Wazanmedia.com – APAKAH pernah terbesit dalam benak teman-teman bahwa carok adalah tradisi fasid yang haram dilestarikan?
***
Sampang, dua pekan terakhir menjadi perbincangan publik pasca meletusnya pertikaian yang memakan korban itu viral bukan dalam arti positif. Tapi negatif-primitif. Pasalnya, banyak media besar arus utama salah meliput berita tragedi kekerasan yang terjadi di Sampang sebagai carok. Seolah setiap kekerasan di Madura adalah carok.
Saya tegaskan, insiden berdarah akibat silang-sengkarutnya pertarungan politik di Sampang itu bukanlah carok. Kendatipun saya mengakui bahwa kekerasan karena politik di Sampang, sebagaimana carok umumnya, mencederai peradaban kemanusiaan maupun aspek keagamaan.
Terlepas dari itu, teman-teman tentu sudah familiar dengan carok. Menurut cerita yang beredar dulu, ada beberapa unsur yang mesti terpenuhi dalam “pertarungan” sehingga disebut carok. Pertama, permasalahan yang merusak “martabat” seseorang. Kedua, duel satu lawan satu atau berhadap-hadapan di tempat dan waktu yang menjadi kesepakatan. Ketiga, celurit yang menjadi sajamnya sampai salah satu bahkan keduanya meninggal.
Carok adalah Tradisi Fasid yang Haram Dilestarikan
***
Wahai teman-teman santri Madura, Sampang khususnya, tentu kalian tahu tentang pelajaran ‘urf dalam term ushul fiqh. Dalam ushul fiqh, ‘urf termasuk salah satu dari sekian dalil yang diperselisihkan. Artinya, tradisi-tradisi yang lumrah di masyarakat absah secara syariat dilestarikan ke generasi selanjutnya.
Abdul Wahhab Khallaf dalam kitabnya mendefinisikan, “Al-‘Urf adalah sesuatu yang dikenal dan dijalankan oleh manusia, baik dalam bentuk ucapan, perbuatan, atau meninggalkan sesuatu, dan disebut juga sebagai adat/tradisi.”
Melalui definisi ini, agaknya, kita akan sepakat bahwa carok termasuk tradisi – terlepas dari perdebatan apakah carok budaya asli Madura atau bukan. Nyatanya, carok sebagai fenomena sosial di Pulau Garam itu mengkristal menjadi identitas khas Madura. Bahkan sebagian masyarakat Madura sendiri, sedikit bangga ketika identik dengan carok. Padahal, carok adalah tradisi fasid. Tradisi yang bertentangan dengan syariat Islam yang, konon, kaum Madura amat religius. Tradisi fasid atau ‘urf fasid, menurut Abdul Wahhab Khallaf, adalah.
وأما العرف الفاسد فهو ما تعارفه الناس، ولكنه يخالف الشرع أو يحل المحرم أو يبطل الواجب
Artinya: “Sesuatu yang dikenal manusia tetapi menyimpang dari syariat, atau menghalalkan yang haram dan membatalkan yang wajib”.
Oleh sebab itu, haram melestarikan carok. Karena – sebagaimana teman-teman menyaksikan atau mendengar cerita orang tua kalian – mengandung kekerasan yang muaranya akan menghilangkan hak hidup seseorang tanpa alasan dan prosedur yang dibenarkan syariat.
Sementara kehidupan merupakan salah satu elemen penting untuk dipelihara. Dalam istilah Maqasid Syari’ah, hifzhun Nafs yang termasuk dalam Al-Kulliyatul Khamsah (5 prinsip universal). Imam As-Syatibi menilai 5 prinsip universal itu harus dipelihara dari aspek proteksi (min janibil ‘adam) dan proyeksi (min janibil wujud). Artinya, bukan saja menjaga dari hal-hal yang menghilangkan nyawa seperti mengonsumsi racun, juga wajib mengonsumsi makanan yang sehat dan bergizi – halalan thayyiban. (Al-Muwafaqat, [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyah: 2011], juz II, halaman 7).
Tradisi Carok Bertentangan dengan Syariat
Tidak sedikit teks-teks syariat melarang tindakan yang menghilangkan nyawa, termasuk menghilangkan nyawa melalui carok. Antara lain QS. An-Nisa ayat 29 yang secara lantang menegaskan larangan bunuh diri.
وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا
Artinya: “Dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sungguh, Allah Maha Penyayang kepadamu.”
