Wazanmedia.com–Perkembangan sistem moneter dalam perbankan menyebabkan para perusahaan-perusahaan bank berlomba-lomba menciptakan sistem yang dapat memandu berjalannya bisnis mereka dengan lancar. Salah satu inovasi yang hadir dari revolusi perbankan di atas adalah munculnya sistem bunga. Menurut Wikipedia, Bunga adalah kompensasi yang dibayar peminjam kepada pemberi pinjaman sebagai imbalan atas risiko dan waktu yang diinvestasikan dalam bentuk pinjaman.
Sistem bunga, atau dalam istilah keuangan disebut sebagai interest, memiliki sejarah panjang yang bermula dari praktik-praktik keuangan saat masa peradaban kuno. Sejarah menyebutkan bahwa bunga pertama kali ada dalam peradaban Mesopotamia. Pada masa itu, bunga masih terdapat dalam barang yang masih berbentuk komoditas seperti logam mulia atau gandum. Dan bunga yang saat ini diterapkan dalam sistem perbankan sebagai sumber pendapatan bank, merupakan dampak dari adanya revolusi global.
Beberapa aliran ekonomi, seperti ekonomi kapitalis berusaha menghalalkan bunga dengan menyebut bahwa suku bunga merupakan inti dari sistem ekonomi dan perbankan modern. Mereka memiliki alasan bahwa bunga merupakan alat utama dalam mengelola sistem moneter, serta faktor yang dapat mempengaruhi tabungan dalam bank-bank di dunia. Dalam kitab Mabadi’ al-Iqthisad al-Islami (hal. 83-90), Ahmad Mahmud Nashar memaparkan secara utuh perdebatan antara golongan ekonomi kapitalis dengan aliran ekonomi syariah yang secara tegas menolak diterapkannya sistem bunga.
Ekonomi kapitalis memiliki setidaknya empat alasan sebagai alat justifikasi terhadap berlakunya bunga dalam sistem perbankan. Pertama, bunga merupakan hak dari modal, yang jika modal itu diinvestasikan maka akan mendapatkan sebuah hasil. Akan tetapi, bank (pemberi pinjaman) merelakan uang itu dipinjamkan, sehingga bank berhak mendapatkan bunga sebagai kompensasi atas pinjaman tersebut.
Kedua, para ahli ekonomi kapitalis menjadikan uang yang ada di bank seolah-olah berposisi sebagai objek sewaan. Sehingga, bunga tak lain merupakan upah dari sewa yang telah dilakukan bank terhadap para peminjam. Ketiga, nilai uang yang dipinjam diposisikan seperti nilai emas dan selalu bertambah seiring berjalannya waktu. Oleh karenanya, bank berhak mendapatkan bunga sebagai ganti dari penundaan tersebut. Keempat, bunga diibaratkan sebagai ganti dari risiko yang ditanggung pihak bank, seandainya nanti peminjam memiliki kendala terkait pelunasan.
Ekonomi berbasis syariah yang diprakarsai oleh intelektual-intelektual muslim tak sepakat atas rasionalisasi yang telah dipaparkan. Mereka membantah semua alasan di atas dengan argumen yang kokoh. Pertama, proses produksi tidak selalu menjamin menghasilkan keuntungan. Sehingga, tidak tepat jika alasan produksi dijadikan tendensi untuk mewajibkan bunga. Kedua, sangat keliru ketika uang yang dipinjam disamakan dengan transaksi sewa-menyewa karena memiliki perbedaan yang mencolok. Salah satu perbedaannya, bank tidak akan menanggung kerugian jika seandainya uang yang dipinjam terjadi kerusakan, berbeda halnya sistem dalam akad ijarah.
Ketiga, tidak benar jika menyamakan uang dengan emas. Memang benar bahwa emas selalu mengalami inflasi setiap saat, akan tetapi tidak demikian dengan uang yang terkadang juga mengalami deflasi, atau bahkan stagnan. Keempat, tidak logis jika seandainya bunga sebagai jaminan atas risiko yang akan dialami pihak bank. Karena, jikalau bank sebagai pemberi pinjaman tak yakin atas si peminjam, mengapa bank mau memberikan pinjaman tersebut. Juga, seharusnya, peminjam yang melunasi hutangnya tepat waktu tidak wajib membayar bunga. Akan tetapi, realitas di lapangan mengatakan sebaliknya, dan semakin membuat rancu alasan yang dipaparkan.
