Wazanmedia.com – USUL Fikih sesungguhnya tak lepas dari kajian teks Al-Qur’an dan hadis. Rasulullah Saw. bersabda:“Aku tinggalkan pada kalian dua perkara, jika berpegang teguh kepadanya tidak akan sesat untuk selamanya. Yaitu kitabullah (al-qur’an) dan sunnahku (hadis).”. Al-Qur’an itu sendiri merupakan mukjizat terakhir Nabi Saw. yang tersisa hingga saat ini, melalui ide Sayyidina Umar bin Khattab untuk mengumpulkannya dalam satu mushaf. Begitu juga hadis yang telah sampai pada kita saat ini atas inisiatif para ulama yang menyatukannya dalam satu kitab, dan pertama kali hadis itu terhimpun dalam kitab al-Muwatta’ karya Imam Malik. Berangkat dari dua pedoman inilah kita dapat mengetahui hukum-hukum syar’i.
Pada masa Rasulullah Saw. hukum-hukum dapat diketahui dan diambil secara langsung dari beliau yang bersandar pada wahyu yang diturunkan oleh malaikat Jibril. Beliaulah yang menjelaskan langsung isi kandungan al-Qur’an dan hadis, baik dengan ucapan maupun perbuatan. Begitu juga dengan para sahabat yang menyaksikan langsung atas turunnya wahyu. Artinya, untuk mengetahui hukum-hukum syar’i pada saat itu tidak membutuhkan periwayatan, penelitian, ataupun analogi (qiyas).
Setelah Rasulullah wafat dan para sahabat senior sudah tiada, ilmu pengetahuan pun sudah berubah secara keseluruhan. Untuk mengetahui hukum-hukum syar’i kini membutuhkan penelitian, analogi, dan konsensus para ulama. Munculnya kasus-kasus baru menuntut mereka untuk memecahkannya. Para ahli hukum pun membutuhkan seperangkat aturan atau prinsip untuk menarik kesimpulan dari dalil-dalil yang ada. Oleh karenanya, mereka membentuk disiplin ilmu yang berdiri sendiri, yang kemudian dinamakan dengan “Ilmu Usul Fikih”.
Disebut ilmu yang paling mulia karena usul fikih adalah ilmu yang mampu memadukan antara nalar dan wahyu. Imam al-Ghazali mengatakan: “Ilmu yang mulia adalah ilmu yang mampu memadukan antara akal dan syariat, nalar dan wahyu (aqli wa naqli). Ilmu fikih dan usul fikih termasuk bagian dari ini.” (al-Mushtashfa, hlm 8)
Penyusun Pertama Ilmu Usul Fikih
Ibnu Khaldun dalam kitabnya, Muqaddimah mengatakan: Orang pertama yang menyusun ilmu usul fikih adalah Imam Syafi’i. Ia menulis disiplin ilmu ini dalam kitabnya yang terkenal, yaitu ar-Risalah. Kitab ini membicarakan mengenai amar (perintah), nahi (larangan), bayan (penjelasan), khabar (berita), nasakh (penghapusan hukum), dan illat (alasan) dalam teori qiyas. Setelah itu muncul dari kalangan hanafiyah menyusun juga ilmu usul fikih, dengan meneliti kaidah-kaidah tersebut dan menjelaskannya lebih dalam. (Muqaddimah, hlm 474)
Mengatakan Imam Syafi’i sebagai orang pertama penyusun ilmu usul fikih, bukan berarti menghilangkan arti penting Nabi Muhammad Saw. sebagai ahli usul fikih pertama. Beliau sebenarnya telah menggunakan cara-cara penyimpulan hukum atau beristidlal yang secara substansial sama dengan yang dilakukan oleh para mujtahid di kemudian hari. Begitu pula dengan para sahabat, tabi’in, dan tabi’ at-tabi’in, seperti Imam Abu Hanifah, dan kedua muridnya; Abu Yusuf dan Hasan asy-Syaibani, Imam Malik dan Imam Ahmad bin Hambal. Memang tidak ada informasi yang menyatakan bahwa mereka menulis kitab tentang teori dan metode hukum seperti Imam Syafi’i. Tetapi, meskipun demikian mereka sebenarnya juga menggunakan metodologi yang sama. Ini bisa dibuktikan dari argumen-argumen yang meraka gunakan dalam menyimpulkan hukum fikih. (al-Fath al-Mubin fi Thabaqat al-Ushuliyyin, hlm 9)
Usul Fikih Di Zaman Nabi Saw
Jika Imam Syafi’i orang pertama menyusun ilmu usul fikih, maka Nabi Saw adalah orang pertama yang mempraktekkannya, sebagaimana yang telah dijelaskan di atas. Ini terbukti bahwa pada beberapa kasus Nabi juga menggunakan metodologi usul fikih. Salah satu contohnya, dalam hadis dikatakan: “Hubungan badan antara kalian adalah sedekah. Para sahabat pun bertanya: Wahai Rasulullah, jika kami menyalurkan syahwat itu kepada istri apakah mendapatkan pahala? Beliau menjawab: Bukankah jika kalian menyalurkan syahwatnya pada yang haram akan mendapatkan dosa? Oleh karena itu jika menyalurkannya pada yang halal tentu kalian akan mendapatkan pahala.”
