Wazanmedia.com – Apa yang akan Anda lakukan jika memiliki cincin yang membuat Anda tak terlihat? Mungkin fantasi liar tiba-tiba datang dalam pikiran Anda: mencuri, membunuh, memerkosa, genosida, mencelakai, dan hal-hal jahat lainnya. Tetapi, apakah Anda benar-benar akan melakukannya jika cincin tersebut benar-benar Anda miliki?
Mungkin tidak. Kebanyakan orang memiliki hati nurani yang mencegah mereka untuk melakukan kejahatan walaupun tidak ada orang yang melihat. Kalaupun mereka melakukan kejahatan itu, suara hati nurani akan menghantui mereka setelahnya. Rasa gelisah dan susah tidur akan dialami berhari-hari. Tanyakan saja kepada koruptor. Jika mereka waras, tentu mereka juga tidak ingin anak-anaknya terlibat kasus korupsi.
Hati Nurani Insan
Manusia memiliki hati nurani atau perasaan moral yang tertanam dalam diri mereka. Perasaan moral tersebut membuat orang merasa memiliki kewajiban untuk menjadi baik (melakukan perbuatan baik) dan menjauhi perbuatan buruk. Memang, dalam detil-detil perbuatan, manusia mungkin berdebat apakah itu baik atau buruk. Misal, apakah membawa pulang sandal atau handuk hotel itu baik?
Pertanyaan ini sesungguhnya mengandaikan jawaban mufakat tentang adanya nilai moral, yaitu baik dan buruk. Pihak yang berdebat pun bersepakat bahwa kebaikan harus dilakukan dan keburukan harus ditinggalkan.
Immanuel Kant (1724-1804), tokoh utama argumen ini berpandangan bahwa perintah hati nurani bersifat absolut (imperatif kategoris). Artinya, perbuatan baik dilakukan dan perbuatan jahat dijauhi karena itu merupakan perintah hati nurani, bukan perintah agama dan bukan pula karena akibat-akibat yang ditimbulkan oleh perbuatan tersebut.

Perasaan “memiliki kewajiban melakukan perbuatan baik dan menjauhi perbuatan buruk” itu tidak diperoleh dari pengalaman di dunia ini, melainkan ia dibawa/tertanam dalam diri manusia sejak lahir.
Sebagian orang mungkin berpendapat bahwa moralitas tersebut adalah insting sekawanan spesies manusia dalam perjalanan evolusi untuk bertahan hidup, sebagaimana hewan. Ketika orang tua baik, anak-anak mereka tumbuh dan bereproduksi mewariskan gen keluarga. Ketika tetangga di lingkungan sekitar bersikap baik, maka seseorang akan bersikap baik. Dalam pengertian ini, moralitas adalah adaptasi alami yang telah memberi spesies manusia banyak keuntungan.
Tetapi, lihatlah, spesies manusia tidak seluruhnya setuju (bahkan mengutuk) dengan kejahatan perang (genosida) yang dilakukan oleh Nazi. Moralitas bukanlah insting kawanan (herd instinct) karena ia acap digunakan untuk menilai ‘insting kawanan’ lainnya.
Kebebasan Manusia
***
Manusia memiliki kemerdekaan untuk mengikuti perintah hati nurani atau mengabaikannya. Tiap saat ia bisa memilih antara tunduk pada perintah hati nurani atau mengikuti keinginan yang melawannya. Tiap saat, para pejabat mungkin akan memilih mematuhi larangan korupsi atau menyerah pada kemauan untuk melakukannya.
Mematuhi perintah hati sanubari akan membawa orang kepada summum bonum, yaitu kesenangan tertinggi yang terdiri dari kebajikan dan kesenangan. Inilah tujuan yang diharapkan dari perbuatan baik.
Masalahnya, summum bonum itu tidak mungkin tercapai di dunia ini. Berdasarkan pengalaman, manusia dapat mengamati bahwa perbuatan-perbuatan baik tidak selamanya membawa kebahagiaan. Sebaliknya, perbuatan buruk kerap kali tidak mendapat ganjaran yang sewajarnya. Mereka yang berlaku jujur ternyata tidak selalu mujur. Sementara mereka yang kerap berdusta, hidupnya malah sejahtera. Karenanya, tujuan dari perbuatan baik yang diperintahkan hati nurani tidaklah terwujud di dunia ini.
Oleh karena balasan perbuatan baik dan buruk ini tidak terwujud secara setimpal di dunia, maka pastilah ada kehidupan lain setelah kehidupan saat ini. di kehidupan yang kekal ini, perbuatan akan diganjar dengan setimpal. Sementara itu, pembalasan yang setimpal tersebut tidak terjadi begitu saja, atau dilakukan oleh manusia. Sebab, dalam dunia fana sebelumnya, manusia terbukti tidak mampu mewujudkan balasan yang setimpal atas perbuatan baik dan buruk.
Pembalasan tersebut pastilah berasal dari kekuatan super natural yang keadilannya tidak terbantahkan. Kekuatan itu disebut dengan ‘Tuhan’. Kekuatan itulah yang menciptakan/menanamkan nilai baik dan buruk dalam diri manusia sehingga manusia merasa berkewajiban untuk melakukan yang baik dan menjauhi yang buruk.