Wazanmedia.com – SELEPAS menusuk mataku dengan sorot lampu yang baru saja dinyalakan, Sofyan bergegas meninggalkan ruang tengah kediaman Bung Hendra, senior BEM yang semalam mengadakan syukuran pasca dinobatkan sebagai penulis terbaik dalam Event Artikel Tingkat Nasional.
“Kenapa, Yan?” kataku, penasaran.
Lelaki muda itu kemudian menoleh tanpa suara, hanya memperlihatkan raut muka nan merana sembari mendekap erat perutnya. Barangkali ia hendak berkata, “Hidangannya terlalu menggoda, dan kini aku pun tak mampu lagi menampungnya.”
Saat Sofyan berlalu, tak sengaja kutatap wanita muda nan ayu. Langkahnya gemulai, berjalan menuju koridor. “Maya,” batinku. Sosok yang mewarisi pesona Ratu Balqis dalam benakku itu, tiba-tiba menoleh sembari melepas senyum ketika mata kita beradu. Agaknya wanita muda itu juga menikmatinya atau bahkan telah mendamba, momen di mana kita terjebak dalam tatapan nan cukup lama.
Aku terkesiap oleh suara alarm yang tiba-tiba berbunyi. Tampak pukul tiga lewat empat puluh pada layar android dalam genggamanku. “Hampir subuh,” batinku. Kembali kutatap Maya, ia mengedipkan mata sebelum kemudian lenyap di ujung koridor.
Ketika…
Ketika hendak menyambung lelap, aku tergemap dan menoleh saat seseorang berkata, “Sudah bangun rupanya. Kebetulan sekali, bapak hendak mengajak Nak Fahmi salat jamaah.” Seketika benakku terus saja berputar, “Melalui jalan mana lagi harus kubuktikan padanya, jika subuh kali ini kulewatkan tanpa salat berjamaah. Andai dapat direalisasikan, tentu di mata Maya dan keluarganya akan tercipta kesan yang mendalam.”
Aku menatap sebentar dan berkata dengan pasti, “Siap, Pak.” Kemudian sekonyong-konyong beranjak tanpa meminta diri.
“Mau ke mana, Nak Fahmi?”
“Berwudu, Pak.”
“Kita wudu di masjid saja.”
“Mohon maaf, Pak! Bukan maksud mengajari. Saat di pesantren, Fahmi pernah mendengar ustaz menjelaskan hadis yang diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah Saw. bersabda:
مَنْ تَطَهَّرَ فِي بَيْتِهِ ثُمَّ مَشَى إِلَى بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللَّهِ لِيَقْضِيَ فَرِيضَةً مِنْ فَرَائِضِ اللَّهِ كَانَتْ خَطْوَتَاهُ إِحْدَاهُمَا تَحُطُّ خَطِيئَةً وَالْأُخْرَى تَرْفَعُ دَرَجَةً
Barang siapa bersuci di rumahnya, kemudian menuju ke salah satu rumah Allah (masjid) untuk melaksanakan kewajiban yang Allah tetapkan, maka salah satu dari kedua langkahnya dapat menghapus kesalahan dan satunya lagi mampu mengangkat derajat.” (H.R. Muslim no. 666).[1]
“Luar biasa! Jarang sekali kutemui anak muda yang memahami ilmu agama secara mendalam seperti Nak Fahmi,” kata Pak Hasan sembari mengatur napas perlahan. “Kalau begitu, bapak juga mau wudu dulu.”
Setiba…
Setiba di masjid, kami segera melebur dan berusaha menuju saf terdepan. Aku sangat yakin kalau Pak Hasan melakukannya lantaran ingin mendapat keutamaan saf pertama. Sedangkan aku, tentu saja hendak menuai kesan baik dari lelaki yang kuharap kelak jadi mertua.
Selepas wiridan salat subuh, salah seorang jamaah berdiri. Kuduga ia Ustaz Lukman, sosok alim yang hendak mengisi pengajian. Namun dugaanku salah, lelaki paruh baya itu tak lain adalah salah satu pengurus masjid dan penanggung jawab pengajian.
“Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Perlu kami sampaikan pada seluruh jamaah pengajian. Beberapa saat yang lalu, kami mendapati kabar kalau Ustaz Lukman tiba-tiba berhalangan. Oleh karenanya, pengajian akan diliburkan. Insya Allah besok pagi beliau akan kembali mengisi seperti biasa.”
Seketika keadaan menjadi riuh dan gaduh. Kudapati jamaah saling menoleh dan bertanya apa penyebabnya. Ada pula yang tak peduli dan merapikan sajadahnya kemudian beranjak pergi. Tiba-tiba seseorang berdiri dan berkata, “Mengapa harus diliburkan, Pak Usman. Bolehlah kita cari pengganti, barangkali ada salah seorang di antara jamaah yang mampu menyampaikan sepatah dua patah kalam hikmah sebagai oleh-oleh kita pulang ke rumah.”
