Wazanmedia.com – AL-QURAN merupakan kitab suci umat Islam yang mengandung petunjuk, hikmah, dan pedoman bagi seluruh manusia. Ia tidak hanya sekedar kata-kata yang disusun secara acak, melainkan lafal-lafal yang kaya akan makna dan interpretasi.
Di samping itu, adanya asbabun nuzul dari turunnya sebuah ayat menjadikan kitab furqan terus dapat dihubungkan dengan realitas yang terjadi. Dari sinilah alasan mengapa Al-Quran harus dijadikan pedoman tanpa limit waktu tertentu. Ini karena, dari setiap masa dan masalah yang baru muncul, kitab suci akan dapat menyesuaikan dan mampu untuk mengatasinya.
Al-Quran juga diturunkan dalam bahasa arab dengan gaya bahasa yang luar biasa indah, penuh dengan metafora, simbolisme, dan ritme yang kuat. Struktur bahasanya memberikan kedalaman makna yang dapat diinterpretasikan dalam berbagai cara dan kondisi. Karena itulah ia menjadi multi tafsir. Akan tetapi, dibalik kekayaan maknanya, terdapat beberapa implikasi yang penting untuk diketahui.
Meniscayakan Kekalnya Kitab Suci
Dalam Al-Quran terdapat banyak lapisan pemahaman yang dapat diambil dari setiap ayatnya. Tergantung pada cara penafsiran yang dipakai, konteks historis, linguistik, serta spiritualitas yang dimiliki para mufassir.
Inilah mengapa Allah mengatakan dalam Surah Al-Baqarah [2]:2 yang berbunyi:
ذٰلِكَ الْكِتٰبُ لَا رَيْبَۛ فِيْهِۛ هُدًى لِّلْمُتَّقِيْنَۙ
“Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan di dalamnya; (ia merupakan) petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa”.
Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Mishbah (1/63) menjelaskan bahwa Al-Quran adalah kitab yang penuh dengan tanda-tanda kebesaran Tuhan dan petunjuk-petunjuk hidup bagi umat manusia. Menurutnya, makna dari setiap ayat dapat semakin dipahami dengan pendekatan yang kontekstual, sesuai dengan tantangan zaman
Dari ayat ini terdapat hal yang harus diperhatikan oleh umat Islam yaitu dengan mengaplikasikan kitab sucinya dalam kehidupan sehari-hari sebagai bentuk iman. Seperti contoh ketika seseorang sedang dilanda kebingungan dan ingin mendapatkan petunjuk langsung dari Allah, maka ia dianjurkan untuk menelaah makna-makna yang terkandung dalam Al-Quran. Agar, turunnya kitab suci itu tidak menjadi hal yang sia-sia belaka.
Al-Quran memberikan pedoman dalam berbagai aspek kehidupan, seperti moralitas, etika, hukum, hubungan sosial dll. Artinya, meski ia diturunkan lebih dari 1.400 tahun yang lalu, ia tetap hidup dan kekal karena ajarannya yang dianggap relevan sepanjang zaman.
Akan tetapi dibalik kekayaan Al-Quran, ia diam tak berbicara. Yang bisa membuatnya berbicara tentu adalah manusia. Lewat kerangka pemikirannya, manusia memiliki tugas untuk menghidupkan Al-Quran dengan mengungkap pesan-pesan yang terkandung di dalamnya. Tujuannya, agar memberikan petunjuk dan solusi pada manusia yang terus hidup dan bergerak dinamis.
Larangan Berdebat Terkait Maknanya
Di samping pluralitas makna Al-Quran membuatnya kekal, ada satu hal yang harus diperhatikan oleh umat Islam dengan tidak menjadikan Al-Quran sebagai alat legitimasi, justifikasi, apalagi bahan perdebatan terkait makna ayat-ayat Al-Qur’an. Karena, maknanya memiliki dimensi dan lapisan yang beragam.
