Wazanmedia.com – Semakin dewasa, beberapa kita lupa bagaimana bahagia dengan hal-hal yang sederhana. Padahal, saat masih belia, kita mudah ceria lewat hal-hal ‘kecil’: bermain lumpur, hujan-hujanan, kuliner terjangkau, dan semacamnya. Simaklah artikel burnout dan keimanan kita.
Tambah berumur ternyata menambah syarat-syarat untuk memperoleh kesenangan. Semakin banyak hal-hal yang kebahagiaan kita digantungkan kepadanya: harta melimpah, pasangan ideal, pengikut jutaan, keturunan yang berprestasi, dan hal-hal ‘mewah’ lainnya. Disadari atau tidak, itulah yang membuat kita melalui hari-hari dengan wajah cemberut.
Media sosial menaikkan standar-standar kebahagiaan hidup kita. Di sana banyak orang yang terlihat sukses menunjukkan capaian yang mereka peroleh dan mengajarkan tips-tips meraihnya. Maksud mereka boleh jadi baik, yaitu membantu orang lain yang sedang kesusahan—sebagaimana mereka dulu—supaya naik level. Dengan narasi yang meyakinkan, mereka menyatakan, “Kalau aku bisa, Kamu juga bisa!”
Namun demikian, resonansi konten-konten semacam itu tidak tunggal. Masing-masing individu berbeda menyikapinya.
Kita mungkin bermaksud baik ketika mengajak teman atau saudara yang hidup susah ke restoran mewah, yaitu agar mereka juga merasakan makanan-makanan mewah dan enak. Namun, kita tidak tahu menahu bagaimana keadaan teman atau saudara kita itu sepulang dari restoran; apakah ia akan bersikap biasa saja ataukah menaikkan standar seleranya sehingga makanan yang biasa dimakan terasa hambar?
Begitupun setelah melihat konten-konten bernuansa flexing, boleh jadi beberapa kita menancapkan standar, cita dan ekspektasi yang berbeda dengan sebelumnya: otot harus kekar, tubuh sixpack semlohai, saldo semilyar, kuliner mahal, bisa safari ke luar negeri, dan hal-hal berbau fisik-materialistik lainnya. Tidak ada komandan atau mandor (dorongan eksternal) yang mengharuskan kita mencapai ekspektasi tersebut selain diri kita sendiri (motivasi internal).
Untuk mencapai standar yang sebelumnya tak terpikirkan itu, beberapa kita memacu diri hingga berevolusi menjadi makhluk yang tak tahu bagaimana caranya berhenti. Beberapa kita kerja siang malam tak kenal lelah dengan melakukan pekerjaan secara multitasking.
Ambisi Pencapaian dan Keterbatasan Diri
Masalahnya, terus-menerus melakoni kehidupan semacam itu membuat kita lupa batasan kemampuan diri kita sendiri. Ujungnya, kita mengalami kelelahan yang berakhir depresi. Itu terjadi karena kita telah menjadi tuan yang buruk bagi diri kita sendiri.
Fenomena kelelahan semacam itulah yang dialami oleh masyarakat modern, sebagaimana dijabarkan oleh Byung Chul Han dalam buku The Burnout Society. Masyarakat modern memiliki kebebasan atau peluang tak terbatas untuk menjadi apapun. Tetapi, untuk mencapainya mereka membuat ‘penjara’ bernama produktivitas. Produktivitas tersebut tidak dipacu oleh faktor eksternal, melainkan kemauan internal.
Keinginan untuk produktif mengarahkan kita untuk melakukan dan mengagungkan hal-hal yang positif (aktif). Tidak ada ruang bagi sesuatu yang negatif seperti kelambanan dan kegagalan. Padahal, keduanya bisa menjadi wahana untuk melakukan sesuatu secara teliti-mendalam dan berkontemplasi. Demikianlah, produktivitas memang terus-menerus mengarahkan kita untuk ‘melakukan sesuatu’, bukan ‘menjadi sesuatu’.
***
Dalam perspektif keimanan, fenomena semacam ini bisa bermasalah. Kita kehilangan waktu untuk mensyukuri nikmat-nikmat yang sebelumnya kita peroleh sebelum menaikkan standar-standar hidup. Sebelumnya, kita bisa hidup dengan gaji 5 juta, tetapi setelah menaikkan standar, 20 juta terasa belum cukup. Belum lagi nikmat-nikmat lain yang senantiasa diperoleh, seperti jantung yang masih berdetak, nafas yang masih berhembus, dan sebagainya.
Antara Ambisi dan Kontemplasi
Ambisi untuk mencapai tujuan dari laku produktif membuat kita tak sempat berkontemplasi untuk mensyukuri kehidupan yang telah dan sedang dijalani. Produktivitas, pada taraf tertentu, selain membuat kelelahan, juga membuat seseorang kufur nikmat. Teringat ayat al-Qur’an,
وَاِذْ تَاَذَّنَ رَبُّكُمْ لَىِٕنْ شَكَرْتُمْ لَاَزِيْدَنَّكُمْ وَلَىِٕنْ كَفَرْتُمْ اِنَّ عَذَابِيْ لَشَدِيْدٌ
(Ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), sesungguhnya azab-Ku benar-benar sangat keras.” (Qs. Ibrahim: 7)
Yang lebih riskan lagi adalah, ketika kita melupakan keberadaan Tuhan sebagai Dzat yang memberi kebahagiaan, “dan bahwasanya Dialah yang menjadikan orang tertawa dan menangis,” (Qs. An-Najm: 43). Kita menggantungkan kebahagiaan kepada pencapaian-pencapaian tertentu, padahal sebelumnya kita sudah pernah merasa bahagia walaupun pencapaian-pencapaian tersebut tidak kita tetapkan. Kita tidak lagi menjadi hamba Allah, tetapi budak (ekspektasi-ekspektasi) diri kita sendiri.
Supaya lebih lengkap, ada baiknya tuan-puan mendengarkan penjelasan di sini dan di sini. Beli bukunya di sini!