Negara merupakan bentuk tertinggi persahabatan manusia. Di dalam negara, manusia sebagai masyarakat bergumul dan bekerja sama untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka dalam pelbagai aspek, baik material (misal sandang, pangan, papan) maupun non material (misal pendidikan). Untuk keperluan tersebut, pembicaraan mengenai bagaimana seharusnya negara dijalankan muncul ke permukaan.
Aristoteles mengemukakan tiga opsi bentuk konstitusi negara ideal. Pertama, monarki atau kerajaan. Artinya, hanya ada satu kepala negara. Kedua, aristokrasi yang di dalamnya ada sekelompok (besar atau kecil) pemimpin. Ketiga, polity alias demokrasi.
Ketiga bentuk konstitusi itu, apabila tidak dijalankan dengan baik, akan melenceng: monarki melenceng menjadi tirani, aristokrasi mengarah ke oligarki, dan demokrasi bila overdosis berubah menjadi mob rule (pemerintahan oleh kawanan).
Sebagian besar negara-negara di dunia cenderung memilih demokrasi karena bentuk konstitusi tersebut—meminjam penjelasan Harari—membuka ruang-ruang percakapan yang terus berlangsung (on going conversation) antara pemimpin dan rakyat. Mekanisme kritik-otokritik menjadi sesuatu yang mungkin dalam sistem ini.
Kalau Anda salah memilih pemimpin periode yang lalu, Anda bisa mengkritiknya saat ia menjabat dan tidak memilihnya lagi ketika pemilihan berikutnya. Dalam demokrasi, percakapan terus berlangsung, sejak sebelum pemilihan hingga setelah pemilihan.
Dalam makna yang demikian itu, tentulah Islam kompatibel dengan demokrasi. Kompatibilitas tersebut terbaca dari teladan tokoh-tokoh Islam terdahulu yang memungkinkan saling kritik antara rakyat dan pemimpinnya.
***
KH. Afifuddin Muhajir dalam buku Fiqh Tata Negara mengutip beberapa teladan Nabi yang berbesar hati saat dikoreksi. Di samping itu, para khalifahnya pun meminta kepada masyarakat supaya mereka dikritik sejak diangkat sebagai pemimpin kaum mukmin (amirul mukminin) apabila mereka melakukan hal-hal yang melenceng dari kebijaksanaan.
Sayyidina Umar, misalnya, memperoleh peringatan keras dari salah seorang rakyatnya yang berasal dari Arab pedalaman (baduwi). “Demi Allah wahai Amirul Mukminin, apabila kami menjumpai engkau melenceng dari kebenaran, niscaya akan kami luruskan Engkau dengan pedang-pedang kami!”. Wow. Tidak main-main, ancamannya nyawa, angkat senjata, saudara-saudara!
Lantas, apakah sayyidina Umar ‘melenyapkan’ orang tersebut? Tentu tidak. Sebaliknya, khalifah kedua itu berterima kasih dengan menyatakan, ‘Alhamdulillah, Allah telah menyiapkan seseorang yang mau meluruskan kesalahan Umar dengan pedangnya.” Kalau sekarang, ungkapan baduwi tersebut—atas dasar penghinaan terhadap kepala Negara—boleh jadi menjebloskannya ke bui, atau sekurang-kurangnya akun twitter-nya hilang.
Pada intinya, demokrasi memungkinkan amar makruf nahi mungkar—sebagai salah satu ajaran pokok Islam—terlaksana.
***
Demokrasi memungkinkan kebebasan mengemukakan pendapat. Berbeda dengan kediktatoran (diktator dari kata dikte) yang hanya memberikan hak kepada satu pihak (penguasa) untuk berbicara. Dan saat ini, kebebasan tersebut semakin terfasilitasi oleh kemajuan teknologi informasi. Terbukti, media sosial sebagai perwujudannya penuh sesak dengan percakapan, riuh dengan kata-kata, dan ramai pula dengan cekcok berikut ujaran kebenciannya.
Ujaran kebencian masih menjadi problem demokrasi, termasuk di negeri ini. Riset Safenet pada tahun 2021 menghasilkan kesimpulan bahwa ada tiga isu yang sering memicu ujaran kebencian di media sosial: isu terkait SARA yang ditautkan dengan politik identitas (62%), terkait status sebagai penyandang disabilitas (23%), dan terkait preferensi gender (15%). Ini tentu bukan kabar baik karena percakapan kita di ruang maya tidak baik-baik saja. Di medsos, perbedaan tidak merekahkan rahmat, melainkan membuahkan laknat.
Dalam konteks demokrasi, bagaimana mengupayakan percakapan yang sehat di media sosial? Negara sesungguhnya sudah merumuskan Undang-Undang yang dimaksudkan untuk ‘menyehatkan percakapan’ di ruang maya, yaitu UU ITE. Sayangnya, Amnesty Internasional Indonesia menilai bahwa Undang-Undang tersebut justru merupakan produk hukum yang kejam (Draconian Law) lantaran membungkam kebebasan sipil untuk menyuarakan penegakan Hak Asasi.