“Alangkah bagusnya jika memang demikian, Pak Haji,” kata Pak Usman sembari mengatur napas perlahan. “Monggo, barangkali ada di antara sahabat-sahabat sekalian yang berkenan menggantikan?”
“Mohon maaf,” kata Pak Hasan, waswas. “Kiranya saudara sekalian mengizinkan, kami hendak merekomendasikan ananda Fahmi. Kebetulan ia alumni muda dari salah satu pesantren tua di Pulau Jawa. Insya Allah Nak Fahmi mampu dan bersedia.”
Aku…
Aku tergeragap mendapati kata-kata yang baru saja terucap. Walau sempat curiga, aku tak menyangka namaku benar-benar disebutnya. Tentu saja hal itu tak kuanggap sebagai rekomendasi, lebih tepatnya semacam tuntutan yang harus kupenuhi. Terlebih sebagai alumni dari pesantren terkemuka, aku malu jika tak mampu menjalankan amanah.
Sementara aku mematung dan merapal beberapa doa, kembali keadaan menjadi riuh dan gaduh. Sesaat tampak setiap sepasang mata menatap padaku, tajam tapi hangat.
Setelah menerima kitab dari Pak Lukman, aku segera bergegas menuju tempat yang sudah disediakan. Sesaat tertegun ketika mendapati kitab yang kubawa, Tafsir Jalalain. Namun aku meyakini, dengan barakah guru dan masyayikh insya Allah segalanya mampu kulewati. “Bismillah,” kemudian kuraih mikrofon dan melantunkan salam serta kalam pembuka seperti yang biasa kudengar dari masyayikh saat di pesantren. Ketika secara acak kubuka kitab karya Jalaluddin Al-Mahalli dan Jalaluddin As-Suyuthi, tiba-tiba hatiku menjadi ragu. Entah ini teguran atau penghakiman, aku pun tak benar-benar paham.
Hening…
Hening sejenak, sebelum kemudian kubaca tafsir Q.S. An-Nisa [4]: 142.
{إنَّ الْمُنَافِقِينَ يُخَادِعُونَ اللَّه} بِإِظْهَارِ خِلَاف مَا أَبْطَنُوهُ مِنْ الْكُفْر لِيَدْفَعُوا عَنْهُمْ أَحْكَامه الدُّنْيَوِيَّة {وَهُوَ خَادِعهمْ} مُجَازِيهمْ عَلَى خِدَاعهمْ فَيُفْتَضَحُونَ فِي الدُّنْيَا بِإِطْلَاعِ اللَّه نَبِيّه عَلَى مَا أَبْطَنُوهُ وَيُعَاقَبُونَ فِي الْآخِرَة {وَإِذَا قَامُوا إلَى الصَّلَاة} مَعَ الْمُؤْمِنِينَ {قَامُوا كُسَالَى} مُتَثَاقِلِينَ {يُرَاءُونَ النَّاس} بِصَلَاتِهِمْ {وَلَا يَذْكُرُونَ اللَّه} يُصَلُّونَ {إلَّا قَلِيلًا} رياء
(Sesungguhnya orang-orang munafik itu sedang menipu Allah) dengan cara menampakkan perihal yang berlawanan dengan kekafiran yang mereka sembunyikan dengan maksud untuk menghindari hukum-hukum dunia yang akan menimpa mereka, (justru Allah yang sedang menipu mereka) maksudnya membalas tipuan mereka. Allah bongkar rahasia mereka di dunia dengan memberitahu nabi terhadap apa yang mereka sembunyikan. Dan di akhirat kelak mereka akan menerima siksa. (Dan apabila mereka berdiri untuk mengerjakan salat) bersama orang-orang mukmin (sejatinya mereka lakukan dengan malas) dalam arti merasa berat. (Mereka bermaksud riya di hadapan manusia) dengan salat itu (dan mereka tidak mengingat Allah) dalam arti tidak melakukan salat (kecuali sedikit sekali) disebabkan riya tadi.[2]
Agaknya hadirin merasa puas dengan yang kusuguhkan. Bahkan salah seorang memintaku kembali mengisi pengajian. Aku terdiam dan tak berani mengiyakan lantaran segalanya tak seperti yang terkira. Aku malu pada mereka yang terkesima. Andai mereka tahu kalau subuh tadi merupakan kali pertamaku berjamaah sepulang dari pesantren, tentu saja akan kecewa atau bahkan tak sungkan untuk menghina.
Seberat inikah derita yang harus kuterima. Mengapa aku bisa terlena. Hanya karena ingin dapat pujian dari keluarga Maya, membuatku menghalalkan segalanya. Dan kini, aku pun tersudut dalam dilema.
[1] Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburi, 2020, Sahih Muslim, (Lebanon: Da>r al-Kutub al-Ilmiyah), hal. 242.
[2] Jalaluddin Al-Mahalli dan Jalaluddin As-Suyuthi, Tafsir Jalalain, (Surabaya: Maktabah Imaratullah), hal. 90.