parameter baik dan buruk, maka, menurut nalar Asy’ariyyah, semua hal di dunia ini harus diukur berdasarkan wahyu. Apakah demokrasi itu baik atau buruk menurut syariat? Lihat saja apa kata wahyu tentangnya. Apakah Pancasila itu baik atau buruk? Dicarilah dalil-dalil wahyu yang sesuai dengan sila-silanya. Bagaimana pandangan Islam tentang Hukum Internasional Hak Asasi Manusia? Lihat dulu kesesuaian pasal-pasalnya dengan teks-teks hukum Islam.
Sikap Konservatif
Dengan sikap semacam ini, tidak heran jika ada beberapa umat muslim yang menolak ide-ide yang dinilai berasal dari luar tradisinya. Seperti ide demokrasi dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia yang berkembang di Barat. Keduanya ditolak karena tidak sesuai dengan wahyu (teks-teks syariat) menurut yang mereka pahami. Bukan karena mengandung ‘keburukan’ yang dapat dijelaskan secara rasional dalam dirinya sendiri. Sikap ini dapat menjurus pada perbuatan kekerasan simbolik menggunakan agama di ruang publik. Contoh kongkritnya, melarang umat agama lain di ruang publik menjadi pemimpin suatu daerah berdasar ayat tertentu, bukan karena kualitas atau kecakapannya dalam memimpin.
Sikap Apologis
Lebih lunak dari sikap tersebut adalah sikap apologi. Sebagian umat muslim mengamini bahwa dunia Barat telah menghasilkan ide brilian untuk kebaikan umat manusia, tetapi ide tersebut sudah ada dalam tradisi Islam jauh sebelum Barat menemukannya. Semua kebaikan telah dijelaskan dan dibangun oleh tradisi Islam. Sebagai contoh, apakah demokrasi itu baik? Ya, tetapi jauh sebelumnya Islam sudah membicarakan dan membangun konsep syura. Apakah ide hak asasi manusia itu baik? Ya, dan Islam sudah menggagasnya 14 abad silam. Sikap semacam ini menyimpan ketidakjujuran dan menunjukkan hilangnya kerendahhatian untuk mengakui bahwa kebaikan juga bisa berasal dari luar tradisi umat muslim; Bahwa hikmah bisa datang dari mana saja.
Sikap Instrumentalis
Selain sikap tersebut, ada juga sikap instrumentalis. Ada sebagian umat muslim tidak menolak nilai-nilai atau aturan yang tidak berasal dari tradisi Islam selama masih berfungsi. Kalau dirasa nyaman menggunakan hukum positif negara, maka ia digunakan. Kalau tidak, cari hukum agama yang menghalalkan. Mereka akan mematuhi peraturan lalu lintas yang tertuang dalam hukum positif demi keselamatan nyawa mereka, tetapi menghalalkan nikah sirri yang dilarang hukum positif karena tidak dilarang dalam teks agama. Intinya, ada dua jalan legitimasi, agama dan nonagama. Mana yang fungsional, itulah yang dipakai.
Dalam konteks saat ini, ketiga sikap di atas akan membuat umat muslim kesulitan untuk berpartisipasi dalam membangun etika dan moral universal bersama umat-umat lainnya. Selain itu, akan mengkhawatirkan bagi pluralitas kemanusiaan, jika demi membangun moral masyarakat yang sesuai hanya dengan teks-teks Islam (terlebih dengan penafsiran sempit). Umat muslim merasa harus membangun sebuah imperium atau negara baru untuk menggantikan dasar kebangsaan masyarakat yang telah disepakati bersama sebelumnya.