Tercatat selama periode Januari 2019 sampai Mei 2022, terdapat setidaknya 328 serangan fisik dan/atau digital terhadap masyarakat, dengan setidaknya 834 korban. Para korbannya adalah pembela HAM, aktivis, jurnalis, pembela lingkungan, mahasiswa, dan demonstran.
Pelaku serangan intimidasi diduga adalah aktor negara dan non negara (Baca laporan lengkapnya di sini). Upaya pemerintah untuk mendisiplinkan ruang digital justru menjadi bumerang bagi demokrasi serta membuka peluang represi dan persekusi. Hilangnya demarkasi antara kritik dan ujaran kebencian memungkinkan itu terjadi.
Walaupun Konvensi Internasional telah merumuskan, bahwa ujaran kebencian adalah (a) penyebaran pesan yang mengandung kebencian atas ras atau etnis tertentu; (b) seruan terhadap permusuhan, diskriminasi, dan kejahatan; (c) hasutan untuk melakukan tindak terorisme; (d) dan ujaran kebencian sebagai hasutan untuk melakukan genosida, tetap saja ia bisa ditafsirkan terlampau ekstensif sehingga mudah menjadi alat untuk menjerat lawan yang berbeda pandangan (ideologi, politik, keagamaan, dlsb).
***
Membaca laporan Amnesty Internasional Indonesia di atas, seolah kita disuguhkan pandangan bahwa pemerintah sedang ‘memerankan kediktatoran’ dengan dalih menyehatkan demokrasi. Kendati pun demikian, tidaklah berimbang jika melekatkan label kediktatoran hanya kepada pemerintah. Kediktatoran itu justru dekat dengan kita, di tangan kita, yaitu di gawai tempat bersemayam algoritma big data.
‘Menyembah’ algoritma, para content creator berupaya memproduksi konten sebanyak mungkin dengan mengabaikan proses editorialisasi. Kuantitas dikedepankan dengan mengabaikan kualitas. Agar nangkring di baris teratas atau halaman pertama mesin pencarian, upaya-upaya optimasi konten dilakukan: Install plugin SEO, bertawassul menggunakan tag kata-kata kunci, dan semacamnya. Kepada algoritma, para produsen barang, penyedia jasa, dan para penjual ‘melarung sesaji’ dengan cara membayar iklan.
Akhirnya, apa yang diterima oleh para pemirsa dunia maya sesungguhnya adalah konten-konten yang performa SEO dan readibility-nya ‘berwarna hijau’. Informasi yang dimuat oleh konten tersebut boleh jadi dianggap benar hanya karena ada di laman pertama mesin pencarian. Itu artinya, kebenaran yang diterima oleh para pemirsa adalah kebenaran performatif. Boleh jadi, informasi yang sesungguhnya benar menurut kaidah ilmiah dinilai sebagai dusta karena bernasib sial: tidak tampil di laman pertama (tidak viral, tidak trending, tidak fyp, dlsb).
Dulu ada ungkapan, ‘cinta pada pandangan pertama’. Ungkapan tersebut sepertinya dimanfaatkan betul oleh algoritma big data. Sekali anda klik suatu web, iklan produk, dan semacamnya, maka algoritma akan mengarahkan Anda kepada konten yang serupa secara terus menerus. Barangkali perlu dievaluasi bahkan dicurigai, jangan-jangan informasi atau produk yang kita pilih atau beli dari dunia maya bukanlah produk yang dipilih oleh kesadaran kita sebagai manusia, melainkan algoritma.
Kalau anda cari jodoh secara online, jangan-jangan dia bukan jodoh yang disiapkan Tuhan untuk anda, melainkan dipilihkan oleh kecerdasan artifisial. Jodoh ‘tidak lagi’ di tangan Tuhan, melainkan di genggaman algoritma.
Dengan cara kerja semacam itu, algoritma membuat manusia terpolarisasi menjadi suatu kawanan untuk menyerang kawanan yang lain (ingat cebong versus kampret/kadrun ‘kan?). Konflik di dunia nyata boleh jadi tidak terhindarkan. Bagaimana supaya polarisasi yang mengakibatkan konflik dan perpecahan itu tidak terjadi? Ndak tahu.
***
Saya bersyukur diberi kewajiban melaksanakan salat lima waktu karena saat itulah saya berusaha (namanya usaha, sering gagal juga) untuk menjumpai diri saya sendiri dengan cara menghilangkan seluruh informasi, quote, teori, atau apapun yang sebelumnya sudah masuk secara intens dan sporadis ke dalam diri saya dari luar. Pokoknya harus berusaha ketika salat yang ada hanya saya sendiri. Itulah cara yang mungkin bisa dilakukan untuk mengenali diri sendiri.
Hemat saya, mengenali diri sendiri sebelum masuk untuk mencari sesuatu di mesin pencarian internet sangatlah penting supaya tidak tersesat dan terseret arus informasi yang menyesatkan. Sama halnya ketika Anda datang ke toko buku, tapi Anda tidak tahu buku apa yang anda perlukan dan memangnya siapa Anda sehingga memerlukan buku itu?
‘Kenalilah dirimu!’ adalah pesan abadi yang telah disampaikan oleh bijak bestari mulai dari filusuf, wali, hingga para Nabi yang masih relevan hingga saat ini.