Sebenarnya, Alasan utama penolakan terhadap suku bunga oleh ahli ekonomi syariah, tak lain karena adanya unsur riba yang secara gamblang dilarang oleh al-Quran surah al-Baqarah [2]: [279]
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ وَذَرُوْا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبٰوٓا اِنْ كُنْتُمْ مُّؤْمِنِيْنَ ٢٧٨
“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang mukmin.”
Tidak hanya itu, dalam ayat selanjutnya dikatakan bahwa pelarangan riba tak lain karena terdapat unsur kezaliman.
فَاِنْ لَّمْ تَفْعَلُوْا فَأْذَنُوْا بِحَرْبٍ مِّنَ اللّٰهِ وَرَسُوْلِهٖۚ وَاِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوْسُ اَمْوَالِكُمْۚ لَا تَظْلِمُوْنَ وَلَا تُظْلَمُوْنَ
Jika kamu tidak melaksanakannya, ketahuilah akan terjadi perang (dahsyat) dari Allah dan Rasul-Nya. Akan tetapi, jika kamu bertobat, kamu berhak atas pokok hartamu. Kamu tidak berbuat zalim (merugikan) dan tidak dizalimi (dirugikan).
Dalam Tafsir as-Sa’di, Syeikh Abdurrahman mengatakan bahwa ayat ini merupakan penjelasan akan hikmah diharamkannya riba. Alasannya, karena riba mengandung unsur kezaliman bagi orang-orang yang mengambil tambahan dan melipat gandakan riba. Padahal, seharusnya mereka menangguhkan dari perbuatan riba karena dapat menyakiti sesama manusia.
Setelah ulama’ sepakat atas dilarangnya bunga, mereka selanjutnya berundung terkait solusi dari kemandekan sistem bank. Karena bagaimana pun, pada zaman modern, bank berposisi sebagai kebutuhan semua manusia dalam segala aspek, tak terkecuali bagi umat muslim. Dan pemasukan atau penghasilan terhadap bank merupakan sesuatu yang urgen agar sistem perbankan dapat beroperasi secara normal.
Pada akhirnya, Majelis Fikih Internasional yang merupakan bagian dari Organisasi Konferensi Islam mengadakan pertemuan pada tahun 1985 di Jeddah untuk membahas masalah di atas. Dari konferensi ini, terdapat tiga putusan yang perlu diketahui oleh seluruh masyarakat Islam demi membangun konsep ekonomi yang sesuai dengan ajaran syariah.
Pertama, terkait pengharaman bunga karena mengandung unsur riba. Bunga yang diharamkan adalah setiap tambahan atas pinjaman, baik dilakukan sejak awal akad, atau sebagai kompensasi ketika hutang tersebut tidak mampu dibayarkan tepat waktu.
Kedua, menciptakan formulasi baru yang berorientasi legal-syariah sebagai pengganti bunga, yang dapat menjamin likuiditas finansial atau kelancaran keuangan bank. Terobosan ini, adalah terciptanya sistem “mudharabah” dan “musyarakah” atau istilah lainnya bagi hasil, yang model transaksinya sudah ada di kitab-kitab fikih klasik. Berbeda dengan bunga, akad bagi hasil memiliki prinsip bahwa keuntungan dan kerugian yang terjadi dipersentase secara adil antara pihak bank dan nasabah atau peminjam. Sehingga, dengan demikian, tidak akan ada keuntungan dan kerugian yang hanya ditanggung oleh satu pihak tertentu.
Dan terakhir, hasil musyawarah ini menganjurkan seluruh negara-negara Islam mendorong terciptanya sistem yang ada di bank agar menggunakan teknis yang telah disepakati secara syariah. Caranya, yakni dengan mendirikan bank syariah di berbagai daerah guna memenuhi kebutuhan umat Islam. Dan ketika semua itu terealisasi dengan baik, maka umat muslim tidak akan lagi hidup dalam kontradiksi antara kenyataan hidup dan prinsip keyakinannya.