Ketetapan hukum dosa karena menyalurkan syahwat pada yang haram, Rasulullah mengambil kesimpulan bahwa ketiadaan hukum dosa itu ketika disalurkan pada yang halal. Dalam ilmu usul fikih teori seperti ini disebut dengan qiyas al-aks, karena menetapkan kebalikan hukum, yaitu dosa menjadi pahala, sebab alasan yang berbeda. Dan semua ulama sepakat bahwa qiyas dapat dijadikan hujjah.
Sementara sahabat yang pernah beristidlal atau berijtihad salah satunya adalah Mu’adz bin Jabal. Dikisahkan bahwa Nabi Saw. mengutus Mu’adz bin Jabal ke Yaman guna mengajarkan al-Qur’an dan syariat Islam. Sebelum Mu’adz pergi Nabi mengujinya terlebih dahulu. Beliau bertanya: “Bagaimana cara engkau menyelesaikan permasalahan kasus hukum? Mu’adz bin Jabal menjawab, “Aku akan menyelesaikannya dengan kitab Allah Swt. Apabila tidak ada di sana, maka dengan as-Sunnah. Jika masih tidak ada, aku akan berijtihad dengan pikiranku, dan aku tidak akan lengah dalam membuat suatu keputusan.”
Dari sinilah kemudian muncul fan ilmu tertentu sebagai aturan atau prinsip untuk menggali hukum dari al-Qur’an ataupun hadis, guna menyelesaikan kasus-kasus baru. Fan ilmu itu adalah usul fikih yang kemudian ditulis oleh para ulama dan dijadikan kitab khusus.
Kitab-Kitab Usul Fikih
Setelah Imam Syafi’i menulis ar-Risalah-nya, munculah kemudian beberapa kitab usul fikih lainnya, baik dari kalangan Mutakallim atapun Ahnaf. Salah satu kitab yang populer adalah al-Mushtashfa, karya al-Ghazali al-Mahsul, karya Imam ar-Razi, Jam’ul al-Jawami’ karya Tajuddin as-Subki, Ghaya al-Wusul, karya Zakariya al-Anshari, dan kitab-kitab ulama klasik lainnya. Sementara dari ulama kontemporer seperti, al-Wajiz, karya Wahbah Zuhaili, al- Wajiz, karya Abdul Karim Zidan, al-Wajiz, karya Syekh Hasan Hitou, dan usul al-fiqh karya Abdullah Wahab Khalaf.
Dari sekian banyak karya usul fikih, yang pokok hanya ada empat, yaitu; al-Burhan, al-Mushtashfa, al-‘Umad dan al-Mu’tamad. Ibnu Khaldun mengatakan: Di antara karya (usul fikih) terbaik yang pernah ditunjukan Mutakallimin adalah kitab al-Burhan, karya Imam al-Haramain, dan al-Mushtashfa karya Imam al-Ghazali. Kedua karya monumental ini berasal dari kalangan Asy’ariyyah. Ada juga kitab al-‘Umad, karya Abdul Jabbar, dan syarahnya al-Mu’tamad karya Abu al-Husain al-Bishri. Keduanya dari kalangan Mu’tazilah. Keempat kitab ini merupakan pilar dari disiplin ilmu usul fikih yang kemudian diringkas oleh dua ulama cendekiawan: Imam ar-Razi dengan kitab al-Mahsul dan Saifuddin dengan kitab al-Ihkam. (Muqaddimah Ibnu Khaldun, hlm:475)
Referensi
Al-Ghazali, al-Mushtashfa min Ilmi al-ushul
Ibnu Khaldun, Muqaddimah Ibnu Khaldun
Abdullah Musthafa al-Maraghi, Al-Fath al-Mubin fi Thabaqat al-Ushuliyyin