Transisi Demokrasi Global
Gelombang pertama (1928-1926): saat Amerika Serikat, Perancis dan beberapa negara Eropa lainnya mengalami transisi besar dari corak produksi feodal menuju sistem kapitalisme industri, dan negara-negara tersebut menerapkan hal pilih bagi kelas menengah dan bawah, serta perempuan yang ditandai merosotnya kekuasaan imperium dagang serta kemunculan negara-negara demokrasi baru di Amerika Latin.
Gelombang Kedua (1943-1962): ditandai perubahan besar di Eropa setelah PD II, diantaranya rekonstruksi Eropa Barat dan dekolonisasi negara-negara Asia dan Afrika.
Gelombang Ketiga (1974-2006): Lebih berpusat pada runtuhnya rezim-rezim otoriter, terutama di Amerika Latin, Eropa Timur, Asia Timur dan Asia Tenggara (Filipina dan Indonesia). Mundurnya diktator Soeharto setelah 32 tahun berkuasa, yang dipicu oleh krisis moneter Asia 1997, tercatat sebagai salah satu transisi demokratis penting di negeri berpenduduk muslim terbesar di dunia.
Gelombang Keempat. Berlanjut hingga saat ini untuk mengaitkan protes anti-pemerintah dengan peningkatan akses keterbukaan informasi dan perubahan teknologi dalam politik. Teknologi komunikasi dan informasi digital nampak berkontribusi dalam memicu gerakan protes dan demonstrasi, seperti Musim semi Arab akhir 2010. Tak bisa dipungkiri, media-media sosial seperti Facebook, Twitter, YouTube dan Blog berperan penting dalam menyebarluaskan informasi, mengorganisas protes dan menggalang massa.
Sejarah Demokrasi Indonesia
21 Mei 1998 (Tumbangnya Orde Baru): Tumbangnya Orde Baru yang diikuti tuntutan reformasi, yaitu: Adili Soeharto dan pengikutnya; amandemen UUD 45: otonomi daerah seluas luasnya; hapus Dwi fungsi ABRI; hapus korupsi, kolusi dan nepotisme serta tegakkan supremasi hukum.
Sistem politik pasca-Reformasi 1998 juga ditandai oleh berbagai level pemilu dari pusat hingga daerah yang diselenggarakan dengan cara yang relatif lebih membuka ruang bagi partisipasi politik rakyat.
Perubahan penting lainnya adalah bersemainya suasana kebebasan sipil yang cukup berarti. Hal mana ditandai dengan munculnya berbagai partai politik dan media mass.
Di tingkat kelembagaan politik fraksi ABRI dihapus dari MPR-RI.
1 April 1999 : Pemisahan institusi Polri dari TNI.
Mei 1998-Oktober 1999: Presiden BJ. Habibie memberikan peluang kepada Timor-Timor untuk menentukan nasibnya sendiri melalui referendum. Presiden Habibie selain membebaskan tahanan politik, juga memberi dan membuka kesempatan bagi “pelarian politik” yang bermukim di luar negeri untuk kembali ke tanah air tanpa dikenai sanksi hukum.
Oktober 1999-Juli 2001, di era Presiden Abdurrahman Wahid Departemen Pertahanan dan Keamanan (Dephankam) diubah menjadi Departemen Pertahanan.
6 Oktober 2004: Pada era presiden Megawati Soekarnoputri, iterbitkan UU No 27 tahun 2004 tentang Komisi kebenaran dan rekonsiliasi.
Berbagai perubahan yang terjadi di tahun-tahun awal reformasi tak kunjung bertransformasi lebih progresif menjadi demokrasi yang lebih substantif. Fakta menunjukkan bahwa proses ekonomi-politik yang terjadi umumnya tidak berada pada posisi berpihak pada kelompok-kelompok lapis bawah. Sebaliknya kelompok-kelompok dominan yang semula diperkirakan akan mengalami pukulan telak akibat gerakan reformasi, terbukti tetap memegang kendali jalannya kekuasaan ekonomi dan politik, baik di tingkat pusat maupun lokal.
Kelompok-kelompok dominan yang mengendalikan jalannya proses ekonomi-politik di tingkat lokal ternyata bukan “pendatang baru”. Pada era sebelum reformasi mereka adalah kepanjangan tangan rezim otoriter Orde Baru, yang sepenuhnya bekerja untuk kepentingan rezim Orde Baru sambil sesekali mencuri kesempatan untuk kepentingan sendiri. Di era reformasi mereka dapat sepenuhnya mengambil keuntungan yang diberikan oleh lembaga-lembaga demokrasi produk reformasi sambil tetap memelihara hubungan kepentingan dengan rekan-rekan mereka di Jakarta.
Berkas penuntutan kasus kejahatan mantan Presiden Soeharto dicanangkan di era Presiden Habibie dan UU No 27/2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang ditandatangani Presiden Megawati, kandas di era Presiden SBY (Oktober 2004-Oktober 2014). Dua contoh ini membuktikan bahwa reformasi 1998 hanya jalan di tempat.
Kesimpulannya, Demokrasi hasil reformasi 1998 gagal ditransformasikan menjadi demokrasi partisipatoris yang melibatkan rakyat lapisan terbawah dalam proses pengambilan keputusan politik di tingkat nasional maupun daerah. Desentralisasi dan otonomi daerah dalam wujud pelimpahan wewenang dan tata kelola memang menjadi salah satu agenda tongggak utama proses demokrasi, namun dalam evaluasi Vedi R Hadiz (2004), konsolidasi kekuasaan para elit lokal justru memperkuat jaringan kekuasaan oligarki. Dan akhirnya berbagai agenda reformasi yang dicita-citakan, mandek di tengah jalan.