Wazanmedia.com – DALAM acara Haflah Ikhtitam Dirasah wa Muhadlarah ‘Ammah tahun 2024 yang diselenggarakan oleh Ma’had Aly Pondok Pesantren Salafiyah Syafiiyah Sukorejo Situbondo. KH. Afifuddin Muhajir, Wakil Rais ‘Amm Pengurus Besar Nahdlatul Ulama memberikan Berbagai Singkat kepada para hadirin tentang ahli fikih yang diidamkan.
Dalam berbagai hal tersebut, beliau menjelaskan tujuan didirikannya Ma’had Aly Situbondo, sebuah perguruan tinggi khas pesantren yang diinisiasi oleh KHR. As’ad Syamsul Arifin, dalam mencetak kader ahli fikih.
“Di awal Ma’had Aly Salafiah Syafiiyah Sukorejo Situbondo berdiri. Dengan fikih dan usul fikih sebagai konsentrasinya, banyak dosen di sini mengatakan bahwa lembaga ini tidak mengidealkan lahirnya fakih-fakih konsumtif. Artinya, ahli yang begitu ditanya tentang satu masalah, secara spontan bisa menjawab. Karena dia mungkin hafal kitab-kitab seperti Fathul Qarib, Fathul Muin, Fathul Wahab dan lain-lain.”
2 Macam Orang Yang Ahli Fiqih
Dalam pernyataan tersebut, Kiai Afif—sapaan akrab beliau—menyebutkan sebuah macam orang yang mahir fikih, yaitu ahli fikih konsumtif. Orang mahir fikih konsumtif, menurutnya, adalah seseorang yang menghafal kitab-kitab fiqh dan pendapat-pendapat ulama yang tertua di dalamnya.
Dan dengan modal hafalan tersebut, ia bisa dengan cepat menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh masyarakat.Hemat tokoh berdarah Madura itu, ahli fikih semacam ini bukanlah ahli hukum Islam yang ideal, bukan ahli fikih yang dicita-citakan oleh lembaga kader ahli fikih Ma’had Aly Situbondo.
Kiai yang juga menjabat sebagai Naib Mudir Ma’had Ay Situbondo tersebut mengungkapkan, bahwa yang diidealkan oleh pendiri dan masyayikh Ma’had Aly Situbondo adalah orang-orang yang faham fikih secara produktif.“Yaitu ahli fikih yang ketika ditanya tentang suatu masalah, ia berkata, ‘Tunggu dulu. Tolong beri saya waktu untuk berpikir.’”
Ahli Hukum Islam yang Ideal
Orang mahir fikih yang ideal bukanlah yang selalu bisa menjawab persoalan secara spontan berdasarkan hafalan. Akan tetapi, orang yang memberi jawaban setelah melakukan perenungan mendalam. Untuk melakukan hal tersebut, tentu memerlukan waktu dan kesempatan untuk berpikir.
Kiai Afif melanjutkan, “Hal semacam ini (tidak menjawab persoalan secara spontan) bukanlah aib bagi seorang ilmuwan. Karena Imam Malik juga pernah seperti itu. Tercatat dalam sejarah bahwa suatu saat, ada rombongan dari Maroko datang ke Madinah untuk mengunjungi Imam Malik dengan membawa beberapa masalah, sekitar 40 yang tak terpecahkan di Maroko. Ketika itu ditanyakan kepada sang Imam, ternyata hanya empat saja yang terjawab, sedangkan yang 36 orang terdekatnya, beliau mengatakan ‘Saya tak tahu.’”
Dengan mengatakan ‘saya tidak tahu’, Imam Malik sesungguhnya meminta waktu dan kesempatan untuk memikirkan penjelasannya terlebih dahulu. Beliau memang tidak bisa memberikan jawaban secara spontan, tetapi dengan waktu yang cukup, jawaban yang diperoleh akan memuaskan.
Di bagian akhir, Kiai Afif berpesan pada para peserta wisuda yang hadir dalam acara tersebut untuk tidak berhenti belajar, karena mereka masih belum benar-benar menjadi ahli fikih.Tetapi baru menjadi ‘orang yang berpotensi’. Sebab, untuk menjadi ahli dalam hukum Islam yang sesungguhnya, dibutuhkan waktu yang cukup lama. Butuh waktu bertahun-tahun untuk mendalami berbagai ilmu yang dibutuhkan agar menjadi ahli fikih yang diidamkan.
Cek pidato selengkapnya di sini: AHLI FIKIH BUTUH WAKTU • KH. AFIFUDDIN MUHAJIR – YouTube