Wazanmedia.com–Trisemester ketiga dari kehamilan pertama memaksa kami menjalani hubungan jarak jauh. Kami sepakat sebaiknya istri tinggal bersama ibu di Maskuning Wetan, Pujer, sementara aku menetap di Sukorejo, dukuh pesantren asuhan KHR. Ach Azaim Ibrahimy, tempat kami menyantri dan bekerja. Skenarionya aku akan pulang secara berkala untuk ngecas jiwa dan raga. Nasihat ibu-ibu sekitar kontrakan kami, seyogianya calon ayah sering menyambangi calon anaknya di masa usia hamil tua. Kata mereka setengah berbisik, itu demi kelancaran persalinan.
Tidak ada masalah dengan bolak-balik Sukorejo-Maskuning setiap libur akhir pekan. Jaraknya hanya 69 km saja. Tapi dengan transportasi publik yang, ah sudahlah, jarak ini bisa-bisa memuai sampai 138 km atau bahkan lebih. Karena itu aku bertekad pakai sepeda motor pemberian Pak Imam Nakhai, guru sekaligus induk semang kami. Kami berhutang banyak kepada beliau, baik kontrakan maupun sepeda, semuanya gratis untuk kami. 𝐽𝑎𝑧𝑎̄ℎ𝑢𝑙𝑙𝑎̄ℎ 𝑎ℎ̣𝑠𝑎𝑛 𝑎𝑙-𝑗𝑎𝑧𝑎̄!
Perkenalkan, Tornado Suzuki yang entahlah keluaran tahun berapa, menemani perjalanan seorang calon ayah. Semua surat kelengkapan motor sudah raib ditelan zaman. Sepeda itu dahsyat dan masih prima kecuali suspensi belakang yang keberadaannya seperti ketiadaannya. Aku selalu sopan kalau hendak melibas polisi tidur. Dan untuk menghadapi polisi yang bisa menilang, cara terbaik adalah menghindarinya. Jadi, pulang dan pergi aku sesuaikan dengan jadwal (tidak) kerja polantas: bakda magrib atau 30 menit sebelum subuh. Dingin memang, tapi kehangatan cinta istri bisa mengkompensasi.
Namun, sepandai-pandai tupai melompat, akhirnya pelanggar lalu lintas pun ketangkap. Masih segar dalam ingatan, waktu itu aku berangkat pukul 7 pagi, melanggar aturanku sendiri. SIM ada, helm sudah SNI, spion cukup yang kanan, sudah pakai celana dan sepatu. Beberapa pengendara motor dari arah sebalikku sudah memberikan isyarat kalau ada operasi polantas, yang sayangnya waktu itu aku belum memahami isyarat jalanan ini. Aku tetap melaju.
Baca Juga: Bus Tayo Tapal Kuda (Bagian 1)
Aku dihentikan polisi. Mungkin karena melihat plat nomor motor sudah mati sebelum perang dunia II, polisi itu mantap mengeluarkan surat tilang sembari merapal sejumlah pasal. Aku sudah tawakal dan siap-siap menerima surat tilang, tapi jeda sejenak, ia menawarkan opsi “perdamaian” kepadaku. Tentu, sebagai umat beragama yang cinta damai, saya sambut tawarannya sembari menjulurkan selembar kertas bergambar I Gusti Ngurah Rai.
Saya kapok pakai motor. Dan kembali lagi ke pangkuan bus Tayo Indah beserta segala dramanya. Yang paling aku kenang ialah peristiwa di pagi mendung dalam perjalanan menuju Sukorejo. Aku berangkat tanpa pamit kepada ibu karena masih bekerja di desa sebelah. Tayo Indah, sambutlah daku!
Memang “Indah” namanya, tapi diksi “Gagah” agaknya lebih tepat karena ia kelihatan tangguh dan sarat pengalaman, bak veteran perang yang selamat dari maut medan pertempuran. Badannya penuh dengan bekas luka. Kusam dan berdebu.
Begitu naik bus, kontan aku menjadi penumpang yang harus berdiri karena kursi terisi penuh. Aku berdiri sekira dua meter dari posisi sopir. Tidak ada ruang tersisa di bus, dijejali dengan penumpang yang juga berdiri.
Sebagai santri yang gemar dengan Fathul Muin, aku mempertanyakan hukum menyamakan ongkos antara penumpang yang berdiri dan penumpang yang duduk di kursi. Boleh atau haram? Diskusi teman-teman di kelas memberikan rumusan yang kira-kira begini:
“Jika yang menjadi objek transaksi dari akad ialah duduk dari satu titik berangkat ke titik tujuan, maka hukum membedakan tarif adalah boleh. Namun, jika yang menjadi objek transaksi ialah sampainya penumpang ke tempat tujuan, maka hukum membedakan tarif adalah haram.”
Rumusan begini mengesankan fikih sebagai tukang putus yang pemalas. Logika “jika, maka” adalah jawaban pintas yang mudah karena tidak repot-repot memastikan fakta. Ini sama dengan pertanyaan popular, apakah kentut di dalam air membatalkan puasa. Fikih menjawab, “Kalau yakin ada air yang masuk melalui dubur, maka batal puasanya. Kalau tidak yakin demikian, maka tidak batal puasanya.”
Masalahnya, aku tidak tahu atau merasa apakah ada air menyelinap masuk atau tidak. Yang pasti, bunyi 𝑏𝑙𝑢𝑝 dari gelembung udara yang menyembul ke permukaan air membuatku gembira di tengah lapar yang mendera.
Aku bersyukur saat itu mendung, dan hawa cukup dingin, sehingga tidak bermandikan peluh atau menciumi aroma yang menguar dari ketiak-ketiak yang disajikan secara vulgar karena tangan mesti berpegangangan ke besi yang melintang di atas kami.
Hujan itu anugerah setidaknya bukan bagi kami, penumpang bus Tayo Indah. Awalnya rintik dan dua pintu yang istikamah dibuka kali ini harus ditutup. Jendela samping sudah diseret menutup rapat. Tapi ventilasi yang tepat di atas kepalaku tetap menganga. Bajuku mulai membasah perlahan. Kondektur sigap menyelipkan tubuhnya susah payah di antara penumpang, bermaksud menutup. Ditariknya sekali, jendela bergeming. Usaha kedua, masih sama. Ia menarik sekali lagi dengan menghentak, tapi jendela hanya menyahut “krek” belaka. Tidak putus asa, ia coba menarik sekali lagi sambil menggelantungkan tubuhnya. Jendela hanya menurun sedikit. Krek. “Dik, ayo tarik bareng!”
Aku, seperti pak kondektur, menarik jendela karat itu sambil memanfaatkan berat tubuhku yang tidak seberapa ini. Akumulasi dari tarikan mendadak plus massa tubuh kami menghasilkan alhamdulillah dan inalillah. Alhamdulillahnya kami berhasil menurunkan jendela itu. Innalillahnya jendela itu jebol, engselnya rontok. Bus Tayo Indah kontan menjadi tadah hujan berjalan.
Setelah ganti baju di terminal Situbondo, langsung aku kisahkan peristiwa barusan kepada istri. Jawabnya singkat, “Makanya pamit dulu sama ébok.”
Pesan moral episode ini: Pastikan kalian pamit kepada ibumu terutama jika hendak berurusan dengan bus Tayo Indah. (Bersambung)