Dalam QS. Al-Isra’ ayat 33, Allah menegaskan kembali larangan membunuh jiwa seseorang tanpa alasan yang dibenarkan.
وَلَا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ
Artinya: “Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (untuk membunuhnya) kecuali dengan alasan yang benar.”
Tidak berhenti disitu, selain melarang Allah juga memberikan ancaman bagi orang yang dengan sengaja membunuh orang sebagaimana termaktub dalam surah al-Nisa ayat 93.
وَمَنْ يَقْتُلْ مُؤْمِناً مُتَعَمِّداً فَجَزَاؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِداً فِيهَا وَغَضِبَ اللَّهُ ععَلَيْهِ وَلَعَنَهُ وَأَعَدَّ لَهُ عَذَاباً عَظِيماً
Artinya: “Siapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya ialah Jahanam, ia kekal di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutuk nya serta menyediakan azab yang besar baginya.” (QS an-Nisa: 93).
Ketiga ayat di atas, secara umum menegaskan larangan bunuh-membunuh termasuk melalui carok berikut konsekuensinya.
Ancaman Nabi: Sama-Sama Masuk Neraka yang Membunuh dan Terbunuh
Bahkan dalam hadis, Nabi mengancam masuk neraka bagi orang yang saling berperang menggunakan pedang. Baik yang membunuh maupun terbunuh.
عَنِ الْأَحْنَفِ بْنِ قَيْسٍ، قَالَ: ذَهَبْتُ لِأَنْصُرَ هَذَا الرَّجُلَ، فَلَقِيَنِي أَبُو بَكْرَةَ فَقَالَ: أَيْنَ تُرِيدُ؟ قُلْتُ: أَنْصُرُ هَذَا الرَّجُلَ، قَالَ: ارْجِعْ؛ فَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: “إِذَا الْتَقَى الْمُسْلِمَانِ بِسَيْفَيْهِمَا فَالْقَاتِلُ وَالْمَقْتُولُ فِي النَّارِ”. فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، هَذَا الْقَاتِلُ، فَمَا بَالُ الْمَقْتُولِ؟ قَالَ: “إِنَّهُ كَانَ حَرِيصًا عَلَى قَتْلِ صَاحِبِهِ”
Artinya: “Dari al-Ahnaf bin Qais, ia berkata: Aku pernah pergi untuk menolong seseorang, kemudian Abu Bakrah menemuiku, lantas ia bertanya: “Hendak kemana engkau pergi?” Jawabku: “Hendak menolong seseorang.” Ia berkata: “Kembalilah! Aku pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Jika dua orang muslim saling bertemu dengan menghunuskan pedangnya masing-masing, maka yang membunuh dan yang terbunuh masuk neraka.” Aku pun bertanya, “Wahai Rasulullah, ini bagi yang membunuh, namun bagaimana dengan yang terbunuh?” Maka Nabi SAW menjawab, “Dia juga sebelumnya sangat ingin untuk membunuhnya.” (HR Bukhari).
Hadis Nabi itu seolah menggambarkan tragedi carok di mana dua orang berduel menggunakan sajam. Keduanya, baik menang atau yang kalah, sama-sama masuk neraka. Mengindikasikan keharaman fenomena seperti carok yang diidentikkan sebagai tradisi Madura.
Mari Lenyapkan Tradisi Carok
Oleh sebab itu, kita-kita, wahai santri-santri Madura sudah sepantasnya meninggalkan tradisi carok. Kalian yang menjadi tokoh, wajib mengedukasi masyarakat bahwa haram melestarikan tradisi fasid. Mari kita bersama-sama melenyapkan tradisi carok.
Dan terimakasih banyak, wahai kalian santri Madura, berkat kalian sesungguhnya tradisi carok sudah mulai ditinggalkan. Saya sendiri jarang menemukan tragedi carok terjadi sebagaimana prasyarat di atas. Sebagaimana pengamatan KH. Zawawi Imron, seorang Budiawan melaporkan, “Kalau sekarang ini enggak ada carok walau pakai senjata tajam. Itu hanya perkelahian biasa”.
Tetapi media-media arus utama kerap kali mengaburkan fakta tersebut. Bahkan meliput segala kekerasan yang terjadi di Madura seolah carok, yang mengindikasikan carok sebagai tradisi primitif tetap dilestarikan. Termasuk kekerasan yang menewaskan satu orang di Sampang lantaran percaturan politik.