Ibnu Rusyd dalam karyanya Kritik Nalar Agama (h.285) mengutip perkataan Ibnu Abbas yang menyatakan bahwa Al-Quran memiliki empat kategori makna. Pertama, makna yang hanya diketahui oleh Allah. Kedua, makna yang hanya diketahui oleh Allah dan Rasulnya. Ketiga, makna yang diketahui oleh Allah, Rasul, dan orang Arab. Keempat, makna yang diketahui oleh Allah, Rasul, orang Arab, dan para pemikir.
Sebenarnya masih banyak lagi pembagian dari keragaman makna Al-Quran yang disesuaikan dari tingkatan pembacanya.
Hal inilah yang menjadi landasan Sayyidina Ali yang melarang dengan tegas berdebat menggunakan Al-Quran lewat perkataannya. “jangan berdebat menggunakan Al-Quran, karena ia mengandung banyak wajah”. Perkataan ini tentu memiliki dasar, melihat dari makna-makna kitab suci itu yang memiliki keragaman dan lapisan makna.
Satu mufassir bisa jadi menafsirkan satu ayat berbeda dengan mufassir yang lain. Ini bisa kita temukan dalam banyak kitab-kitab tafsir, yang isinya kadang tidak sama. Hal ini karena berbeda-bedanya latar belakang para mufassir yang tidak sama. Ditambah sosio-kultural di mana mufassir berada juga memiliki andil yang kuat.
Jika makna Al-Quran digunakan untuk berdebat, maka besar kemungkinan akan terjadi penyelewengan dari pesan-pesan asasi di dalamnya. Sebagaimana juga disinggung oleh Sayyidina Ali “kalimat yang benar, akan tetapi digunakan pada hal-hal batil”. Karena itu, tidak boleh saling mengunggulkan atau menyalahkan satu mufassir dengan mufassir yang lain. Justru itu, Sayyidina Ali lewat perkataannya, mengajak manusia untuk menggunakan kitab suci yang kaya akan makna untuk bersikap toleran pada setiap mufassir.
Wanti-wanti dari Nabi
Nabi pun mewanti-wanti umatnya untuk tidak melakukan hal demikian, dengan sabdanya:
Diriwayatkan dari Jundab dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Bacalah Al Qur’an selama hatimu ridha, jika tidak ridha maka tinggalkanlah.” (HR. Bukhari no. 5060 dan Muslim no. 5060).
Hadits ini berbicara tentang perbedaan di dalam hati manusia, perselisihan dan perpecahan. Akibat perbedaan pemahaman mereka terhadap rukun dan pokok agama, atau akibat ketidaktahuan mereka terhadap bacaan-bacaan yang telah ditetapkan oleh Nabi -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam-. Jika kemaslahatan persatuan dan kerukunan lebih besar dari kemaslahatan bacaan, maka kemaslahatan yang lebih besar harus didahulukan daripada kemaslahatan yang lebih kecil.
Ibnul Jauzi berkomentar terkait hadis Nabi di atas dalam karyanya Talbis Iblis:
“Ketika para sahabat berselisih dalam lafal dan bahasa Al-Quran, maka mereka diperintahkan untuk berdiri, agar salah satu dari mereka tidak mengingkari lafal yang dibaca oleh yang lain. Sehingga mereka tidak mengingkari apa yang diturunkan Allah.”
Imam Nawawi juga turut memberikan respon yang termuat dalam Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab:
“Perintah berdiri ketika terjadi perselisihan dalam Al-Quran dipahami oleh para ulama sebagai perselisihan yang tidak dilegalkan sama sekali. Seperti perselisihan dalam satu ayat Al-Quran, atau perselisihan dalam satu makna yang tidak dibolehkan ijtihad, atau perselisihan yang membawa kepada sesuatu yang syubhat.”
Demikianlah para ulama’ kita untuk menjadikan kekayaan makna Al-Quran sebagai anugerah Tuhan yang patut disyukuri, bukan malah dijadikan sesuatu yang dipertentangkan. Caranya, menggunakannya dengan sebaik mungkin dengan menghargai masing-masing pendapat, serta tidak mengarahkannya pada hal-hal mungkar, seperti bahan perdebatan, justifikasi, maupun legitimasi kepentingan pribadinya.